26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Republik Tersangka

Oleh:
Arfan Adha Lubis

Selama tahun 2010 tercatat 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari 4,2 triliun. Dari 244 kepala daerah yang terpilih, 148 di antaranya menjadi tersangka. Lebih ironis, kebanyakan tersangkut masalah korupsi.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, mayoritas ada kecurangan permainan uang pada setiap implementasi pilkada, baik tataran Pilkada Gubernur, bupati atau walikota. Ditelaah, rata-rata kasus sengketa digugat ke MK tidak lain adalah kecurangan.

Kecurangan kasus pilkada diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, penyalahgunaan jabatan maupun mempergunakan money politic (politik uang). Hasil pilkada dibatalkan MK, kalau kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, terencana, dan masif.

Sudah merupakan rahasia umum biaya politik terlalu mahal di negeri ini. Terlebih bagi kandidat ingin maju sebagai calon kepala daerah. Hal tersebut dilihat dari tiga tahapan. Pertama, kalau pasangan calon bukan berasal dari partai politik (Parpol), maka mau tidak mau harus menggelontorkan sejumlah nominal tidak sedikit kepada parpol disewa.

Kedua, pada saat Pilkada berlangsung atau pada masa kampanye. Hal ini dilihat dari pengerahan massa secara besar-besaran dari setiap kontestan Pilkada, pemasangan baliho, spanduk dan lain-lain sebagainya. Ketiga, setelah menang atau setelah menjadi kepala daerah. Biasanya pasangan Pilkada terpilih sebagai kampiun, mulai mengkalkulasi dana seiring dengan insentif tersedia setelah menjadi kepala daerah.

MK Benteng Terakhir Penegakan Konstitusi

Integritas dan independensi Hakim Konstitusi yang bernaung di MK diharapkan tidak dikerdilkan dan dikriminalisasikan sebagaimana terjadi di tubuh KPK. Alhamdulillah, kredibilitas lembaga MK sampai sekarang masih diakui. Walau disadari begitu banyak pihak-pihak mengkooptasi kepentingan dengan berbagai cara melalui lembaga ini.

Esensi keberadaan MK tidak lain untuk menerapkan keabsahan prosedural dan keabsahan substansial sebagai mekanisme konkret penyelesaian permasalahan hukum ketatanegaraan guna mendorong perwujudan konstitusionalisme Negara Hukum Republik Indonesia. Konsekuensi logis adanya kewenangan konstitusional MK adalah meletakkan kekuasaan yang diselenggarakan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya agar sesuai dengan proporsi atau ruang lingkup yang diatur serta ditentukan oleh konstitusi (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2004: vi).

Kalau ada isu suap di tubuh internal MK, terlebih bagi hakim-hakim konstitusi, tidak lain merupakan serangan ke tubuh lembaga MK, notabene sampai sekarang tidak bisa dibuktikan.

Walau hakim-hakim konstitusi berasal orang-orang politik tidak mempengaruhi kredibilitas dan integritas hakim-hakim konstitusi dalam memutuskan sengketa pilkada. Mahfud menegaskan serangan ke tubuh MK tidak hanya isu suap tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan, dan prosesnya kini bergulir ke proses persidangan baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Metro TV, Suara Anda Suara Konstitusi, 23/3/2011).

Pilkada Awal dari Tindakan Korupsi

Pergantian UU No. 22/1999 dengan UU No. 32/2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah (Pemda), ternyata belum sepenuhnya membawa harapan baru bagi proses demokratisasi di tingkat lokal. Terlebih UU No. 32 Tahun 2004 masih mempunyai kekurangan dimana salah satunya mengenai persyaratan kepala daerah yang sudah berstatus tersangka masih dapat dicalonkan.

Sejatinya, peserta Pilkada cacat moral jangan lagi dimajukan. Untuk itu diharapkan perbaikan UU Pemda dan memberikan civic education (pelajaran politik kepada masyarakat) tentang pemilu agar memilih pemimpin secara rasional dan tidak pragmatis. Selain itu model kampanye bagi calon pilkada seyogyanya dilakukan melalui debat dan dilakukan kontrak politik dengan masyarakat konstituennya, sehingga masyarakat mengetahui visi dan misi calon pemimpinnya, dan dapat menagih janji politik kepada pemimpin terpilih sesuai dengan janji-janji dikampanyenya.

