25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Anggota DPD RI, Pengangguran Bergaji?

Oleh: Muhammad Nuh SPd MSP

DI suatu forum, seorang akademisi mengatakan (lebih kurang):
“Terkait dengan DPD RI, rakyat menggaji orang yang tidak jelas pekerjaannya/penganggur.”
“Pembentukan DPD RI setengah hati.”
“Kalau hanya mengusulkan RUU, siapapun bisa.”
“Banyak yang berpandangan, DPD RI dibubarkan saja.”

Atas ungkapan di atas, kami menyampaikan beberapa catatan, sebagai berikut:
1. DPD RI dibentuk pada awal masa reformasi, dalam proses amandemen Undang-undang Dasar 1945 (1999-2002). MPR yang ketika itu sebagai Lembaga Tertinggi Negara terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Pasal ini diamandemen menjadi: “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yg dipilih secara demokratis…”

2. Pengubahan dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan ke DPD memang menjadi diskusi dan perdebatan panjang. Akhirnya disepakatilah seperti yang ada sekarang.

3. Sesudah berubahnya MPR dalam UUD, mengemuka pandangan yang beragam. Apakah Indonesia menganut trikameral (MPR, DPR dan DPD), bikameral (DPR dan DPD) atau unikameral (hanya DPR sebagai pembuat Undang-undang).

4. Para pakar hukum tata negara semisal Prof Bagir Manan, Prof Jimly Asshiddiqie dll memberikan masukan yang ideal ketika itu. Namun keputusannya tetap politis seperti sekarang ini.

5. UUD NRI Tahun 1945 pasca amandemen mengakui 6 lembaga negara: Presiden (Eksekutif), MPR, DPR dan DPD (Legislatif), MA dan MK (Yudikatif).

6. Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) berasal dari Presiden, DPR dan DPD (khusus yang terkait dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah).
Selain itu, DPD juga memberikan pertimbangan terkait RUU APBN, pajak, pendidikan dan agama. Putusan MK atas perkara No 92/PUU-X/2012 menguatkan fungsi legislasi DPD.

7. IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) menyebutkan, dari 54 negara demokrasi (ketika itu Indonesia belum dimasukkan) 32 negara memilih bikameral, 22 negara memilih unikameral. Dalam perkembangannya, kini lebih dari 70 negara yang menganut bikameral.
Dari 10 negara Asean, 7 negara menganut sistem demokrasi. 5 negara menerapkan sistem Parlemen bikameral (Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand dan Indonesia).

Memang ada negara yang menerapkan Hard Bicameral (seimbang antara DPR sebagai representasi politik dan DPD sebagai wakil daerah). Ada juga yang Soft Bicameral.
Indonesia, dari satu sisi semestinya masuk Hard Bicameral, karena anggota DPD-nya dipilih langsung oleh rakyat. Tapi dalam kenyataannya masuk dalam Soft Bicameral, karena kewenangannya yang terbatas.

8.Memahami DPD RI, sebaiknya kita mengkaji pasal dan ayat-ayat yang ada di UUD NRI Tahun 1945 baik terkait dengan MPR, maupun yang khusus tentang DPD. Juga undang-undang tentang MPR, DPR dan DPD, tata tertib MPR, dan tata tertib DPD. Dengan demikian diharapkan dapat melihat secara seimbang.

9. Sebagai lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit oleh UUD NRI Tahun 1945, tentu membubarkannya harus melalui amandemen. Mempertimbangkan kecenderungan banyak negara di dunia yang menggunakan sistem bikameral sebagai upaya menjaga keseimbangan (checks and balances) yang menjadi semangat Reformasi, maka ada baiknya yang diupayakan adalah penguatan lembaga DPD RI secara formal.

Meskipun dalam perjalanannya, anggota DPD RI, terutama di daerah pemilihannya, di samping fungsi formalnya, fungsi sosialnya dirasakan publik, in sya Allaah. Sebagai contoh, Tamsil Linrung, anggota DPD RI dapil Sulawesi Selatan, yang juga Ketua BAP (Badan Akuntabilitas Publik) DPD RI.

Menindak lanjuti hasil audit BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) RI, beliau kumpulkan BPK Perwakilan Sulsel, Gubernur, Jaksa Tinggi, dll. Dibicarakanlah masalah DBH (Dana Bagi Hasil) yang merupakan hak Kabupaten/Kota yang masih tertahan di Pemprov. Dengan izin Allaah SWT, puluhan milyar hak daerah dikembalikan.

