Benni Sinaga, SE
Pendidikan adalah fondasi suatu bangsa atau negara karena keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan negara tersebut. Jadi hal yang mulia kalau kita bisa peduli kepada pendidikan.
Menarik pada saat seminar Nasional Pendidikan yang bertemakan “Qou Vadis Pendidikan Indonesia” yang membahas tentang arah politik pendidikan, demokrasi Pendidikan dan anggaran pendidikan bahasan ini menurut saya sudah bagian dari kepedulian kita kepada pendidikan karena tidak banyak orang yang bisa membahas dan berdiskusi tentang bagaimana kondisi pendidikan saat ini yang banyak dibahas sekarang adalah masalah korupsi, kesehatan, ekonomi dan lain-lain.
Saya sangat sepakat dengan ulasan Prof Dr HAR Tilaar yang mengatakan bahwa pendidikan Indonesia harus di kembalikan kepada roh UUD 1945 dan makna pendidikan beliau juga mengatakan bangsa yang cerdas bukan hanya bangsa yang menguasai bahasa asing dan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi meliputi berbagai segi kehidupan. Memang pada saat ini yang terjadi adalah pendidikan kita kehilangan makna dan kehilangan arah tetapi pemerintah tidak pernah menyadari itu.
Jawaban yang sering dari pemerintah adalah kami kan melakukan tugas, tanpa memikirkan bagaimana seharusnya pendidikan itu dalam prosesnya serta bagaimana dengan arah pendidikan itu sendiri. Tak hanya itu sering juga menyalahkan tenaga pendidik, membuat jadi korban, dipaksa mengerjakan sistem pendidikan yang telah dibuat sehingga harus menjerit tak karu-karuan. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pengamat pendidikan, pendidik dan anak didik inilah yang membuat arah pendidikan semakin jauh dari yang diharapkan.
Diskriminasi pendidikan juga telah mencederai roh pendidikan itu sendiri. Bila dilihat dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak menerima pendidikan yang layak. Dengan adanya RSBI Dan SBI tentu hal ini membuat pendidikan itu menjadi terswastanisasi sehingga menjadi mahal. Masyarakat mendapat angin segar setelah dinaikkannya anggaran untuk pendidikan menjadi 20 persen dari APBN sungguh hal yang mulia tetapi tak membuat uang sekolah murah.
Kita pun bingung anggaran 20 persen tetapi menyekolahkan anak TK habis juga sebulan 500.000 ribu, ibu-ibu menjerit dana BOS ada, dana alokasi khusus ada, entah kemana semua bantuan lari.
Entah pun uang itu juga ikut menjerit karena salah sasaran saya pun tidak tahu. Dulu sebelum ada dana BOS uang sekolah murah tetapi setelah ada dana BOS uang sekolah jadi selangit, kadang berpikir untuk apa dana BOS ada. Pernah juga dalam benak saya, entah pun masalah anggaran dan dana BOS ini drama sandiwara papan atas atau pihak yang berkepentingan.
Membicarakan pendidikan di Indonesia tidak bisa di lepaskan dari situasi di lapangan, termasuk tantangan global dan sistem pendidikan yang sesuai dengan situasi dan tantangan itu.
Mungkin sebagian kita sudah terlibat dalam praksis pendidikan. Padahal praksis tanpa refleksi hanya aktivisme (jatuh kedalam pragmatisme pendidikan) tetapi refleksi tanpa praksis hanya verbalisme (bagus digagasan lemah di aksi) pendidikan yang baik seyogianya dalam tegangan praksis-refleksi (Yonki Karman, Dosen Filsafat)
Pendidikan itu sendiri adalah sebuah bagian dari aktivitas manusia yang terdiri dari tindakan (praktik) dan refleksi (teori) praksis adalah tindakan yang mengubah dunia. Berbeda dari hewan yang hanya bertindak dan itu pun berdasarkan naluri, manusia berpotensi untuk mengubah dunia alamnya.
