32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Euforia Nasionalisme Tortor dan Gordang Sambilan

Oleh: Jones Gultom

Sensitivitas masyarakat Indonesia kembali teruji, ketika pemerintah Malaysia menunjukkan sinyalemen akan mengklaim Tor-tor dan Gordang Sambilan Mandailing sebagai warisan negaranya. Sejumlah reaksi pun bermunculan. Mulai dari sekedar diskusi sampai demonstrasi. Termasuk yang dilakukan oleh belasan seniman yang ada di Medan, beberapa waktu lalu.

Sehabis berdiskusi, mereka kemudian menggelar aksi panggung bersama di trotoar depan Taman Budaya Sumatera Utara. Tak tanggung-tanggung, seperangkat gordang sambilan dihadirkan lengkap dengan para penarinya. Gordang ditabuh, penari-penari meliuk dan masyarakat pun berkumpul menikmati pertunjukan gratis itu. Secara bergantian para seniman ini membacakan pernyataan sikap dan orasi kebudayaannya. Beberapa di antara masyarakat yang datang menonton, mulai terpancing suasana. Salah satunya, ada yang sampai “nyeletuk” dengan kalimat-kalimat provokatif. “Perang pun jadi,” katanya.

Reaksi masyarakat yang diwakili oleh para seniman ini, sebenarnya menunjukkan kekesalan kepada pemerintahnya sendiri. Apalagi ada kesadaran untuk mengakui bahwa apa yang dilakukan pemerintah Malaysia justru bernilai positif bagi perkembangan tor-tor dan gordang sambilan Mandailing itu sendiri. Setidaknya dengan diakuinya tor-tor dan gordang sambilan Mandailing sebagai aset bangsa Malaysia, eksistensi masyarakat Mandailing di Negeri Jiran itu tidak tergerus. Seperti kita tahu bersama, selama ini pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah memberi perhatian serius kepada aset-aset seni budayanya. Tidak ada pendataan ataupun pemetaan keragaman produk-produk seni dan kebudayaan yang mewakili ke Indonesiaan.

Selain itu, kantung-kantung kesenian, khususnya yang berorientasi pada seni tradisi, yang selama ini hidup survive, justru dibunuh. Belum lagi infrastuktur pendukungnya yang sangat minim. Tidak bisa dibayangkan, bangsa sebesar Indonesia, yang memiliki ribuan etnis dengan kekayaan keseniannya yang variatif  itu, hanya memiliki 1 gedung pertunjukan yang boleh dianggap representatif, yakni Gedung Kesenian Jakarta.

Itupun merupakan peninggalan kolonial. Ide membangun gedung ini berasal dari Gubernur Jenderal Belanda, Daendels. Kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.  Ironisnya, masih banyak provinsi di Indonesia yang sama sekali tidak memiliki gedung untuk seni pertunjukan. Masyarakat tidak tahu dimana harus menggelar pertunjukan keseniannya. Belum lagi dengan beragam masalah klasik yang lain. Sangat wajar jika perlahan-lahan aset yang cukup bernilai itu hilang.

Tak Sekedar Memiliki

Inisiatif komunitas masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia untuk mempertahankan akar kebudayaannya, setali tiga uang dengan agenda “Truly Asia” yang tengah diusung pemerintah Malaysia. Faktanya, Malaysia tidak satu-satunya negara yang bermimpi untuk menjadi “galeri Asia.” Di Pattaya, Thailand misalnya, kita harus membayar ratusan ribu rupiah untuk menonton pertunjukan tari Serampang 12. Bahkan kita harus pula belajar kebudayaan Batak di Jerman atau Belanda.

Sebaliknya, negara kita termasuk tempat yang paling subur bagi ekspansi seni dari berbagai negara. Pada genre musik, kita mengenal, klasik, blues, jazz, rap, termasuk keroncong yang bukan asli Indonesia. Di antaranya bahkan mendapat tempat yang cukup eksklusif di masyarakat. Belakangan boy-girl band yang seratus persen Korea. Pertumbuhan musik-musik impor itu seiring dengan labilitas masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri. Saat-saat seperti ini, kita mestinya berterimakasih pada pemerintah Malaysia yang mau mangakomodir permintaan komunitas Mandailing yang ada di negaranya itu.

Namun bukan berarti pemerintah Malaysia bebas mengklaim segala bentuk-bentuk kesenian yang ada di negaranya, sebagai warisan bangsa mereka. Secara de facto, Tor-tor dan Gordang Sambilan Mandailing ada di Malaysia, tetapi de jure, ia berakar dari bangsa Indonesia. Argumennya sederhana, bahwa masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia adalah kelompok etnis yang memang berasal dari Indonesia (nusantara).
Sekalipun komunitas masyarakat Mandailing itu sudah menjadi warga negara Malaysia, tetap saja akar kebudayaan maupun identitas kesukuannya berasal dari Indonesia. Sama halnya, di negara manapun orang Batak bermukim dia tetaplah Batak, jika ia masih menggunakan atribut kebatakannya. Pengakuan ini penting untuk mempertegas batas politik kebudayaan. Batas inilah yang harus dituntut oleh pemerintah Indonesia.