Sehingga Pilkada langsung yang disebut dengan istilah liberalisasi politik dari bawah, suatu saat akan menghasilkan demokrasi lokal yang memberikan jaminan terhadap hak-hak politik masyarakat. Bukan malah sebaliknya terjadi pembelahan sosial dan mengakibatkan makna pilkada menjadi bias.
Untuk tetap mengarahkan agar Pilkadasung yang menghasilkan pemerintahan lokal demokratis, maka beberapa hal penting harus dilakukan adalah: 1) para pemilih perlu diberikan pendidikan politik bahwa suara mereka sangat berarti, sehingga jangan sampai diberikan kepada kandidat tidak memiliki komitmen untuk mengembangkan kehidupan demokrasi ditingkat lokal atau kandidat yang tidak menjamin akan menyejahterakan rakyat daerah, 2) perlu dilakukan pemantauan melibatkan kerjasama semua pihak, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat umum (mahasiswa) untuk meminimalkan terjadinya politik uang dan penggunaan uang untuk membeli suara massa, 3) rakyat daerah yang terlibat dalam proses pilkadasung perlu diberitahu untuk membuat kontrak politik dengan kandidat mencalonkan diri dengan sanksi hukuman jelas agar setelah menjadi kepala daerah benar-benar menjalankan apa yang telah disepakati antara mereka dengan calon kepala daerah tersebut (Analisis CSIS, Vol. 34, No. 1 Maret 2005).

Pilkada bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah. Namun faktanya tak jarang melahirkan dampak negatif. Misalnya, masyarakat menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan, dan hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses pilkada melahirkan bentrokan mengarah pada tindakan kekerasan (Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 539/ 14 Januari 2011).

Lebih dari itu Pilkada membuka ruang dan awal dari tindakan korupsi. Sehingga tidak heran 33 kepala daerah provinsi dipilih melalui Pilkada separuh sudah menjadi tersangka, dan ada pula sudah diproses secara hukum. Sisanya tinggal menunggu untuk diperiksa KPK. Ironinya, bukan hanya Pilkada gubernur, Pilkada walikota dan bupati pun berperan serta dalam menampilkan Pilkada kotor di republik ini. Alhasil, jangan berharap Pilkada melahirkan wajah demokratisasi bangsa. Melainkan mark up (penggelembungan suara), dan membagi-bagikan uang untuk membeli suara rakyat di persada notabene mayoritas sudra. (*)

Penulis adalah Alumni FH-UMSU,
Kandidat Program Magister Ilmu Hukum UMSU, Dosen FH-UNPAB
dan STIH Graha Kirana

Oleh:
Arfan Adha Lubis

Selama tahun 2010 tercatat 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari 4,2 triliun. Dari 244 kepala daerah yang terpilih, 148 di antaranya menjadi tersangka. Lebih ironis, kebanyakan tersangkut masalah korupsi.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, mayoritas ada kecurangan permainan uang pada setiap implementasi pilkada, baik tataran Pilkada Gubernur, bupati atau walikota. Ditelaah, rata-rata kasus sengketa digugat ke MK tidak lain adalah kecurangan.

Kecurangan kasus pilkada diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, penyalahgunaan jabatan maupun mempergunakan money politic (politik uang). Hasil pilkada dibatalkan MK, kalau kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, terencana, dan masif.

Sudah merupakan rahasia umum biaya politik terlalu mahal di negeri ini. Terlebih bagi kandidat ingin maju sebagai calon kepala daerah. Hal tersebut dilihat dari tiga tahapan. Pertama, kalau pasangan calon bukan berasal dari partai politik (Parpol), maka mau tidak mau harus menggelontorkan sejumlah nominal tidak sedikit kepada parpol disewa.

Kedua, pada saat Pilkada berlangsung atau pada masa kampanye. Hal ini dilihat dari pengerahan massa secara besar-besaran dari setiap kontestan Pilkada, pemasangan baliho, spanduk dan lain-lain sebagainya. Ketiga, setelah menang atau setelah menjadi kepala daerah. Biasanya pasangan Pilkada terpilih sebagai kampiun, mulai mengkalkulasi dana seiring dengan insentif tersedia setelah menjadi kepala daerah.

MK Benteng Terakhir Penegakan Konstitusi

Integritas dan independensi Hakim Konstitusi yang bernaung di MK diharapkan tidak dikerdilkan dan dikriminalisasikan sebagaimana terjadi di tubuh KPK. Alhamdulillah, kredibilitas lembaga MK sampai sekarang masih diakui. Walau disadari begitu banyak pihak-pihak mengkooptasi kepentingan dengan berbagai cara melalui lembaga ini.

