Oleh:
Benni Sinaga SE
Korupsi? Lanjutkan… Mungkin kalimat itulah yang bisa dilontarkan oleh publik karena saking geramnya melihat penuntasan korupsi yang lamban dan bertele-tele saat ini. Rezim saat ini seakan tak berkutik dalam penuntasan korupsi. Padahal dulu berjanji menuntaskannya.
Hati saya jadi bertanya, apakah kata “Lanjutkan” saat Pilpres itu mengandung makna ambigu. Apa arti “lanjutkan”?
Meskipun sudah banyak kasus korupsi yang ditangani, namun penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia masih dinilai lamban. Bukti nyata, para koruptor masih berkeliaran. Bukti lain yang lebih menyedihkan adalah ketika suasana penegakan hukum bagi pelaku korupsi kuat didengungkan. Pemerintah malah memberikan grasi dan amnesti bagi para tahanan korupsi.
Keanehan ini mengindikasikan pemberantasan korupsi hanya sebuah wacana dan bayang-bayang yang tak berujung.
Di sisi lain, banyaknya kasus korupsi yang dilaporkan ke penegak hukum, bertumpuk di meja KPK, justru menjadi ajang korupsi baru oknum tertentu yang tak bertanggungjawab. Banyak kasus yang hanya tinggal kasus, tanpa kepastian penyelesaian. Hal ini kerap terjadi karena para koruptor punya akses politik kuat untuk menjadikan masalah berlarut-larut. Hal ini jelas menjawab akomodasi mereka yang punya “kuasa” dapat bertidak leluasa.
Wacana atau Pelajaran
Seorang pejabat yang sudah benar-benar terbukti korup dan dijerat hukuman yang terkesan ringan, namun pemerintah masih saja memberi potongan masa hukuman. Berita itu, kini menyita banyak energi dan perhatian publik. Perhelatan ini semakin memanas tatkala wacana memiskinkan koruptor dan menghukum mati koruptor beberapa bulan lalu menjadi perdebatan.
Tapi kini, di tengah situasi kencangnya niat masyarakat mendukung pemberantasan korupsi, pemerintah malah memberikan grasi kepada para koruptor. Kita masih ingat, kasus tahun 2006 lalu, ketika Hendarman Supanji selaku jaksa mendapat sorotan tajam dari publik. Saat itu perspektif pemecahan kasus korupsi diwarnai dengan skandal yang mengatasnamakan pemberantasan korupsi, tetapi dilakukan oleh “anak buah sendiri”. Akankah kita putar ulang roda sejarah yang lalu, yang jelas-jelas korupsi menyengsarakan rakyat?
Karut marut ketidakjelasan pemerintah sebenarnya sudah tampak jelas sejak awal ketika sibuk menyelenggarakan seleksi KPK, tapi abai terhadap eksistensi Komisi Yudisial (KY). Di sisi lain, kepercayaan periode kedua Presiden SBY tetap dengan semboyan melanjutkan pemberantasan korupsi, tapi nyatanya malah memberi korting hukuman kepada koruptor. Pemerintah terkesan setengah hati menegakkan hukum terhadap koruptor. Kenyataan ini semakin memprihatinkan.
Sampai kapanpun tanpa kesungguhan pemerintah memberantas korupsi, selama itu pula republik ini tidak akan pernah mampu keluar dari gerbang keterpurukan. Korupsi adalah aib bagi bangsa. Sekalipun KPK tangguh dan gigih berjuang, mencucurkan keringat terbaiknya dalam pemberantasan korupsi, namun ketidaktegasan pemerintah akan berujung pada kegagalan.
Harus diakui, pemerintah gagal meracik tim yang solid dalam menegakkan hukum dan hal ini menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum maupun institusi pemerintah kebobolan gawang sendiri.
Ancaman utama penuntasan kasus korupsi ini sebenarnya berada pada intern penegak hukum. Bila lembaga penegak hukumpun sampai terjerat hukum, bagaimana mengharapkan pihak lain meneladaninya? Ditambah lagi, banyaknya tersangka pelaku korupsi. Pasalnya, tersangka pelaku korupsi umumnya “pejabat yang kebal hukum” dan lamanya proses audit terhadap penyelewangan uang rakyat hingga skenario skandal korupsi bertajuk pejabat ini berlarut-larut dan habis ditelan waktu.
