26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pendidikan tanpa Tekanan

Oleh: Rindu Rumapea

Ketika saya melakukan praktek mengajar sebagai guru di suatu sekolah, saya menyaksikan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menempuh pendidikannya.

Alhasil, banyak siswa yang mendapat hukuman dari gurunya gurunya. Entah mengapa sering kali siswa yang kena hukuman tersebut adalah siswa yang sama. Hari-harinya pun di sekolah hanya ia nikmati ketika jam istirahat. Hanya pada saat itulah ia merasa tidak ada hal yang menakutinya.

Selain itu, ia merasa seperti baru keluar dari “tahanan”. Mungkin ada lebih banyak lagi siswa yang pada hari ini merasa tertekan ketika mengikuti pendidikannya, tidak menikmati pendidikannya, bahkan minder menjadi seorang siswa di sekolah tersebut.

Tekanan sistem
Tanpa kita sadari, sistem pendidikan yang kita bangun saat ini merupakan tekanan-tekanan kepada siswa. Komponen sekolah (guru, kepala sekolah, pegawai) lebih sering membeberkan hal-hal apa saja yang harus ditaati siswa ketika berada di sekolah ketimbang menjelaskan hal-hal apa saja yang bebas dilakukan oleh siswa. Kurikulum yang dibuat pemerintah juga hanya membeberkan hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh siswa. Siswa tidak bisa memilih untuk mengerjakan hal yang mana dan untuk tidak mengerjakan hal yang mana. Siswa hanya punya kewajiban untuk mentaati semua itu dan memiliki hak untuk menuntut diberikan semua itu. Sama saja, apa yang menjadi hak dan kewajiban siswa adalah tekanan (keharusan).

Entah darimana datangnya aturan bahwa siswa yang tidak mengerjakan tugas akan dihukum di dalam kelas, siswa terlambat akan tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas? Dan aturan ketika seorang siswa tidak membawa buku pelajarannya akan dikeluarkan dari kelas? Mungkin banyak lagi bentuk-bentuk keharusan yang diperuntukkan bagi siswa namun malah merusak selera siswa untuk belajar.

Harapannya adalah siswa tidak akan mengulangi kesalahannya yang sama, siswa akan semakin disiplin. Padahal, kita selalu katakan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan, pendidikan untuk membebaskan seorang manusia dari belenggu kebodohan.

Akan tetapi, semua komponen pendidikan acuh tak acuh terhadap keinginan siswa. Bukankah kesalahan itu merupakan progres dari suatu pendidikan? Siswa pun tidak senang ketika ia telah melakukan kesalahan, namun sepertinya pendidikan telah terkikis kesabarannya. Selalu saja menuntut suatu perubahan yang konkret tanpa melihat proses kesadaran siswa.

Kebiasaan pendidikan yang dilakukan dengan tekanan berdampak hingga saat ini. Siswa tidak lagi tunduk pada guru atau aturan apabila tidak dibarengi adanya hukuman. Dan menjadi efektiflah menggunakan tekanan dalam mendidik siswa karena siswa pun tanpa menyadari sudah menikmati hal tersebut.

Semua komponen pendidikan telah berpikir bahwa pendidikan dengan tekanan akan lebih efektif. Paradigma ini hanya semata-mata untuk mempermudah pelaku-pelaku pendidikan dalam melakukan kewajibannya tanpa melihat objek pendidikan yaitu siswa, suka atau tidak dengan cara tersebut, dengan jujur mengatakan dari hatinya.

Lepas dari tekanan
Akhirnya, cara terbaik yang dilakukan siswa untuk menikmati pendidikan adalah keluar dari tekanan. Segala usaha pun dikerjakan, mulai dengan cara-cara benar maupun cara salah. Apakah kita hanya berharapan para siswa akan menemukan cara-cara benar untuk lepas dari tekanan tersebut? Tidak semua bisa berpikir seperti itu. Pendidikan telah meletakkan racun dan madu kedalam tangan siswa.

Jika siswa bisa lepas dari tekanan dengan benar (belajar keras) maka ia akan menikmati madu, dan apabila siswa lepas dari tekanan dengan cara yang salah maka ia akan menikmati racun. Pendidikan telah meletakkan pilihan yang membuat hancur peserta didiknya. Dan apa yang kita saksikan saat ini—kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dll—tidak lain adalah siswa-siswa yang dulu memilih lepas dari tekanan dengan cara-cara yang tidak benar.