Duri Serumpun

Istilah ini dipopulerkan sejarawan, Rum Aly, menganalogikan hubungan Indonesia-Malaysia. Dalam satu catatannya, Rum menyebut ketidakmesraan Indonesia-Malaysia, di antaranya disebabkan, kekecewaan Soekarno yang merasa dikhianati Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM), Malaysia waktu itu. Konon sebelum merdeka, Malaysia pernah “bersepakat” akan bergabung ke Indonesia, yang merupakan saudara serumpun. Tidak heran jika, Indonesia di bawah Soekarno menjadi salah satu pendukung utama untuk kemerdekaan Malaya, (Malaysia) lepas dari kolonialisme Inggris. Salah satu usaha untuk itu dengan menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Selanjutnya, sebagai persiapan menuju kemerdekaan itu, Soekarno bahkan mengirimkan sejumlah penduduk Indonesia (Melayu, Bugis dan mungkin juga Mandailing) untuk mengisi kuota penduduk “lokal” seperti pra syarat yang diminta Inggris.

Tetapi kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Pada tahun 1957, Malaysia diberi kemerdekaan oleh Inggris. Tetapi sesudah 6 tahun berlalu, kesepakatan untuk bergabung bersama dalam satu negara serumpun itu, tak juga ditepati. Malaysia malah memilih gagasan yang dilontarkan Inggris untuk menjadi negara federasi. Konsep federasi itu dimaksudkan untuk merangkul Sabah, Serawak dan Brunei yang terletak di utara Kalimantan. Sebagai konsekuensinya, Malaysia tetap berada dalam naungan negara persemakmuran Inggris. Sebelumnya muncul saling klaim terhadap Sabah. Beberapa kali digelar pertemuan untuk membahas itu. Namun manuver gerakan bawah tanah yang dilakukan Kepala Intelijen, Soebandrio, berdampak pada kegagalan perundingan mencari kesepakatan. Sejak peristiwa itu, situasi politik antar kedua negara (Indonesia-Malaysia) memanas. Salah satu wujudnya Soekarno pun melancarkan aksi dwikora di tahun 1963. Adakah dendam politik ini yang masih terbawa antara Indonesia-Malaysia hingga sampai saat ini?

(Penulis adalah Pemerhati Budaya)

Oleh: Jones Gultom

Sensitivitas masyarakat Indonesia kembali teruji, ketika pemerintah Malaysia menunjukkan sinyalemen akan mengklaim Tor-tor dan Gordang Sambilan Mandailing sebagai warisan negaranya. Sejumlah reaksi pun bermunculan. Mulai dari sekedar diskusi sampai demonstrasi. Termasuk yang dilakukan oleh belasan seniman yang ada di Medan, beberapa waktu lalu.

Sehabis berdiskusi, mereka kemudian menggelar aksi panggung bersama di trotoar depan Taman Budaya Sumatera Utara. Tak tanggung-tanggung, seperangkat gordang sambilan dihadirkan lengkap dengan para penarinya. Gordang ditabuh, penari-penari meliuk dan masyarakat pun berkumpul menikmati pertunjukan gratis itu. Secara bergantian para seniman ini membacakan pernyataan sikap dan orasi kebudayaannya. Beberapa di antara masyarakat yang datang menonton, mulai terpancing suasana. Salah satunya, ada yang sampai “nyeletuk” dengan kalimat-kalimat provokatif. “Perang pun jadi,” katanya.

Reaksi masyarakat yang diwakili oleh para seniman ini, sebenarnya menunjukkan kekesalan kepada pemerintahnya sendiri. Apalagi ada kesadaran untuk mengakui bahwa apa yang dilakukan pemerintah Malaysia justru bernilai positif bagi perkembangan tor-tor dan gordang sambilan Mandailing itu sendiri. Setidaknya dengan diakuinya tor-tor dan gordang sambilan Mandailing sebagai aset bangsa Malaysia, eksistensi masyarakat Mandailing di Negeri Jiran itu tidak tergerus. Seperti kita tahu bersama, selama ini pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah memberi perhatian serius kepada aset-aset seni budayanya. Tidak ada pendataan ataupun pemetaan keragaman produk-produk seni dan kebudayaan yang mewakili ke Indonesiaan.

Selain itu, kantung-kantung kesenian, khususnya yang berorientasi pada seni tradisi, yang selama ini hidup survive, justru dibunuh. Belum lagi infrastuktur pendukungnya yang sangat minim. Tidak bisa dibayangkan, bangsa sebesar Indonesia, yang memiliki ribuan etnis dengan kekayaan keseniannya yang variatif  itu, hanya memiliki 1 gedung pertunjukan yang boleh dianggap representatif, yakni Gedung Kesenian Jakarta.

