Oleh: Hartiningsih
Korupsi merupakan praktik yang tidak baik dilakukan oleh para pejabat. Sebab, korupsi sangat merugikan masyarakat dan merusak generasi yang akan datang. Namun, Tiga belas tahun terakhir ini, korupsi sudah dijadikan tren oleh para pejabat.
Sungguh tidak wajar, jika praktik yang tidak baik itu, selalu dipelihara dalam diri mereka. Akibatnya, praktik korupsi yang dijadikan tren, semakin merajalela dihadapan masyarakat. Padahal, negara Indonesia sudah mengalami reformasi yang cukup lama.
Namun, reformasi ini, hanya sebatas perubahan kepala pemerintah atau presiden pada masa Soeharto. Bahkan pro status quo pun masih ada sampai sekarang. Oleh karena itu, tidak salah jika reformasi hanya sebagai simbol “ganti baju” dari orde lama ke orde baru.
Melihat semua itu, pemerintahan SBY siap memberikan semangat baru dalam hal penegakan hukum. Bahkan, dalam pidato kenegaraan presiden SBY pun siap memimpin langsung dalam melakukan pemberantasan korupsi. Namun, kalimat “bersama SBY memberantas korupsi” yang keluar dari pidato itu, hanyalah sebagai jargon dalam kampanye.
Sebab, setelah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, janji-janji yang telah diikrarkannya pun dilupakan begitu saja. Niat para pemimpin tidak seiring dengan masyarakat, sehingga praktik korupsi semakin membudaya. Tidak hanya para pemimpin dan pemerintah daerah, tetapi wakil rakyat pun tak lepas dari praktik itu.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini Indonesia dijuluki “surga” bagi koruptor. Kini, masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah. Oleh kerena itu, untuk membuat masyarakat percaya, maka harus menggunakan data Kemendagri (kementerian dalam negeri) untuk mengetahui berapa banyak praktik korupsi yang telah dilakukan selama ini.
Dengan menggunakan data tersebut, terbukti bahwa di antara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Bahkan, dapat diketahui bahwa 70 persen dinyatakan telah bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.
Dengan melihat praktik korupsi yang semakin meningkat, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menjadi tumpuan bangsa Indonesia. Masyarakat sangat berharap kepada lembaga superbodi (KPK), agar dapat menuntaskan praktik korupsi di Indonesia. Selain mempunyai kewenangan besar, sebagaimana tercantum dalam UU NRI No. 30 Tahun 2002, KPK juga memiliki kewajiban untuk melakukan fungsi pencegahan (preventif) terhadap masyarakat. Untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, peran mayarakat sangat diperlukan.
Peran Masyarakat
Peran masyarakat dalam memajukan negara Indonesia sangat diperlukan. Tanpa ada partisipasi dari masyarakat, suatu negara tidak akan bisa berjalan sesuai tujuan yang diinginkan. Selain itu, masyarakat juga mempunyai hak sebagai warga negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam undang-undang.
Pertama, hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi kepada pemerintaah, jika ada informasi mengenai dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, hak untuk mendapat pelayanan yang memuaskan dalam mencari, memperoleh, dan memberi informasi yang berkenaan dengan beberapa dugaan terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menindaklanjuti pelaku praktik korupsi.
Ketiga, hak mengeluarkan pendapat dan memberikan saran yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penegak hukum yang menindaklanjuti pelaku praktik korupsi. Keempat, hak untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang telah ditujukan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)hari. Kelima, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 ayat 2 UU NRI No. 31 tahun 1999.
Laporan-laporan yang telah dihasilkan tentu sangat diperlukan oleh pihak yang berwajib. Berdasarkan laporan yang diperoleh, maka diharapkan oleh masyarakat untuk segera bisa mengungkapkan kasus korupsi.
Selain itu, laporan-laporan masyarakat tidak hanya sebatas laporan saja, tetapi harus berpegang pada asas-asas yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang sudah ditentukan.
Walaupun dalam peraturannya, negara akan memberikan jaminan terhadap masyarakat yang ikut berpartisipasi untuk pemberantasan korupsi, tetapi masyarakat masih khawatir dalam melaporkan kepada yang berwajib, dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Apalagi jika perkara yang ditujukan adalah kasus korupsi kelas kakap atau kasus-kasus yang melibatkan instansi pemerintahan dan elite politik yang berkuasa. Sebab, mereka sering mendapatkan intimidasi dari para pelaku.
Realita Korupsi
Hampir semua kasus korupsi yang terungkap, karena peran serta masyarakat, baik dilakukan secara individu maupun melalui lembaga-lembaga yang ada. Misalnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Namun, juga terdapat bebeberapa pihak yang saat melaporkan kasus-kasus itu, dianggap telah melakukan pencemaran nama baik.
Misalnya, praktik korupsi besar yang diungkap oleh Whistleblower dan Justice Collaborator yaitu, praktik rekening gendut petinggi Polri. Dengan terungkapnya kasus ini, justru merugikan pihak lain, yaitu terjadi pemukulan dan pembacokan kepada Tama, seseorang yang sebelumnya tidak dikenal. Selain itu, juga adanya pelemparan bom molotov terhadap kantor koran Tempo. Sayangnya, sampai sekarang kasus ini sama sekali tidak ada tindak lanjut yang tegas.
Kemudian dengan praktik korupsi mafia banggar. Wa Ode Nurhayati adalah seorang politikus PAN, mengakui bahwa terjadi pencalonan di Senayan. Wa Ode mengatakan bahwa para koleganya ikut serta dalam pembahasan anggaran. Ia juga mengatakan bahwa pihak yang terlibat mafia anggaran tersebut adalah pimpinan banggar DPR, pimpinan DPR, dan Kementerian Keuangan. Melihat penyataannya seperti itu, Wa Ode dianggap melakukan pencemaran nama baik oleh pihak yang tidak menyukainya. Bahkan, para koleganya juga ikut memusuhi dan melaporkannya kepada Dewan Kehormatan DPR.
Selain itu, ia juga dituduh terlibat kasus suap Pengalokasian Dana Percepatan Pembangunan (PPDI). Dari sinilah terlihat bahwa ada kesulitan dalam pengungkapan kasus korupsi di Indonesia. Padahal, penghirup kasus korupsi semakin merajalela. Tidak hanya diatur dalam pasal 41 UU NRI No. 31 Tahun 1999, tetapi juga diatur dalam pasal 10 ayat 2 UU NRI No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban .
Selain itu, negara menjamin bahwa akan diberikan keistimewaan karena kerjasama yang telah dilakukan, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA No. 04 Tahun 2011). Dengan demikian, masyarakat harus lebih optimal lagi dalam melakukan pemberantasan praktik korupsi. Wallahu a’lam bi al-Shawab.(*)
Penulis aktivis Nadhatul Ulama
Cabang Rembang, Pengamat Sekolah Politik IAIN Walisongo Semarang