Pendidikan bertahun-tahun lamanya yang dijalani seorang siswa membuatnya merasa senang—sangat senang—ketika ia telah lulus dari pendidikan tersebut. Ia merasa bangga telah melewati semua pendidikan (tekanan) tersebut. Karena selama pendidikan hanya berusaha lepas dari tekanan, ia pun bingung apa selanjutnya yang dikerjkan setelah lulus sehingga butuh waktu untuk menemukan jawaban tersebut—itu pun kalau ia temukan. Hal inilah yang menambah daftar pengangguran di negeri ini.

Tidak semua siswa lebih memilih membeli buku dari pada bermain game, membaca buku dari pada nonton tv. Tida semua juga siswa lebih menyukai penambahan perlengkapan laboratorium dari pada penambahan kantin sekolah. Dan tidak semua siswa lebih meminta diajari dengan cara-cara yang menyenangkan dibandingkan penambahan jam istirahat. Seharusnya pendidikan bisa mengakomodir tekanan-tekanan tersebut dengan memfasilitasi keinginan siswa, setidaknya mendengar keinginan mereka.

Kita perlu belajar dari film Taare Zameen Par yang memberikan pendidikan kepada anak sesuai dengan kemampuannya tanpa memberikannya tekanan. Dalam film tersebut, guru menjadi fasilitator yang baik bagi siswanya tanpa harus menghakiminya terlebih dahulu tetapi memberikan apa yang disukai siswanya.

Komponen sekolah, aturan, dan kurikulum seharusnya memberikan ruang kosong kepada siswa untuk menjelaskan dan mengerjakan keinginannya. Sudah saatnya juga pendidikan dilakukan tanpa adanya hukuman atau penghakiman kepada siswa melainkan yang ada yaitu kesabaran.

Pendidikan harus bertanggung jawab bahwa setiap siswanya menjadi manusia yang mampu berjalan diperadabannya. Bukan harus dengan memiliki kompetensi yang ada dalam kurikulum, melainkan dengan kemampuannya sendiri. Ini bukanlah kegagalan kurikulum, tetapi mengenai bagaimana kurikulum/system bisa menerima kemampuan siswa apa adanya.

Secara sederhana, pendidikan harus mampu membuat siswa lebih menyukai jam-jam belajarnya ketika di sekolah daripada waktu istirahatnya. Jika tidak demikian, maka pendidikan kita tidak lagi mencerdaskan siswa-siswanya. (*)

Penulis Aktif di Perkamen

Oleh: Rindu Rumapea

Ketika saya melakukan praktek mengajar sebagai guru di suatu sekolah, saya menyaksikan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menempuh pendidikannya.

Alhasil, banyak siswa yang mendapat hukuman dari gurunya gurunya. Entah mengapa sering kali siswa yang kena hukuman tersebut adalah siswa yang sama. Hari-harinya pun di sekolah hanya ia nikmati ketika jam istirahat. Hanya pada saat itulah ia merasa tidak ada hal yang menakutinya.

Selain itu, ia merasa seperti baru keluar dari “tahanan”. Mungkin ada lebih banyak lagi siswa yang pada hari ini merasa tertekan ketika mengikuti pendidikannya, tidak menikmati pendidikannya, bahkan minder menjadi seorang siswa di sekolah tersebut.

Tekanan sistem
Tanpa kita sadari, sistem pendidikan yang kita bangun saat ini merupakan tekanan-tekanan kepada siswa. Komponen sekolah (guru, kepala sekolah, pegawai) lebih sering membeberkan hal-hal apa saja yang harus ditaati siswa ketika berada di sekolah ketimbang menjelaskan hal-hal apa saja yang bebas dilakukan oleh siswa. Kurikulum yang dibuat pemerintah juga hanya membeberkan hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh siswa. Siswa tidak bisa memilih untuk mengerjakan hal yang mana dan untuk tidak mengerjakan hal yang mana. Siswa hanya punya kewajiban untuk mentaati semua itu dan memiliki hak untuk menuntut diberikan semua itu. Sama saja, apa yang menjadi hak dan kewajiban siswa adalah tekanan (keharusan).

Entah darimana datangnya aturan bahwa siswa yang tidak mengerjakan tugas akan dihukum di dalam kelas, siswa terlambat akan tidak diperbolehkan masuk ke dalam kelas? Dan aturan ketika seorang siswa tidak membawa buku pelajarannya akan dikeluarkan dari kelas? Mungkin banyak lagi bentuk-bentuk keharusan yang diperuntukkan bagi siswa namun malah merusak selera siswa untuk belajar.

Harapannya adalah siswa tidak akan mengulangi kesalahannya yang sama, siswa akan semakin disiplin. Padahal, kita selalu katakan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan, pendidikan untuk membebaskan seorang manusia dari belenggu kebodohan.