Itupun merupakan peninggalan kolonial. Ide membangun gedung ini berasal dari Gubernur Jenderal Belanda, Daendels. Kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.  Ironisnya, masih banyak provinsi di Indonesia yang sama sekali tidak memiliki gedung untuk seni pertunjukan. Masyarakat tidak tahu dimana harus menggelar pertunjukan keseniannya. Belum lagi dengan beragam masalah klasik yang lain. Sangat wajar jika perlahan-lahan aset yang cukup bernilai itu hilang.

Tak Sekedar Memiliki

Inisiatif komunitas masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia untuk mempertahankan akar kebudayaannya, setali tiga uang dengan agenda “Truly Asia” yang tengah diusung pemerintah Malaysia. Faktanya, Malaysia tidak satu-satunya negara yang bermimpi untuk menjadi “galeri Asia.” Di Pattaya, Thailand misalnya, kita harus membayar ratusan ribu rupiah untuk menonton pertunjukan tari Serampang 12. Bahkan kita harus pula belajar kebudayaan Batak di Jerman atau Belanda.

Sebaliknya, negara kita termasuk tempat yang paling subur bagi ekspansi seni dari berbagai negara. Pada genre musik, kita mengenal, klasik, blues, jazz, rap, termasuk keroncong yang bukan asli Indonesia. Di antaranya bahkan mendapat tempat yang cukup eksklusif di masyarakat. Belakangan boy-girl band yang seratus persen Korea. Pertumbuhan musik-musik impor itu seiring dengan labilitas masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri. Saat-saat seperti ini, kita mestinya berterimakasih pada pemerintah Malaysia yang mau mangakomodir permintaan komunitas Mandailing yang ada di negaranya itu.

Namun bukan berarti pemerintah Malaysia bebas mengklaim segala bentuk-bentuk kesenian yang ada di negaranya, sebagai warisan bangsa mereka. Secara de facto, Tor-tor dan Gordang Sambilan Mandailing ada di Malaysia, tetapi de jure, ia berakar dari bangsa Indonesia. Argumennya sederhana, bahwa masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia adalah kelompok etnis yang memang berasal dari Indonesia (nusantara).
Sekalipun komunitas masyarakat Mandailing itu sudah menjadi warga negara Malaysia, tetap saja akar kebudayaan maupun identitas kesukuannya berasal dari Indonesia. Sama halnya, di negara manapun orang Batak bermukim dia tetaplah Batak, jika ia masih menggunakan atribut kebatakannya. Pengakuan ini penting untuk mempertegas batas politik kebudayaan. Batas inilah yang harus dituntut oleh pemerintah Indonesia.

Duri Serumpun

Istilah ini dipopulerkan sejarawan, Rum Aly, menganalogikan hubungan Indonesia-Malaysia. Dalam satu catatannya, Rum menyebut ketidakmesraan Indonesia-Malaysia, di antaranya disebabkan, kekecewaan Soekarno yang merasa dikhianati Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM), Malaysia waktu itu. Konon sebelum merdeka, Malaysia pernah “bersepakat” akan bergabung ke Indonesia, yang merupakan saudara serumpun. Tidak heran jika, Indonesia di bawah Soekarno menjadi salah satu pendukung utama untuk kemerdekaan Malaya, (Malaysia) lepas dari kolonialisme Inggris. Salah satu usaha untuk itu dengan menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Selanjutnya, sebagai persiapan menuju kemerdekaan itu, Soekarno bahkan mengirimkan sejumlah penduduk Indonesia (Melayu, Bugis dan mungkin juga Mandailing) untuk mengisi kuota penduduk “lokal” seperti pra syarat yang diminta Inggris.

Tetapi kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Pada tahun 1957, Malaysia diberi kemerdekaan oleh Inggris. Tetapi sesudah 6 tahun berlalu, kesepakatan untuk bergabung bersama dalam satu negara serumpun itu, tak juga ditepati. Malaysia malah memilih gagasan yang dilontarkan Inggris untuk menjadi negara federasi. Konsep federasi itu dimaksudkan untuk merangkul Sabah, Serawak dan Brunei yang terletak di utara Kalimantan. Sebagai konsekuensinya, Malaysia tetap berada dalam naungan negara persemakmuran Inggris. Sebelumnya muncul saling klaim terhadap Sabah. Beberapa kali digelar pertemuan untuk membahas itu. Namun manuver gerakan bawah tanah yang dilakukan Kepala Intelijen, Soebandrio, berdampak pada kegagalan perundingan mencari kesepakatan. Sejak peristiwa itu, situasi politik antar kedua negara (Indonesia-Malaysia) memanas. Salah satu wujudnya Soekarno pun melancarkan aksi dwikora di tahun 1963. Adakah dendam politik ini yang masih terbawa antara Indonesia-Malaysia hingga sampai saat ini?

(Penulis adalah Pemerhati Budaya)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/