Itulah sprit yang menggerakkan alumnus ITB, Lendo Novo menggagas sekolah harus dekat alamnya atau kebudayaanya. Ia kesal melihat sistem pendidikan yang tidak berangkat dari potensi yang di miliki Indonesia yakni alam yang kaya sebagai gedung ilmu pengetahuan sangat disayangkan pada saat itu kebudayaan kita dipisahkan dari pendidikan padahal kedua hal ini adalah suatu hal yang tidak dibisa dipisahkan. Untung saja pada bulan Oktober 2011 Presiden SBY mengembalikan kebudayaan ke dalam lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Kita perlu belajar dari negara luar, kita lihat sekarang mereka sangat maju dalam pendidikan. Sebagai contoh ada Albert Eistein. Pasti ada sesuatu dalam pendidikan mereka yang perlu kita pelajari, sebab kualitas orang luar sekarang tidak muncul sedemikian rupa tapi terbentuk dari latar belakang sejarah yang panjang.
Ada pepatah cina yang menyebutkan butuh sepuluh tahun untuk menumbuhkan pohon dan dibutuhkan seratus tahun untuk menumbuhkan manusia. Jadi bisa kita lihat bahwa keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikannya serta apa yang di ajarkan untuk generasi mereka.
Orang luar bisa cerdas dan pintar karena mereka memasukkan pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting agar ketika menghadapi tantangan mereka bisa menarik keluar apa yang baik. Pendidikan mereka diintegrasikan pada lingkungannya, terutama terletak dalam keluarga dan konteks hidup sehari-hari.
Mereka diperintahkan untuk mengajarkan nilai-nilai keagamaan, dan kemudian pendidikan tersebut berkembang dalam hal kehidupan, berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Kualitas Pendidik
Realita pendidikan Indonesia tidak bisa juga dilepaskan dari tenaga pendidik yaitu guru dan dosen karena menurut saya aktor yang membangun kualitas pendidikan itu adalah tenaga pendidik. Tentu guru dan dosen sangat memegang peranan penting dalam pengembangan pendidikan nasional karena guru dan dosen sebagai tenaga pengajar atau yang mendidik atau yang memasukkan ilmu kepada siswa dan mahasiswa. Siswa dan mahasiswa dididik dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi untuk menjadi pemimpin bangsa berikutnya.
Pendidikan berkualitas tidak terlepas dari tenaga pendidik yang berkualitas karena apa yang di masukkan atau (diajarkan) sangat menentukan kepada keberhasilan bangsa ini untuk jangka panjang. Saya setuju dengan Dr Howard G seorang dosen yang mengatakan bahwa selama anda hidup, anda belajar dan selama anda belajar anda hidup.
Dan yang paling menarik adalah setelah saya membaca bukunya yang berjudul “Mengajar untuk mengubah hidup” Suatu hari dia mengundang muridnya makan siang di rumahnya. Setelah makan muridnya berkata, “Pak boleh saya bertanya? tentu kata si Bapak, langsung si anak bertanya. Apa yang membuat Bapak terus belajar? Bapak sepertinya tak pernah berhenti belajar bapak kan sudah Dosen untuk apa lagi belajar. Jawabannya adalah “Nak, saya lebih suka memberi minum mahasiswa dari sungai yang mengalir ketimbang dari kolam yang tergenang. Bagaimana dengan kita apakah kita seorang tenaga pendidik yang memberi minum mahasiswa/murid kita dari sungai yang mengalir? atau justru kita memberi minum dari air yang tergenang?
Solusi Pendidikan
Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian ilmiah dan pengabdian masyarakat. Dari ketiga dharma tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pada awalnya adalah sangat mulia. Pengertian pendidikan itu sendiri, yaitu memanusiakan, memerdekakan, mencerdaskan serta, mendewasakan seseorang.
Jadi hendaklah kita mengubah haluan, kembali pada prinsip pendidikan yang sebenarnya dan kembali pada UUD 1945.
Pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak menerima pendidikan. Maka hendaklah setiap orang sadar akan tanggungjawab pendidikan yang mereka terima untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang menyimpang terhadap dunia pendidikan yang menyimpang.
Maka untuk kita semua masyasrakat terdidik, bijaklah jangan hanya diam. Jadilah seorang pendidik bukan pengajar yang hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif semata. (*)