30.6 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Obral Grasi Narkoba

Oleh: Karolina Sitepu, SH M.Hum.

Baru saja Presiden SBY dipuji setinggi langit atas pidato sekaligus solusinya yang tergolong tegas dan cerdas atas kisruh KPK vs Polri beberapa waktu lalu. Pidato tersebut dinilai publik sebagai bentuk keberpihakan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi.

Namun, dalam hal pemberantasan kejahatan narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), komitmen Presiden SBY kembali patut dipertanyakan. Lemahnya komitmen tersebut tergambar dari obral grasi yang diberikan SBY terhadap para pelaku kejahatan narkoba.

Berdasarkan Keppres No 7/G/ 2012, SBY kembali memutuskan bahwa Deni Setia Maharwan, sang gembong narkoba yang tergabung dalam sindikat perdagangan narkoba internasional tersebut, akhirnya hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup. Keputusan ini mematahkan putusan pidana mati yang diberikan MA, baik pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

Hal yang sama juga dilakukan SBY untuk Franola alias Ola melalui Keppres nomor 35/G/ 2011 yang ditandatangani 26 September 2011. Ironisnya lagi, berdasarkan pengakuan juru Bicara MA, Joko Sarwoko, bahwa pemberian grasi tersebut tidak direstui MA. Bahkan MA merekomendasikan bahwa tidak terdapat cukup alasan bagi Presiden SBY untuk mengabulkan permohonan grasi kedua terpidana tersebut.

Perlu dicatat, bahwa hadiah grasi ini bukan pertama kali diberikan SBY kepada gembong narkoba. Menurut catatan penulis, SBY telah empat kali menerbitkan Keppres terkait pemberian grasi terpidana narkoba. Beberapa waktu lalu, publik juga terperangah dengan pemberian grasi kepada ratu ekstasi, Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz. Kuatnya penolakan publik atas Keppres tersebut akhirnya bermuara ke pengadilan. keputusan SBY tersebut pun digugat Granat ke PTUN. Sayangnya, gugatan tersebut kandas karena ditolak majelis hakim dengan alasan pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak bisa diganggu gugat sehingga tidak bisa dijadikan objek gugatan PTUN.

Konstitusionalitas Pemberian Grasi

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemberian grasi merupakan wewenang Presiden setelah mendapatkan pertimbangan MA. Pengaturan kewenangan ini selanjutnya diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Bila ditinjau dari segi hukum tata negara, pemberian grasi merupakan kewenangan yang melekat dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara. Kewenangan ini secara umum dimiliki oleh kepala negara di berbagai negara.

Grasi sendiri merupakan pengampunan dalam bentuk perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh Presiden. Ditinjau dari segi produce of law, pemberian grasi ini tidak berarti Presiden mencampuri proses penegakan hukum karena pemberian grasi tidak berarti menghapuskan kesalahan terpidana. Pengampunan diberikan terhadap terpidana dengan alasan subjektivitas Presiden (biasanya karena alasan kemanusiaan). Dengan kata lain, pemberian grasi ini tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada di negara ini alias konstitusional.

Tidak Peka

Memang benar, bahwa secara hukum, pemberian grasi tersebut konstitusional. Namun, sejatinya Presiden sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus lebih peka dengan masyarakatnya sendiri. Presiden seharusnya bisa lebih bijak dan tidak mengobral pengampunan tersebut terhadap kasus yang sangat berpengaruh negatif dalam regenerasi bangsa ini.

Pemberian grasi ini pun menjadi salah satu bukti inkonsistensi dan kealpaan Presiden SBY. Bahkan Presiden SBY sepertinya sudah lupa dengan janjinya ketika memperingati hari Anti Narkotika Internasional  yang diselenggarakan di Istana Negara , 30 Juni 2006 lalu. Dengan sangat tegas, SBY berjanji akan berdiri paling depan dalam usaha pemberantasan narkoba dan tidak akan memberikan pengampunan berupa grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba.
Jika dicermati, setidaknya ada dua kelalaian Presiden dalam memberikan grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba kali ini. Pertama, pemberian grasi tersebut bertentangan dengan rekomendasi maupun pertimbangan yang diberikan MA sebagai yudikatif tertinggi di negeri ini.

Dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dikatakan bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA. Memang, secara prosedural Presiden telah melakukan itu, namun secara substansial, Presiden gagal menangkap pesan yang diberikan MA lewat putusannya. Kendati pertimbangan MA tidak mengikat, penjatuhan pidana mati pada tingkat kasasi dan PK harusnya menjadi pertimbangan bahwa tidak ada hal meringankan yang patut dialamatkan terhadap kedua terpidana tersebut.

Kedua, UU Grasi tidak mengatur pengecualian terhadap pelaku tindak pidana apa grasi bisa dilakukan. Artinya, pemberian grasi bisa saja dilakukan terhadap terpidana dalam kasus apa pun. Namun, seperti sudah disebutkan sebelumnya, Presiden seharusnya paham bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang sangat berbahaya dan bersifat transnasional.

Bahkan dunia internasional sudah menggolongkan kejahatan narkoba ke dalam ordinary crime, sama seperti korupsi dan terorisme.

Sebagai salah satu bentuk ordinary crime, maka secara sosiologis pengecualian-pengecualian juga seharusnya dilakukan Presiden dalam politik hukum penerbitan Keppres pembatalan pidana mati. Oleh karena itu, tak salah kalau penulis mengatakan kalau landasan filosopis da sosiologis Presiden sangat lemah dalam pemberian grasi ini. Padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substance 1998 dan United nations Convention Against Transnational organized Crime 2000.

Dalam hal pemberian grasi, kedua konvensi internasional tersebut sama-sama menganut politik hukum pengetatan dengan memperhatikan sifat merusak dari kejahatan narkotika (Article 3 Paragraph 7 United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substance 1998 dan Article 11 paragraph 4 United nations Convention Against Transnational organized Crime 2000). Lalu apa alasan Presiden SBY mengobral grasi narkoba ini? Publik harus tahu.(*)
Penulis adalah dosen hukum pidana Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan; peserta program doktor  ilmu hukum Universitas Utara Malaysia).

Oleh: Karolina Sitepu, SH M.Hum.

Baru saja Presiden SBY dipuji setinggi langit atas pidato sekaligus solusinya yang tergolong tegas dan cerdas atas kisruh KPK vs Polri beberapa waktu lalu. Pidato tersebut dinilai publik sebagai bentuk keberpihakan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi.

Namun, dalam hal pemberantasan kejahatan narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), komitmen Presiden SBY kembali patut dipertanyakan. Lemahnya komitmen tersebut tergambar dari obral grasi yang diberikan SBY terhadap para pelaku kejahatan narkoba.

Berdasarkan Keppres No 7/G/ 2012, SBY kembali memutuskan bahwa Deni Setia Maharwan, sang gembong narkoba yang tergabung dalam sindikat perdagangan narkoba internasional tersebut, akhirnya hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup. Keputusan ini mematahkan putusan pidana mati yang diberikan MA, baik pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

Hal yang sama juga dilakukan SBY untuk Franola alias Ola melalui Keppres nomor 35/G/ 2011 yang ditandatangani 26 September 2011. Ironisnya lagi, berdasarkan pengakuan juru Bicara MA, Joko Sarwoko, bahwa pemberian grasi tersebut tidak direstui MA. Bahkan MA merekomendasikan bahwa tidak terdapat cukup alasan bagi Presiden SBY untuk mengabulkan permohonan grasi kedua terpidana tersebut.

Perlu dicatat, bahwa hadiah grasi ini bukan pertama kali diberikan SBY kepada gembong narkoba. Menurut catatan penulis, SBY telah empat kali menerbitkan Keppres terkait pemberian grasi terpidana narkoba. Beberapa waktu lalu, publik juga terperangah dengan pemberian grasi kepada ratu ekstasi, Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz. Kuatnya penolakan publik atas Keppres tersebut akhirnya bermuara ke pengadilan. keputusan SBY tersebut pun digugat Granat ke PTUN. Sayangnya, gugatan tersebut kandas karena ditolak majelis hakim dengan alasan pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak bisa diganggu gugat sehingga tidak bisa dijadikan objek gugatan PTUN.

