26 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Deradikalisasi Berbasis Teologi Kultural

Oleh:  Tandi Skober

“Ancaman terorisme masih ada. Ini bukan mengada-ada,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Kantor Presiden (25/9/2011).

Ini pernyataan cerdas. Kenapa? “Ada, dan tidak mengada-ada”  patut direnungkan para jurnalis imajiner. Maklum, selalu saja ada kecurigaan imajiner tak berdasar bahwa aksi teror adalah sesuatu yang diciptakan oleh sesuatu.

Dramaturgi terorisme diciptakan negara sebagai pancaran emanasi untuk mengiluminasi kekuasaan. “We are all confined in our owns skins,” pesan Tennesse Williams dalam sebuah pergelaran drama.

Bahkan Harry Ruskin menilai terorisme di ranah publik dunia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat komeditorial. “Comedy is a serious business,” ungkap Harry. Olok-olok adalah sinyal pause pergelaran wayang usai bendrong kenceng peperangan sebelum Sang Dalang memasuki episode kontemplatif.

Jurnalisme imajiner juga kerap memosisikan Densus 88 berbanding lurus dengan terorisme yang juga memiliki keterkaitan aura metafisik tak berbentuk. Eksistensi Densus 88 layak ditempatkan di ruang simbol delapan-delapan.

Kenapa? Bom Buku dalam singkatan (BB) mengingatkan angka 88. Pemberontakan santri Cirebon terjadi 1818 yang berakhir di tiang gantungan, 18 November 1818. Pelaku bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menginap di lantai 18 kamar 808.

Bom bunuh diri perdana meledak di JW Marriot pada bulan kedelapan kalender masehi tahun 2003. Bahkan, lihatlah logo Densus 88: ada burung hantu beralis buku terbuka. Mata burung hantu itu mirip dua angka nol yang berbaring horizontal: membentuk angka delapan. Konon, bola mata yang nyaris menyatu itu punya kemampuan penglihatan binokuler dengan radius lingkar pandang 270 derajat.

Ada atau tidak ada hubungan sesuatu antara bomber dengan Densus 88 dalam drama terorisme, ternyata angka delapan dalam jiwa manusia Cirebon adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan dan pedaringan.

Simak bentuk gentong padasan: ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar yang ditengarai sebagai tetenger proses prosesi kontemplasi. Kalbu manusia Cirebon diejawantahkan dalam simbol pedaringan, sementara gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol kesucian jasadi. Tak aneh manakala manusia Cirebon tiap kali melihat gentong padasan konon seperti melihat kampung akhirat.

Apokalitisisme 88 bisa kita simak dari perlawanan kultural  awal abad ke 19. Saat itu, 18 November 1818, dua tokoh “pemberontak santri Cirebon”, yaitu Bagus Serit dan Nariem tertatih-tatih menuju tiang gantung eksekusi di hutan jati Cirebon.

Santri Nairem dan Ki Bagus Serit-ditangkap Krieger, Oktober 1818-telah menjadi konvergensi sekaligus realitas simbolis di lingkungan santri, sultan dan Residen Cherebon Servatius. Ketika hentakan keras menjerat leher Bagus Serit dan Nairem, pada detik itulah para santri Kedongdong Cirebon tembangkan Kiser Cerbon Pegot.

Kiser pengantar ruh itu mengaliri tanah bertasbih darah, “Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satu pun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga.)
Yang bikin trenyuh, bait-bait Cerbon Pegot ditembangkan tanpa tetabuhan.

Hanya cengkok perih suara pesinden. Tiap kali sinden menyanyikan Cerbon Pegot, maka yang terlintas adalah subuh sunyi November 1818 saat tali eksekusi melingkari leher dua santri Cirebon Ki Bagus Serit dan Mariem.
Sebab itulah, garis linier antara manusia Cirebon, Gentong Cerbon dan pemberontakan Santri Cerbon 1818 tidak bersifat eksklusif, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.