Tak jarang kesempatan ‘emas’ seperti ini menjadi peluang meski dalam kesempitan (favourable time or chance to do something wrong) bagi para komplotan koruptor untuk memusingkan kaum penegak hukum dan pemerintah dengan maksud mengalihkan perhatian publik dan penegak hukum dari masalah utama ke masalah korupsi lain yang juga cukup ruwet.
Korupsi sebagai sebuah permainan politik yang kotor akhirnya dapat dibungkus sedemikian apik oleh segelintir aktor pemerintahan yang korup. Hal ini diperparah ketika lembaga-lembaga penegak hukum tidak mampu tegak berdiri menegakkan hukum, mereka malah loyo, kurang bergerak. Terkadang, kita begitu mudah menganggap semua ini cukup hanya sebagai sebuah pelajaran, bukan memandangnya sebagai sebuah permainan wayang diperankan langsung oleh dalangnya, yang perlu dicermati secara serius. Kita seperti terhipnotis, tersugesti agar merasa asyik meski hanya menonton bayang-bayang yang sedang digerakkan, tanpa perlu mengetahui bahwa ada dalang dan wayang yang sedang bermain mengolok-olok kita, mencuri harta, menodai martabat serta merenggut kesejahteraan yang seharusnya dipersembahkan bagi rakyat, sehingga seiring waktu kubangan-kubangan korupsi semakin membesar dan bergerak sporadis hingga menjerat generasi muda. Jumlah kemiskinanpun bertambah besar dan kian parah.
Apa yang Dapat Mengobati?
Sebagai bangsa yang sudah lama berkecimpung dalam penuntasan kasus korupsi, yakni dibuktikan dengan undang-undangnya dan banyaknya komisi-komisi pemberantasan korupsi secara liar, otomatis rakyat menyimpan banyak keprihatinan terhadap kondisi moral di tanah air. Perangkap kemiskinan ada di depan mata. Ini adalah sebuah zaman yang penuh kepalsuan. Problematika BLBI adalah sebuah blooding yang “tak bisa padam”. Bayangkan, tanggungan bunga utang yang harus diangsur sampai tahun 2030. Itu baru bunganya saja. Dan bila kasus BLBI tidak tuntas maka bangsa ini akan tetap menangis, kini ditambah kasus skandal bailout Century, Wisma Atlet, Dirjen Pajak, dan korupsi lain.
Kasus skandal bailout Century jangan dipandang sebelah mata, sebab menyangkut kesejahteraan rakyat, kepribadian dan moral bangsa. Meskipun kasus ini tampaknya menyimpan segudang rahasia dan sengaja dikaburkan, namun tak ada teka-teki yang tidak dapat dijawab. Petunjuknya sudah ada! Permainan yang mantap, pemain yang andal, dan strategi yang cukup tangguh sekalipun pasti dapat dipatahkan seandainya semua lini pemerintahan ditingkatkan.
Bahkan partai politik pun menjadi tidak bisa membendung apa yang dinamakan korupsi tetapi semakin membuat menjamurnya korupsi atau dengan kata lain tempat sarangnya korupsi, terlihat pada saat pembuatan hak angket untuk menyelesaikan masalah mafia pajak, hak angket di tolak disini kalau menurut saya ada pemiliharaan atau dramatis penundaan penuntasan kasus-kasus mafia pajak. Pertanyaannya adalah sampai kapan pemerintah membiarkan korupsi di negeri ini. Nampak jelas dengan di tolaknya hak angket penuntasan mafia pajak, rasa-rasanya pemerintah ‘cuci tangan” dalam penuntasan korupsi di negeri ini.Jadi jelasnya penyelesaian kasus ini sepenuhnya ada ditangan pemerintah, pertanyanya: “Sudikah pemerintah?”
Melihat penuntasan korupsi yang lambat di negeri membuat publik bosan dan jenuh, dengan permainan para penguasa-penguasa yang memiliki andil. Saya yakin Tuhan tidak tidur melihat masalah korupsi di negeri ini, saya yakin suatu saat semuanya akan terungkap dan terbongkar. Saya pikir doa orang percaya tak kan begitu saja, semua akan terungkap indah pada waktunya. (*)
Penulis adalah Dosen STIE IBMI, aktif di Campus- Concern Medan (CC_ Medan)