Akhir-akhir ini, dunia pendidikan bergejolak oleh beberapa wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah. Belum kering pembahasan tentang kurikulum baru, muncul lagi terkait masalah penghapusan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI).
Oleh: Setyo Pamuji
Pendidikan memang merupakan masalah urgen yang perlu untuk mendapat perhatian. Dalam era kontemporer ini, pendidikan menjadi menu wajib bagi semua elemen masyarakat. Tak heran, jika tiap ada kebijakan tentang pendidikan, masyarakat sangat beragam reaksinya. Ini membuktikan bahwa, masalah pendidikan, termasuk ‘pemakaman’ status RSBI/SBI butuh disikapi dengan serius.
Menuai Kritik
Adanya RSBI/SBI, semenjak awal kehadirannya telah banyak menuai kritik. Bahkan, ada yang membuat plesetan RSBI sebagai ‘Rintisan Sekolah Bertarif Internasional’. Biaya yang dibebankan pada peserta didik di sekolahan RSBI/SBI meroket tajam ketimbang sekolahan pada umumnya. Hanya kalangan tertentu, yakni anak-anak orang kaya dan mampu saja yang dapat menikmati sekolahan tersebut.
Pada kondisi seperti itu, akan muncul adanya social grap atau diskriminasi pendidikan. Orang dengan ekonomi lemah akan termarjinalkan. Akan muncul kesenjangan kualitas pendidikan yang didapat oleh si miskin dan si kaya. Orang miskin tak akan mampu bersekolah di instansi pendidikan yang kualitasnya baik. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pembukaan UUD 1945, akan terlihat jelas bahwa tujuan besar bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mendiskriminasikan pendidikan bangsa. Dengan demikian, RSBI/SBI yang menghabiskan banyak anggaran pemerintah kurang tepat dilanjutkan. Lebih memrihatinkan bahwa orang-orang yang dapat sekolah di RSBI/SBI tersebut berasal dari keluarga mampu. Sedangkan, biaya pendidikan yang besar disalurkan ke sekolahan tersebut. Sehingga, yang menikmati anggaran dari pemerintah, yang notabene berasal dari uang rakyat, justru malah dari keluarga yang berada. Tentu, hal tersebut adalah salah sasaran. Yang mampu dapat biaya besar, namun yang miskin dapat anggaran kecil.
Meski RSBI/SBI telah didukung dengan anggaran yang begitu besar, namun masih saja ada pungutan yang meroket. Bahkan, uang daftar saja, hanya kalangan tertentu yang dapat membayarnya. Maka, akan timbul tanda tanya besar, kemana uang dari pemerintah selama ini? yang dikhawatirkan justru malah terjadi komersialisasi pendidikan. Ada semacam distorsi dari tujuan luhur pendidikan. Pendidikan menjadi sebuah ajang untuk berbisnis. Ini dapat diindikasikan dari mahalnya tarif belajar diinstitusi pendidikan tersebut.
Namun yang lebih parah lagi, kinerja yang ditunjukan oleh sekolah berlabel RSBI/SBI kurang memuaskan. Padahal, tak sedikit dana yang dipertaruhkan untuk menyukseskan program kelas bertaraf internasional tersebut. Sample kecil dapat dilihat dari hasil UN tahun 2012 lalu.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor, ternyata nilai UN tertinggi untuk jenjang SMA jurusan IPA dan IPS serta SMK berhasil diraih oleh siswa dari sekolah regular, bukan dari RSBI/SBI di Bogor. Bukan hanya itu, juara umum se-Indonesia ternyata juga di raih oleh siswi dari sekolah biasa. Prestasi bergensi tersebut berhasil disabet oleh Mutiarani. Ia ternyata bukan berasal dari Sekolah berlabel RSBI/SBI di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2) juga disebutkan bahwa pendidikan adalah hak rakyat. Rakyat diberi wewenang untuk memperoleh pendidikan yang layak. Konsekuensinya, pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesempatan rakyat untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan yang telah disepakati secara konsensus tersebut. Sehingga, kastanisasi pendidikan sangat bertentangan dengan spirit pendidikan luhur bangsa ini.
Selain itu, RSBI/SBI dinilai sebagai bentuk pendangkalan bahasa Indonesia. Bahasa Indonensia hanya digunakan sebagai pengantar beberapa mata pelajaran saja, semisal pelajaran bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah dan Muatan Lokal. Padahal, pasal 36 UUD 1945 menyebutkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Beberapa kritik dan argumentasi tersebut setidaknya memantapkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggedok palu dan menyatakan bahwa RSBI/SBI inkonstitusional. Dengan demikian, sekolah RSBI/SBI tak mempunyai badan hukum lagi. Namun, bukan berarti dengan ‘matinya’ RSBI/SBI secara konstitusional, semangat internasional meredup, bahkan hilang.
Menjaga Spirit
Di era globalisasi saat ini, sangat tidak mungkin menutup diri dari pergaulan internasional. Itu artinya, bangsa ini tak boleh mundur, apalagi sembunyi, atau berpura-pura tak tahu tentang persaingan internasional. Jalan satu-satunya adalah menguatkan daya kompeten Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa ini dengan sebaik mungkin.
Meski RSBI/SBI, yang selama ini telah tergambar sebagai wadah mencetak pendidikan yang berkualitas, daya saing internasional, tidak ada lagi, namun spirit internasional harus tetap terjaga. Yang terpenting bukan wadahnya, apalagi yang bersifat mendiskriminasikan dan mengkastanisasikan pendidikan, namun yang dibutuhkan adalah internalisasi spirit internasional. Dalam arti, tanpa sebuah institusi yang berlabel RSBI/SBI, siswa mampu bersaing dalam kancah internasional.
Jika diperlukan, program RSBI/SBI juga dapat diganti dengan kelas unggulan pada tiap-tiap sekolahan. Hal tersebut bukan bermaksud untuk membuat strata kelas pendidikan. Pasalnya, semua siswa dapat masuk dalam kelas tersebut, tanpa dibatasi oleh kemampuan ekonomi. Di samping itu, kita ketahui bahwa tiap anak-anak memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing. Tidak ada yang dikatakan anak pintar atau bodoh, mereka punya potensi ketrampilan masing-masing. Pada akhirnya, adanya kelas unggulan juga diharapkan dapat memacu semangat belajar siswa, berlomba-lomba dalam kebaikan. Semoga!
Penulis adalah Pengajar di MTsN 2 dan Pustakawan pada Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel, Surabaya