Serpihan suara cikal bakal nasionalisme Indonesia itu yang kelak menginspirasi santri Tegal Rejo dalam Perang Diponegoro 1825-1830—sulit dilupakan manusia Cirebon. Bermula dari sinilah kesadaran sufistis pun mencahayai lelaku manusia Cirebon.

“Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah” menjadi idiom sufistis khas santri Kedongdong Cirebon yang diamalkan dengan membuat gerabah gentong. Kesadaran sufistis wadasan ini menjadi titik awal kaji ulang dalam memaknai Jihad Fi Sabillilah. Ini bisa disimak dari khotbah Jumat Kliwon, 20 November 1818 dua hari setelah eksekusi Nairem dan Ki Bagus Serit di sebuah masjid Cirebon.

Khotbah itu mengalirkan pesan utama Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin. (Saya titip Masjid dan Fakir Miskin). Pesan kultural bahwa inti jihad akbar bukan pada perlawanan terhadap kekuasaan, melainkan pada upaya memakmurkan masjid dengan amalan-amalan saleh dan memberdayakan fakir miskin.

Dari album sejarah, Sunan Kalijaga berpesan agar manusia memosisikan kearifan teologi kultural sebagai substansi amalan agama. Hakikat jihad adalah langkah istikamah untuk mencerahkan kalbu umat melalui pendekatan kebudayaan.

“Yenwis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal – enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen durung olih pituduh saka gusti Allah”
Lain Sunan Kalijogo lain pula Sunan Drajat dalam memaknai jihad.

Inti dari jihad bagi Sunan Drajat adalah kepedulian dan kasih sayang yang saling terjalin berkelindangan. “Menehono teken wong kang wuto. Menehono pangan marang wong kang luwe. Menehono busono marang wong kang wudo. Menehono ngiyup marang wong kang kaudanan”

Andai saja ujaran steril Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan pesan historis Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin merasuk sukma pelaku bom atas hidayah Allah SWT tentu mereka tidak akan memilih teror melainkan akan melangkah dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, dari masjid ke masjid tebarkan salam dan senyum. (*)

Penulis Penasihat Indonesia Police Watch

Oleh:  Tandi Skober

“Ancaman terorisme masih ada. Ini bukan mengada-ada,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Kantor Presiden (25/9/2011).

Ini pernyataan cerdas. Kenapa? “Ada, dan tidak mengada-ada”  patut direnungkan para jurnalis imajiner. Maklum, selalu saja ada kecurigaan imajiner tak berdasar bahwa aksi teror adalah sesuatu yang diciptakan oleh sesuatu.

Dramaturgi terorisme diciptakan negara sebagai pancaran emanasi untuk mengiluminasi kekuasaan. “We are all confined in our owns skins,” pesan Tennesse Williams dalam sebuah pergelaran drama.

Bahkan Harry Ruskin menilai terorisme di ranah publik dunia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat komeditorial. “Comedy is a serious business,” ungkap Harry. Olok-olok adalah sinyal pause pergelaran wayang usai bendrong kenceng peperangan sebelum Sang Dalang memasuki episode kontemplatif.

Jurnalisme imajiner juga kerap memosisikan Densus 88 berbanding lurus dengan terorisme yang juga memiliki keterkaitan aura metafisik tak berbentuk. Eksistensi Densus 88 layak ditempatkan di ruang simbol delapan-delapan.

Kenapa? Bom Buku dalam singkatan (BB) mengingatkan angka 88. Pemberontakan santri Cirebon terjadi 1818 yang berakhir di tiang gantungan, 18 November 1818. Pelaku bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menginap di lantai 18 kamar 808.

Bom bunuh diri perdana meledak di JW Marriot pada bulan kedelapan kalender masehi tahun 2003. Bahkan, lihatlah logo Densus 88: ada burung hantu beralis buku terbuka. Mata burung hantu itu mirip dua angka nol yang berbaring horizontal: membentuk angka delapan. Konon, bola mata yang nyaris menyatu itu punya kemampuan penglihatan binokuler dengan radius lingkar pandang 270 derajat.