Esensi keberadaan MK tidak lain untuk menerapkan keabsahan prosedural dan keabsahan substansial sebagai mekanisme konkret penyelesaian permasalahan hukum ketatanegaraan guna mendorong perwujudan konstitusionalisme Negara Hukum Republik Indonesia. Konsekuensi logis adanya kewenangan konstitusional MK adalah meletakkan kekuasaan yang diselenggarakan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya agar sesuai dengan proporsi atau ruang lingkup yang diatur serta ditentukan oleh konstitusi (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2004: vi).

Kalau ada isu suap di tubuh internal MK, terlebih bagi hakim-hakim konstitusi, tidak lain merupakan serangan ke tubuh lembaga MK, notabene sampai sekarang tidak bisa dibuktikan.

Walau hakim-hakim konstitusi berasal orang-orang politik tidak mempengaruhi kredibilitas dan integritas hakim-hakim konstitusi dalam memutuskan sengketa pilkada. Mahfud menegaskan serangan ke tubuh MK tidak hanya isu suap tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan, dan prosesnya kini bergulir ke proses persidangan baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Metro TV, Suara Anda Suara Konstitusi, 23/3/2011).

Pilkada Awal dari Tindakan Korupsi

Pergantian UU No. 22/1999 dengan UU No. 32/2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah (Pemda), ternyata belum sepenuhnya membawa harapan baru bagi proses demokratisasi di tingkat lokal. Terlebih UU No. 32 Tahun 2004 masih mempunyai kekurangan dimana salah satunya mengenai persyaratan kepala daerah yang sudah berstatus tersangka masih dapat dicalonkan.

Sejatinya, peserta Pilkada cacat moral jangan lagi dimajukan. Untuk itu diharapkan perbaikan UU Pemda dan memberikan civic education (pelajaran politik kepada masyarakat) tentang pemilu agar memilih pemimpin secara rasional dan tidak pragmatis. Selain itu model kampanye bagi calon pilkada seyogyanya dilakukan melalui debat dan dilakukan kontrak politik dengan masyarakat konstituennya, sehingga masyarakat mengetahui visi dan misi calon pemimpinnya, dan dapat menagih janji politik kepada pemimpin terpilih sesuai dengan janji-janji dikampanyenya.

Sehingga Pilkada langsung yang disebut dengan istilah liberalisasi politik dari bawah, suatu saat akan menghasilkan demokrasi lokal yang memberikan jaminan terhadap hak-hak politik masyarakat. Bukan malah sebaliknya terjadi pembelahan sosial dan mengakibatkan makna pilkada menjadi bias.
Untuk tetap mengarahkan agar Pilkadasung yang menghasilkan pemerintahan lokal demokratis, maka beberapa hal penting harus dilakukan adalah: 1) para pemilih perlu diberikan pendidikan politik bahwa suara mereka sangat berarti, sehingga jangan sampai diberikan kepada kandidat tidak memiliki komitmen untuk mengembangkan kehidupan demokrasi ditingkat lokal atau kandidat yang tidak menjamin akan menyejahterakan rakyat daerah, 2) perlu dilakukan pemantauan melibatkan kerjasama semua pihak, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat umum (mahasiswa) untuk meminimalkan terjadinya politik uang dan penggunaan uang untuk membeli suara massa, 3) rakyat daerah yang terlibat dalam proses pilkadasung perlu diberitahu untuk membuat kontrak politik dengan kandidat mencalonkan diri dengan sanksi hukuman jelas agar setelah menjadi kepala daerah benar-benar menjalankan apa yang telah disepakati antara mereka dengan calon kepala daerah tersebut (Analisis CSIS, Vol. 34, No. 1 Maret 2005).

Pilkada bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah. Namun faktanya tak jarang melahirkan dampak negatif. Misalnya, masyarakat menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan, dan hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses pilkada melahirkan bentrokan mengarah pada tindakan kekerasan (Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 539/ 14 Januari 2011).

Lebih dari itu Pilkada membuka ruang dan awal dari tindakan korupsi. Sehingga tidak heran 33 kepala daerah provinsi dipilih melalui Pilkada separuh sudah menjadi tersangka, dan ada pula sudah diproses secara hukum. Sisanya tinggal menunggu untuk diperiksa KPK. Ironinya, bukan hanya Pilkada gubernur, Pilkada walikota dan bupati pun berperan serta dalam menampilkan Pilkada kotor di republik ini. Alhasil, jangan berharap Pilkada melahirkan wajah demokratisasi bangsa. Melainkan mark up (penggelembungan suara), dan membagi-bagikan uang untuk membeli suara rakyat di persada notabene mayoritas sudra. (*)

Penulis adalah Alumni FH-UMSU,
Kandidat Program Magister Ilmu Hukum UMSU, Dosen FH-UNPAB
dan STIH Graha Kirana

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/