Akan tetapi, semua komponen pendidikan acuh tak acuh terhadap keinginan siswa. Bukankah kesalahan itu merupakan progres dari suatu pendidikan? Siswa pun tidak senang ketika ia telah melakukan kesalahan, namun sepertinya pendidikan telah terkikis kesabarannya. Selalu saja menuntut suatu perubahan yang konkret tanpa melihat proses kesadaran siswa.

Kebiasaan pendidikan yang dilakukan dengan tekanan berdampak hingga saat ini. Siswa tidak lagi tunduk pada guru atau aturan apabila tidak dibarengi adanya hukuman. Dan menjadi efektiflah menggunakan tekanan dalam mendidik siswa karena siswa pun tanpa menyadari sudah menikmati hal tersebut.

Semua komponen pendidikan telah berpikir bahwa pendidikan dengan tekanan akan lebih efektif. Paradigma ini hanya semata-mata untuk mempermudah pelaku-pelaku pendidikan dalam melakukan kewajibannya tanpa melihat objek pendidikan yaitu siswa, suka atau tidak dengan cara tersebut, dengan jujur mengatakan dari hatinya.

Lepas dari tekanan
Akhirnya, cara terbaik yang dilakukan siswa untuk menikmati pendidikan adalah keluar dari tekanan. Segala usaha pun dikerjakan, mulai dengan cara-cara benar maupun cara salah. Apakah kita hanya berharapan para siswa akan menemukan cara-cara benar untuk lepas dari tekanan tersebut? Tidak semua bisa berpikir seperti itu. Pendidikan telah meletakkan racun dan madu kedalam tangan siswa.

Jika siswa bisa lepas dari tekanan dengan benar (belajar keras) maka ia akan menikmati madu, dan apabila siswa lepas dari tekanan dengan cara yang salah maka ia akan menikmati racun. Pendidikan telah meletakkan pilihan yang membuat hancur peserta didiknya. Dan apa yang kita saksikan saat ini—kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dll—tidak lain adalah siswa-siswa yang dulu memilih lepas dari tekanan dengan cara-cara yang tidak benar.

Pendidikan bertahun-tahun lamanya yang dijalani seorang siswa membuatnya merasa senang—sangat senang—ketika ia telah lulus dari pendidikan tersebut. Ia merasa bangga telah melewati semua pendidikan (tekanan) tersebut. Karena selama pendidikan hanya berusaha lepas dari tekanan, ia pun bingung apa selanjutnya yang dikerjkan setelah lulus sehingga butuh waktu untuk menemukan jawaban tersebut—itu pun kalau ia temukan. Hal inilah yang menambah daftar pengangguran di negeri ini.

Tidak semua siswa lebih memilih membeli buku dari pada bermain game, membaca buku dari pada nonton tv. Tida semua juga siswa lebih menyukai penambahan perlengkapan laboratorium dari pada penambahan kantin sekolah. Dan tidak semua siswa lebih meminta diajari dengan cara-cara yang menyenangkan dibandingkan penambahan jam istirahat. Seharusnya pendidikan bisa mengakomodir tekanan-tekanan tersebut dengan memfasilitasi keinginan siswa, setidaknya mendengar keinginan mereka.

Kita perlu belajar dari film Taare Zameen Par yang memberikan pendidikan kepada anak sesuai dengan kemampuannya tanpa memberikannya tekanan. Dalam film tersebut, guru menjadi fasilitator yang baik bagi siswanya tanpa harus menghakiminya terlebih dahulu tetapi memberikan apa yang disukai siswanya.

Komponen sekolah, aturan, dan kurikulum seharusnya memberikan ruang kosong kepada siswa untuk menjelaskan dan mengerjakan keinginannya. Sudah saatnya juga pendidikan dilakukan tanpa adanya hukuman atau penghakiman kepada siswa melainkan yang ada yaitu kesabaran.

Pendidikan harus bertanggung jawab bahwa setiap siswanya menjadi manusia yang mampu berjalan diperadabannya. Bukan harus dengan memiliki kompetensi yang ada dalam kurikulum, melainkan dengan kemampuannya sendiri. Ini bukanlah kegagalan kurikulum, tetapi mengenai bagaimana kurikulum/system bisa menerima kemampuan siswa apa adanya.

Secara sederhana, pendidikan harus mampu membuat siswa lebih menyukai jam-jam belajarnya ketika di sekolah daripada waktu istirahatnya. Jika tidak demikian, maka pendidikan kita tidak lagi mencerdaskan siswa-siswanya. (*)

Penulis Aktif di Perkamen

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/