Ada atau tidak ada hubungan sesuatu antara bomber dengan Densus 88 dalam drama terorisme, ternyata angka delapan dalam jiwa manusia Cirebon adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan dan pedaringan.

Simak bentuk gentong padasan: ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar yang ditengarai sebagai tetenger proses prosesi kontemplasi. Kalbu manusia Cirebon diejawantahkan dalam simbol pedaringan, sementara gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol kesucian jasadi. Tak aneh manakala manusia Cirebon tiap kali melihat gentong padasan konon seperti melihat kampung akhirat.

Apokalitisisme 88 bisa kita simak dari perlawanan kultural  awal abad ke 19. Saat itu, 18 November 1818, dua tokoh “pemberontak santri Cirebon”, yaitu Bagus Serit dan Nariem tertatih-tatih menuju tiang gantung eksekusi di hutan jati Cirebon.

Santri Nairem dan Ki Bagus Serit-ditangkap Krieger, Oktober 1818-telah menjadi konvergensi sekaligus realitas simbolis di lingkungan santri, sultan dan Residen Cherebon Servatius. Ketika hentakan keras menjerat leher Bagus Serit dan Nairem, pada detik itulah para santri Kedongdong Cirebon tembangkan Kiser Cerbon Pegot.

Kiser pengantar ruh itu mengaliri tanah bertasbih darah, “Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satu pun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga.)
Yang bikin trenyuh, bait-bait Cerbon Pegot ditembangkan tanpa tetabuhan.

Hanya cengkok perih suara pesinden. Tiap kali sinden menyanyikan Cerbon Pegot, maka yang terlintas adalah subuh sunyi November 1818 saat tali eksekusi melingkari leher dua santri Cirebon Ki Bagus Serit dan Mariem.
Sebab itulah, garis linier antara manusia Cirebon, Gentong Cerbon dan pemberontakan Santri Cerbon 1818 tidak bersifat eksklusif, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.

Serpihan suara cikal bakal nasionalisme Indonesia itu yang kelak menginspirasi santri Tegal Rejo dalam Perang Diponegoro 1825-1830—sulit dilupakan manusia Cirebon. Bermula dari sinilah kesadaran sufistis pun mencahayai lelaku manusia Cirebon.

“Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah” menjadi idiom sufistis khas santri Kedongdong Cirebon yang diamalkan dengan membuat gerabah gentong. Kesadaran sufistis wadasan ini menjadi titik awal kaji ulang dalam memaknai Jihad Fi Sabillilah. Ini bisa disimak dari khotbah Jumat Kliwon, 20 November 1818 dua hari setelah eksekusi Nairem dan Ki Bagus Serit di sebuah masjid Cirebon.

Khotbah itu mengalirkan pesan utama Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin. (Saya titip Masjid dan Fakir Miskin). Pesan kultural bahwa inti jihad akbar bukan pada perlawanan terhadap kekuasaan, melainkan pada upaya memakmurkan masjid dengan amalan-amalan saleh dan memberdayakan fakir miskin.

Dari album sejarah, Sunan Kalijaga berpesan agar manusia memosisikan kearifan teologi kultural sebagai substansi amalan agama. Hakikat jihad adalah langkah istikamah untuk mencerahkan kalbu umat melalui pendekatan kebudayaan.

“Yenwis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal – enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen durung olih pituduh saka gusti Allah”
Lain Sunan Kalijogo lain pula Sunan Drajat dalam memaknai jihad.

Inti dari jihad bagi Sunan Drajat adalah kepedulian dan kasih sayang yang saling terjalin berkelindangan. “Menehono teken wong kang wuto. Menehono pangan marang wong kang luwe. Menehono busono marang wong kang wudo. Menehono ngiyup marang wong kang kaudanan”

Andai saja ujaran steril Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan pesan historis Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin merasuk sukma pelaku bom atas hidayah Allah SWT tentu mereka tidak akan memilih teror melainkan akan melangkah dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, dari masjid ke masjid tebarkan salam dan senyum. (*)

Penulis Penasihat Indonesia Police Watch

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/