Semoga kita dapat saling menghormati antar individu dan kelompok masyarakat Indonesia, apalagi sikap kita kepada lembaga negara. Terima kasih, lebih dan kurangnya mohon maaf. (*)

Oleh: Muhammad Nuh SPd MSP

DI suatu forum, seorang akademisi mengatakan (lebih kurang):
“Terkait dengan DPD RI, rakyat menggaji orang yang tidak jelas pekerjaannya/penganggur.”
“Pembentukan DPD RI setengah hati.”
“Kalau hanya mengusulkan RUU, siapapun bisa.”
“Banyak yang berpandangan, DPD RI dibubarkan saja.”

Atas ungkapan di atas, kami menyampaikan beberapa catatan, sebagai berikut:
1. DPD RI dibentuk pada awal masa reformasi, dalam proses amandemen Undang-undang Dasar 1945 (1999-2002). MPR yang ketika itu sebagai Lembaga Tertinggi Negara terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Pasal ini diamandemen menjadi: “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yg dipilih secara demokratis…”

2. Pengubahan dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan ke DPD memang menjadi diskusi dan perdebatan panjang. Akhirnya disepakatilah seperti yang ada sekarang.

3. Sesudah berubahnya MPR dalam UUD, mengemuka pandangan yang beragam. Apakah Indonesia menganut trikameral (MPR, DPR dan DPD), bikameral (DPR dan DPD) atau unikameral (hanya DPR sebagai pembuat Undang-undang).

4. Para pakar hukum tata negara semisal Prof Bagir Manan, Prof Jimly Asshiddiqie dll memberikan masukan yang ideal ketika itu. Namun keputusannya tetap politis seperti sekarang ini.

5. UUD NRI Tahun 1945 pasca amandemen mengakui 6 lembaga negara: Presiden (Eksekutif), MPR, DPR dan DPD (Legislatif), MA dan MK (Yudikatif).

6. Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) berasal dari Presiden, DPR dan DPD (khusus yang terkait dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah).
Selain itu, DPD juga memberikan pertimbangan terkait RUU APBN, pajak, pendidikan dan agama. Putusan MK atas perkara No 92/PUU-X/2012 menguatkan fungsi legislasi DPD.

7. IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) menyebutkan, dari 54 negara demokrasi (ketika itu Indonesia belum dimasukkan) 32 negara memilih bikameral, 22 negara memilih unikameral. Dalam perkembangannya, kini lebih dari 70 negara yang menganut bikameral.
Dari 10 negara Asean, 7 negara menganut sistem demokrasi. 5 negara menerapkan sistem Parlemen bikameral (Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand dan Indonesia).

Memang ada negara yang menerapkan Hard Bicameral (seimbang antara DPR sebagai representasi politik dan DPD sebagai wakil daerah). Ada juga yang Soft Bicameral.
Indonesia, dari satu sisi semestinya masuk Hard Bicameral, karena anggota DPD-nya dipilih langsung oleh rakyat. Tapi dalam kenyataannya masuk dalam Soft Bicameral, karena kewenangannya yang terbatas.

8.Memahami DPD RI, sebaiknya kita mengkaji pasal dan ayat-ayat yang ada di UUD NRI Tahun 1945 baik terkait dengan MPR, maupun yang khusus tentang DPD. Juga undang-undang tentang MPR, DPR dan DPD, tata tertib MPR, dan tata tertib DPD. Dengan demikian diharapkan dapat melihat secara seimbang.

9. Sebagai lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit oleh UUD NRI Tahun 1945, tentu membubarkannya harus melalui amandemen. Mempertimbangkan kecenderungan banyak negara di dunia yang menggunakan sistem bikameral sebagai upaya menjaga keseimbangan (checks and balances) yang menjadi semangat Reformasi, maka ada baiknya yang diupayakan adalah penguatan lembaga DPD RI secara formal.

Meskipun dalam perjalanannya, anggota DPD RI, terutama di daerah pemilihannya, di samping fungsi formalnya, fungsi sosialnya dirasakan publik, in sya Allaah. Sebagai contoh, Tamsil Linrung, anggota DPD RI dapil Sulawesi Selatan, yang juga Ketua BAP (Badan Akuntabilitas Publik) DPD RI.

Menindak lanjuti hasil audit BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) RI, beliau kumpulkan BPK Perwakilan Sulsel, Gubernur, Jaksa Tinggi, dll. Dibicarakanlah masalah DBH (Dana Bagi Hasil) yang merupakan hak Kabupaten/Kota yang masih tertahan di Pemprov. Dengan izin Allaah SWT, puluhan milyar hak daerah dikembalikan.

Semoga kita dapat saling menghormati antar individu dan kelompok masyarakat Indonesia, apalagi sikap kita kepada lembaga negara. Terima kasih, lebih dan kurangnya mohon maaf. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/