25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Anak Nakal vs Penjara

Keadilan hukum di negeri ini kembali digugat dan dipertanyakan. Ini terjadi setelah kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL (15) seorang siswa SMK di Palu terpublikasi dan mengusik nurani.

Oleh:
Lidus Yardi*)

Disusul kemudian perkara pencurian sembilan tandan pisang oleh dua bersaudara yang diduga memiliki keterbelakangan mental di Cilacap, dan kasus uang Rp1.000 yang juga melibatkan anak, DW (14) di Denpasar.

Hukum di negeri ini dinilai seperti pisau dapur, tajam ke bawah buat masyarakat kecil dan tumpul ke atas untuk kalangan berpangkat. Padahal, penegakan hukum yang diharapkan seperti pisau belati, runcing ke depan serta tajam bagian atas dan bawah.

Alias tidak pandang bulu seperti simbol patung putih dengan mata tertutup oleh pita hitam seraya memegang timbang keadilan.
Hukum sangat penting untuk ditegakkan demi terjaminnya kehidupan yang layak bagi semua anggota masyarakat. Namun yang lebih penting adalah keadilan dalam penegakkan hukum demi berlangsungnya nilai-nilai kemanusiaan.

Persoalan Anak Nakal

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 disebutkan bahwa anak nakal adalah: a) anak yang melakukan tindak pidana; b) melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sepintas defenisi anak nakal menurut Undang-undang Pengadilan Anak ini tidak baik dan bermakna negatif. Padahal, kenakalan yang dilakukan seorang anak bisa saja dianggap positif dan wajar.

Sebab, kenakalan yang dilakukan anak adakalanya sebagai bentuk aktifitas, ekspresi, dan elaborasi diri dalam proses perubahan menuju kedewasaan. Hal ini dipengaruhi oleh rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan ingin bisa seorang anak terhadap suatu persoalan. Bahkan, kenakalan seorang anak bisa saja dipandang sebagai bentuk kreatifitas dini.

Apapun yang dilakukan seorang anak yang dinyatakan terlarang bagi anak dan merugikan bagi orang lain, sesungguhnya posisi anak tetap sebagai korban.

Anak adalah korban kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, korban pendidikan yang belum memadai, korban perkembangan teknologi dan media massa dengan aturan yang tidak berpihak kepada kepentingan tumbuh kembang moralitas dan mentalitas anak.

Berangkat dari pemahaman ini, baik atau buruknya akibat kenakalan seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Artinya, ketika anak melakukan tindakan pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat, tidak adil akibatnya ditanggung semata-mata oleh anak. Apalagi dipenjarakan.

Karena apa yang dilakukan anak yang dipandang sebagai bentuk kenakalan itu, juga merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan negara dan pemerintah.

Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang Perlindungan Anak.

Penjara Bukan Solusi

Ironis sekali, pemerintah dan negara tidak memiliki persiapan terhadap kasus anak yang berhadapan dan berkonflik dengan hukum. Apa yang dituntut oleh undang-undang tidak sinkronisasi dengan persiapan di lapangan.

Contohnya, Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 menuntut anak yang berkonflik dengan hukum dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) dan harus terpisah dengan penjara orang dewasa (Pasal 60: [1]).

Anak yang berada di LPA berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya (Pasal 60: [2]).
Faktanya, dari 33 Provinsi di Indonesia, LPA yang tersedia hanya berjumlah 16. Tidak heran sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum kemudian ditempatkan di penjara orang dewasa dan tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dimaksud.

Data Bina Statistik Dirjen Pemasyarakatan, Juli 2009 menunjukkan bahwa jumlah anak berkonflik dengan hukum yang berada dalam rumah tahanan negara (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebanyak 5.576 yang terdiri dari 2.188 anak berstatus tahanan dan 3.388 berstatus narapidana yang berada dalam penjara.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat ini tidak kurang dari 6.000 anak mendekam di penjara. Kajian analisis yang dilakukan oleh UNICEF bekerjasama dengan Pusat Kajian Krimonologi pada bulan September s/d Nopember 2002 disebutkan 84 persen dari 4.325 anak-anak yang berkonflik dengan hukum saat itu, ditempatkan di penjara bersama-sama orang dewasa.  Ternyata, pemerintah juga telah ‘mendurhakai’ undang-undang yang telah dibuat sendiri.

Apapun alasannya, pemenjaraan dan penahanan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak karena kehidupan penjara, selain bisa mematikan tumbuh kembang anak, penuh tindak kekerasan dan diskriminasi, menjadi media internalisasi kejahatan yang lebih tinggi, berpotensi menimbulkan trauma psikis, juga menstigmasi atau bersifat labeling kehidupan anak sepanjang hayatnya (Warta KPAI Edisi IV 2010).

Ternyata, esensi yang terkandung dalam Undang-undang Pengadilan Anak No 3 Tahun 1997 untuk memberikan perlindungan kepada anak telah berubah menjadi alasan mengadili dan memenjarakan anak.

Siapapun tentu tidak membenarkan tindakan pidana seperti pencurian. Sekecil apapun nilai barang yang dicuri tetap tidak dibenarkan.
Namun ketika persoalan tersebut dibandingkan dengan kasus besar, seperti korupsi miliaran bahkan triliyunan yang merugikan masyarakat, membuat bangkrut negara hanya mendapat penanganan ‘sederhana’ dan bahkan berakhir dengan pembebasan pelaku (koruptor), maka kasus sandal jepit, tandan pisang, kakao, uang Rp1.000 menjadi sebuah ironi mengusik nurani. Sesuatu banget kata artis Syahrini.(*)

Penulis adalah Guru dan Ketua Pokja Pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kuantan Singingi.

