Oleh: Budi Hatees
Ada sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014. Jika setiap parpol membutuhkan 1 jam dari waktu tayang (slot time) televisi untuk mengiklankan diri, maka publik akan memirsa sebanyak 10 jam iklan peserta Pemilu 2014 itu.
Maka, masyarakat pemirsa televisi yang sudah terbiasa dengan adegan kekerasan, seks, horor, klenik, dan glamour hidup hedonisme, harus membiasakan diri dengan janji-janji politik dari partai-partai yang ingin tampil sebagai pemenang Pemilu 2014.
Pasca verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum, partai-partai politik yang dominan disemangati keinginan luar biasa untuk berkuasa, hadir dengan janji untuk meningkatkan kesejahteraan publik. Namun, janji yang disampaikan lewat iklan di layar televisi itu, kini terkesan sebagai ajaran kepada publik pemirsa tentang pentingnya mengumbar janji walau tak ada jaminan dapat dipenuhi. Kesan ini muncul setelah bertahun-tahun partai politik hadir dalam kehidupan masyarakat dengan janji meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi, rendahnya kesejahteraan masyarakat justru persoalan krusial yang hingga kini tak terselesaikan.
Kehidupan masyarakat semakin memperlihatkan arah yang tak jelas, setiap tahun mereka mengalami pemiskinan yang salah satunya disebabkan oleh buruknya cara para elite politik memenuhi janji mereka. Begitu sebuah partai politik memenangi Pemilu, segera mereka mengubah agenda-agenda politiknya untuk lebih memikrkan diri sendiri dan tidak perlu merasa tak enak jika melupakan cara memenuhi janji kepada masyarakat konstituen.
Sebab itu, terhadap iklan-iklan partai politik yang muncul di layar televisi dan menjadi konsumsi publik pemirsa, kita bisa memberi cap “dusta yang dilembagakan”. Setidaknya cap ini menemukan relevansinya jika kita memahami bahwa iklan merupakan produk rekayasa yang melampaui batas-batas logika formal. Kreatornya selalu berpikir kreatif untuk mendisain produk barang maupun jasa sehingga masyarakat konsumen memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap produk tersebut.
Dalam konteks inilah hiper-realitas terjadi. Nilai-nilainya dipertajam oleh fragmentasi gambar dan teks-teks dalam sebuah teknik simulasi yang andal untuk mendapatkan efek-efek tertentu, mengubah persepsi publik terhadap produk barang dan jasa bersangkutan. Iklan ini kemudian berkolaborasi dengan dunia media komunikasi yang pada akhirnya memperkuat posisi sebagai lembaga pembujuk dengan daya hipnosis yang tak bisa ditameng siapa pun.
Iklan tak pernah jujur
Iklan tak pernah jujur. Ungkapan itu menemukan relevansinya pada Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983). Publik menganggap teks “orang pintar minum Tolak Angin” sebagai kebenaran, sehingga mereka berkeyakinan harus minum Tolak Angin jika ingin disebut pintar. Begitu juga dalam hal mencuci piring, publik akan menganggap tidak ada kegiatan mencuci piring tanpa melibatkan Sunlight. Sama persis seperti persepsi anak-anak remaja bahwa dirinya akan seperti kambing bandot jika tidak menggunakan Rexona.
Publik bisa saja pintar tanpa Tolak Angin, sabun biasa dapat membuat piring tetap bersih dan higenis, dan bau badan bisa hilang apabila pola makan dapat diatur sedemikian rupa. Tetapi hal-hal yang sebetulnya sudah menjadi pengetahuan umum ini, bisa berubah dengan cepat karena iklan memi-liki kemampuan luar biasa dalam mengubah pengetahuan publik.
Dalam bukunya yang lain, The Gulf War did not Take Place (1995), Baudrillard menggambarkan televisi berperan besar membangun citra baru yang sebelumnya tidak dikenal dan tak terbayangkan oleh masyarakat. Begitu juga citra baru dari produk barang atau jasa, sehingga ia selalu tampil sebagai produk berkelas padahal tetap saja seperti sebelumnya. Baudrillard menyebut realitas tersebut sebagai penopengan informasi (masquerade of information).
Dengan penopengan informasi, citra produk diubah sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan publik sebagai konsumen. Tetapi publik menjadi sangat membutuhkan produk itu untuk dikonsumsi. Disain iklan yang menampilkan simulasi kedasyatan produk, seperti dalam iklan susu, pasta gigi, sepeda motor, automotif, dan lain sebagainya, membuat masyarakat berlomba-lomba menjadi konsumennya.