Konstitusionalitas Pemberian Grasi

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemberian grasi merupakan wewenang Presiden setelah mendapatkan pertimbangan MA. Pengaturan kewenangan ini selanjutnya diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Bila ditinjau dari segi hukum tata negara, pemberian grasi merupakan kewenangan yang melekat dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara. Kewenangan ini secara umum dimiliki oleh kepala negara di berbagai negara.

Grasi sendiri merupakan pengampunan dalam bentuk perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh Presiden. Ditinjau dari segi produce of law, pemberian grasi ini tidak berarti Presiden mencampuri proses penegakan hukum karena pemberian grasi tidak berarti menghapuskan kesalahan terpidana. Pengampunan diberikan terhadap terpidana dengan alasan subjektivitas Presiden (biasanya karena alasan kemanusiaan). Dengan kata lain, pemberian grasi ini tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada di negara ini alias konstitusional.

Tidak Peka

Memang benar, bahwa secara hukum, pemberian grasi tersebut konstitusional. Namun, sejatinya Presiden sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus lebih peka dengan masyarakatnya sendiri. Presiden seharusnya bisa lebih bijak dan tidak mengobral pengampunan tersebut terhadap kasus yang sangat berpengaruh negatif dalam regenerasi bangsa ini.

Pemberian grasi ini pun menjadi salah satu bukti inkonsistensi dan kealpaan Presiden SBY. Bahkan Presiden SBY sepertinya sudah lupa dengan janjinya ketika memperingati hari Anti Narkotika Internasional  yang diselenggarakan di Istana Negara , 30 Juni 2006 lalu. Dengan sangat tegas, SBY berjanji akan berdiri paling depan dalam usaha pemberantasan narkoba dan tidak akan memberikan pengampunan berupa grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba.
Jika dicermati, setidaknya ada dua kelalaian Presiden dalam memberikan grasi terhadap pelaku kejahatan narkoba kali ini. Pertama, pemberian grasi tersebut bertentangan dengan rekomendasi maupun pertimbangan yang diberikan MA sebagai yudikatif tertinggi di negeri ini.

Dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dikatakan bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA. Memang, secara prosedural Presiden telah melakukan itu, namun secara substansial, Presiden gagal menangkap pesan yang diberikan MA lewat putusannya. Kendati pertimbangan MA tidak mengikat, penjatuhan pidana mati pada tingkat kasasi dan PK harusnya menjadi pertimbangan bahwa tidak ada hal meringankan yang patut dialamatkan terhadap kedua terpidana tersebut.

Kedua, UU Grasi tidak mengatur pengecualian terhadap pelaku tindak pidana apa grasi bisa dilakukan. Artinya, pemberian grasi bisa saja dilakukan terhadap terpidana dalam kasus apa pun. Namun, seperti sudah disebutkan sebelumnya, Presiden seharusnya paham bahwa kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang sangat berbahaya dan bersifat transnasional.

Bahkan dunia internasional sudah menggolongkan kejahatan narkoba ke dalam ordinary crime, sama seperti korupsi dan terorisme.

Sebagai salah satu bentuk ordinary crime, maka secara sosiologis pengecualian-pengecualian juga seharusnya dilakukan Presiden dalam politik hukum penerbitan Keppres pembatalan pidana mati. Oleh karena itu, tak salah kalau penulis mengatakan kalau landasan filosopis da sosiologis Presiden sangat lemah dalam pemberian grasi ini. Padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substance 1998 dan United nations Convention Against Transnational organized Crime 2000.

Dalam hal pemberian grasi, kedua konvensi internasional tersebut sama-sama menganut politik hukum pengetatan dengan memperhatikan sifat merusak dari kejahatan narkotika (Article 3 Paragraph 7 United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substance 1998 dan Article 11 paragraph 4 United nations Convention Against Transnational organized Crime 2000). Lalu apa alasan Presiden SBY mengobral grasi narkoba ini? Publik harus tahu.(*)
Penulis adalah dosen hukum pidana Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan; peserta program doktor  ilmu hukum Universitas Utara Malaysia).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/