 

Keadilan hukum di negeri ini kembali digugat dan dipertanyakan. Ini terjadi setelah kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL (15) seorang siswa SMK di Palu terpublikasi dan mengusik nurani.

Oleh:
Lidus Yardi*)

Disusul kemudian perkara pencurian sembilan tandan pisang oleh dua bersaudara yang diduga memiliki keterbelakangan mental di Cilacap, dan kasus uang Rp1.000 yang juga melibatkan anak, DW (14) di Denpasar.

Hukum di negeri ini dinilai seperti pisau dapur, tajam ke bawah buat masyarakat kecil dan tumpul ke atas untuk kalangan berpangkat. Padahal, penegakan hukum yang diharapkan seperti pisau belati, runcing ke depan serta tajam bagian atas dan bawah.

Alias tidak pandang bulu seperti simbol patung putih dengan mata tertutup oleh pita hitam seraya memegang timbang keadilan.
Hukum sangat penting untuk ditegakkan demi terjaminnya kehidupan yang layak bagi semua anggota masyarakat. Namun yang lebih penting adalah keadilan dalam penegakkan hukum demi berlangsungnya nilai-nilai kemanusiaan.

Persoalan Anak Nakal

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 disebutkan bahwa anak nakal adalah: a) anak yang melakukan tindak pidana; b) melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sepintas defenisi anak nakal menurut Undang-undang Pengadilan Anak ini tidak baik dan bermakna negatif. Padahal, kenakalan yang dilakukan seorang anak bisa saja dianggap positif dan wajar.

Sebab, kenakalan yang dilakukan anak adakalanya sebagai bentuk aktifitas, ekspresi, dan elaborasi diri dalam proses perubahan menuju kedewasaan. Hal ini dipengaruhi oleh rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan ingin bisa seorang anak terhadap suatu persoalan. Bahkan, kenakalan seorang anak bisa saja dipandang sebagai bentuk kreatifitas dini.

Apapun yang dilakukan seorang anak yang dinyatakan terlarang bagi anak dan merugikan bagi orang lain, sesungguhnya posisi anak tetap sebagai korban.

Anak adalah korban kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, korban pendidikan yang belum memadai, korban perkembangan teknologi dan media massa dengan aturan yang tidak berpihak kepada kepentingan tumbuh kembang moralitas dan mentalitas anak.

Berangkat dari pemahaman ini, baik atau buruknya akibat kenakalan seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Artinya, ketika anak melakukan tindakan pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat, tidak adil akibatnya ditanggung semata-mata oleh anak. Apalagi dipenjarakan.

Karena apa yang dilakukan anak yang dipandang sebagai bentuk kenakalan itu, juga merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan negara dan pemerintah.

Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang Perlindungan Anak.

Penjara Bukan Solusi

Ironis sekali, pemerintah dan negara tidak memiliki persiapan terhadap kasus anak yang berhadapan dan berkonflik dengan hukum. Apa yang dituntut oleh undang-undang tidak sinkronisasi dengan persiapan di lapangan.

Contohnya, Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 menuntut anak yang berkonflik dengan hukum dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) dan harus terpisah dengan penjara orang dewasa (Pasal 60: [1]).

Anak yang berada di LPA berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya (Pasal 60: [2]).
Faktanya, dari 33 Provinsi di Indonesia, LPA yang tersedia hanya berjumlah 16. Tidak heran sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum kemudian ditempatkan di penjara orang dewasa dan tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dimaksud.

Data Bina Statistik Dirjen Pemasyarakatan, Juli 2009 menunjukkan bahwa jumlah anak berkonflik dengan hukum yang berada dalam rumah tahanan negara (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebanyak 5.576 yang terdiri dari 2.188 anak berstatus tahanan dan 3.388 berstatus narapidana yang berada dalam penjara.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat ini tidak kurang dari 6.000 anak mendekam di penjara. Kajian analisis yang dilakukan oleh UNICEF bekerjasama dengan Pusat Kajian Krimonologi pada bulan September s/d Nopember 2002 disebutkan 84 persen dari 4.325 anak-anak yang berkonflik dengan hukum saat itu, ditempatkan di penjara bersama-sama orang dewasa.  Ternyata, pemerintah juga telah ‘mendurhakai’ undang-undang yang telah dibuat sendiri.

Apapun alasannya, pemenjaraan dan penahanan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak karena kehidupan penjara, selain bisa mematikan tumbuh kembang anak, penuh tindak kekerasan dan diskriminasi, menjadi media internalisasi kejahatan yang lebih tinggi, berpotensi menimbulkan trauma psikis, juga menstigmasi atau bersifat labeling kehidupan anak sepanjang hayatnya (Warta KPAI Edisi IV 2010).

Ternyata, esensi yang terkandung dalam Undang-undang Pengadilan Anak No 3 Tahun 1997 untuk memberikan perlindungan kepada anak telah berubah menjadi alasan mengadili dan memenjarakan anak.

Siapapun tentu tidak membenarkan tindakan pidana seperti pencurian. Sekecil apapun nilai barang yang dicuri tetap tidak dibenarkan.
Namun ketika persoalan tersebut dibandingkan dengan kasus besar, seperti korupsi miliaran bahkan triliyunan yang merugikan masyarakat, membuat bangkrut negara hanya mendapat penanganan ‘sederhana’ dan bahkan berakhir dengan pembebasan pelaku (koruptor), maka kasus sandal jepit, tandan pisang, kakao, uang Rp1.000 menjadi sebuah ironi mengusik nurani. Sesuatu banget kata artis Syahrini.(*)

Penulis adalah Guru dan Ketua Pokja Pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kuantan Singingi.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/