Di sini muncul apa yang diyakini sebagai prestise, maka makan McDonald berarti juga menggenakan pakaian mewah sehingga menimbulkan kebanggaan. Ada nilai fashion yang sangat kuat, yang membuat seseorang memutuskan mengonsumsi produk bukan lantaran kebutuhan, tetapi agar mendapat perhatian publik. Inilah kedasyarakat iklan yang membuat produk barang dan jasa memenuhi ruang-ruang budaya publik.
Iklan partai politik baru
Daya bujuk dan hipnosis luar biasa dari televsi membuat iklan begitu berkuasa. Kekuasaan itu telah dimanfaatkan para elite partai politik untuk memperkuat posisinya di mata publik. Pasca verifikasi partai politik peserta Pemilu 2009, iklan menjadi medium paling pavorit, terutama bagi partai politik yang baru. Peserta Pemilu 2014 ini akan berlomba-lomba membangun citra baru, mengubah persepsi publik terhadap partai politik yang lama dengan strategi penopengan informasi.
Strategi ini bisa diterapkan lewat membangun citra buruk partai politik lama. Tujannya bukan untuk membangun publik konstituen yang kuat dan setia. Karena pekerjaan itu akan menghadapi kendala luar biasa mengingat fanatisme politik begitu kuat tertanam dalam diri publik konstituen terhadap partai-partai politik lama. Tetapi meruntuhkan fanatisme publik terhadap partai-partai politik lama dengan menarik figur-figur elite ke dalam partai-partai politik baru.
Publik konstituen partai politik kita adalah masyarakat yang labil secara politik. Fanatisme mereka terhadap partai politik sifatnya sangat tradisional. Kesetiaan mereka akan menguat apabila memiliki figur yang dipercaya pada sebuah partai politik. Akan tetapi kesetiaan itu bisa ditarik ke partai-partai politik baru apabila figur elite dalam partai politik lama bisa ditarik lebih dahulu.
Iklan-iklan politik yang muncul akan berorientasi pada bagaimana menarik tokoh-tokoh politik yang mapan di partai politik lama karena pengalaman politik mereka berguna bagi keberlangsungan partai politik yang baru. Politik mengambil hati elite lama mengulangi fenomena kutu loncat yang selalu muncul menjelang Pemilu digelar di negeri ini. Realitas ini terjadi karena sesungguhnya tidak ada parati politik yang benar-benar baru, yang tidak memiliki sejarah eksistensi di tengah-tengah masyarakat kita.
Iklan mudah dikontrol
Iklan adalah medium yang dapat dengan mudah dikontrol karena iklan hidup dalam pragmatis budaya transaksi. Iklan dibangun dalam logika korporatis industrial dimana para elite partai politik dapat dengan mudah menentukan posisinya. Dengan cuma memenangkan transaksi, elite partai politik dapat mengubah iklan menjadi media promosi ideologi. Ideologi-ideologi para elite politik baru akan meresap dalam dunia public, kemudian memainkan kekuatan hipnosisnya untuk membangun sebuah versi kebenaran.
Dinamika politik di negeri ini segera memanas. Partai-partai baru yang selalu bersemangat untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, sesungguhnya sebuah lembaga yang cuma piawai mengadobsi paham demokrasi. Padahal, demokrasi yang sebenarnya tidak tumbuh dan ditumbuhkan dalam kehidupan partai politik. Partai-partai politik baru, juga partai politik yang lama, sesungguhnya hanya seolah-olah mengerti nilai-nilai demokrasi. Mereka berpolitik hanya mengikuti trend politik internasional, sebatas label yang didisain dengan polesan retorik, dan jangan pernah mempertanyakan soal kecerdasan politiknya. Orientasi satu-satunya hanya kekuasaan, bukan pada bagaimana mensejahteraan public.
Dengan begitu, bisa dibayangkan realitas politik menjelang Pemilu 2014 tidak akan banyak membawa perubahan pada realitas kehidupan masyarakat. Sebaliknya, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat akan menjadi lebih krusial, karena elite-elite parati politik lebih disibukkan oleh strategi mempertahankan kekuasaan dan bagaimana agar berkuasa setelah Pemilu 2014 mendatang. (*)
Penulis seorang peneliti komunikasi pada Matakata Institute