Oleh:
Stevan Ivana Manihuruk
Anomali sikap masyarakat tercermin dalam hasil survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang dirilis baru-baru ini. Di satu sisi, sebanyak 69,94 persen responden menganggap program pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagai kebijakan populis dan sangat disukai. Namun di saat yang bersamaan, mayoritas responden yakni sebanyak 86,6 persen responden justru tidak setuju adanya kebijakan kenaikan harga BBM.
Inilah fakta yang bisa terungkap terkait rencana pemerintah menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini. Pemerintah sendiri sepertinya sudah sangat yakin akan segera melaksanakan kebijakan ini meski di kalangan anggota DPR, beberapa Fraksi menolak dengan tegas rencana kebijakan tersebut. Dari kalangan akademisi, pengamat dan pemerhati pendapat mereka juga terbelah menjadi dua ; yang pro (bisa menerima) dan kontra.
Melihat perkembangan situasi terakhir, kebijakan kenaikan harga BBM sepertinya memang akan segera digulirkan. Banyak yang akhirnya bisa menerima alasan bahwa kebijakan ini adalah untuk menyelamatkan APBN agar tidak “jebol” karena membengkaknya nilai subsidi sehubungan dengan kenaikan harga minyak dunia. Asumsi harga minyak dunia di APBN kita memang sudah sangat jauh dari kenyataan saat ini. Jika tidak segera diambil kebijakan, dikhawatirkan APBN kita akan “jebol”.
Selanjutnya yang banyak diperbincangkan adalah mengenai kebijakan yang akan diambil pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Dari pihak pemerintah, setidaknya ada dua kebijakan yang akan diambil, yakni pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan juga subsidi kepada angkutan umum. Kedua program tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM.
Program BLSM dilakukan dengan memberikan dana sebesar Rp150 ribu setiap bulannya kepada 18,5 juta rumah tangga selama sembilan bulan penuh. Dengan demikian, totalnya pemerintah akan membagikan langsung uang tunai sebanyak Rp24,9 triliun kepada masyarakat yang dianggap miskin. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan tambahan dana pembangunan infrastruktur dalam RAPBN-P 2012 senilai Rp16,9 triliun.
Konon pemerintah sudah melakukan hitung-hitungan, penaikan harga BBM akan meningkatkan laju inflasi hingga 7 persen dan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan 1,6 persen hingga 2 persen. Pemberian BLSM selama sembilan bulan menurut logika pemerintah akan mampu menahan laju kemiskinan.
Bersifat Politis (?)
Logika ini yang kemudian mendapat sanggahan dari banyak kalangan termasuk mereka yang setuju (bisa menerima) kebijakan kenaikan harga BBM. Kebijakan pemberian BLSM dinilai kurang tepat sebagai langkah untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM. Kebijakan BLSM juga dinilai hanya meng-copy paste kebijakan pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang pernah dilaksanakan pada periode lalu.
Alasan penolakan pemberian BLSM diantaranya; Pertama, sifatnya hanya sementara karena begitu diberikan akan segera habis dikonsumsi, tidak produktif dan tidak mendidik. Pemberian BLSM identik dengan pemberian derma kepada orang miskin. Alih-alih menjadi solusi, pemberian BLSM bahkan berpotensi membuat orang miskin menjadi ketergantungan, tidak berupaya berusaha mandiri, bahkan dapat membentuk mental peminta-minta. Kedua, potensi penyalahgunaan dana kompensasi tersebut terbuka lebar. Pemberian BLSM bisa jadi sangat berpotensi disalahgunakan; yang menerima adalah orang-orang mampu, sementara yang seharusnya menerima justru harus gigit jari.
Ketiga, daripada diberikan dalam bentuk BLSM, dana kompensasi kenaikan harga BBM akan lebih baik jika dialokasikan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang seperti misalnya pembangunan infrastruktur, subsidi pupuk, atau pembangunan irigasi yang tentunya bakal lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin. Ibarat pepatah, langkah-langkah semacam ini lebih bijak karena memberikan “pancing” yang tentunya bisa dipergunakan untuk waktu yang cukup lama dibandingkan memberi “ikan” yang ketika diberikan akan segera habis dikonsumsi saat itu juga.
Kalangan akademisi dan pengusaha pun berpendapat senada. Meski bisa memahami kebijakan penaikan harga BBM, namun mereka tidak sependapat dengan program BLSM sebagai kompensasi penaikan harga BBM. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi misalnya menyatakan, pengurangan subsidi bahan bakar minyak oleh pemerintah hanya dialihkan ke subisid lain. Pasalnya, mayoritas anggaran penghematan alokasinya juga untuk subsidi. Sofjan berpendapat, masyarakat harusnya diberi pekerjaan, bukan bantuan langsung tunai. Kasih pancing, bukan ikannya. Daripada memberikan bantuan langsung yang sifatnya tidak mendidik, lebih baik dialokasikan untuk pembangunan proyek infrastruktur padat karya yang akan menyerap tenaga kerja yang pada akhirnya memberikan pendapatan kepada masyarakat. Pengamat ekonomi, Aviliani pun berpendapat senada. Menurutnya, bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) tidak produktif dan hanya bersifat sesaat. Kompensasi seharusnya diarahkan untuk membangun infrastruktur yang langsung menyangga hidup kelompok masyarakat paling rawan dampak kenaikan harga BBM.
Namun demikian, tampaknya pemerintah bersikeras untuk tetap melaksanakan program BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Jika ditelaah lebih lanjut, tentu mudah ditebak mengapa pemerintah terkesan lebih memilih memberi “ikan” daripada “pancing” kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Alasan politis tampaknya lebih mendasari keputusan tersebut. Harus diakui, dan terbukti dari hasil survey LSI diatas, kebijakan pemberian dana tunai kepada masyarakat merupakan kebijakan populis yang sangat disenangi oleh masyarakat. Maka, tidak salah lagi, pemberian BLSM merupakan upaya pemerintah untuk menarik simpati dari masyarakat, sekaligus “menabung” kepercayaan dari masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan.
Pemilu 2009 lalu menjadi bukti yang cukup sahih. Kemenangan partai Demokrat dan keberhasilan mendudukkan Presiden SBY untuk periode kedua pemerintahan tidak lepas dari bahan “jualan” Partai tersebut yang menyebutkan bahwa pada periode pertama pemerintahannya, Presiden SBY sudah banyak melakukan kebijakan populis dan pro rakyat, dan salah satu kebijakan yang dimaksud adalah pemberian dana tunai kepada masyarakat miskin (BLT). Dan sepertinya, kenangan manis inilah yang ingin diulang kembali oleh pemerintah (penguasa). (*)
Penulis adalah Alumnus FISIPOL USU dan pemerhati masalah sosial dan politik