Oleh:
Join L Silaban S.Pd
Seiring semakin dekatnya pemilihan umum (baik Pilkada maupun Pilpres) yang akan diselenggarakan, banyak sosok calon pemimpin/pejabat mulai bermunculan bak jamur di musim penghujan.
Mereka mulai memperkenalkan dirinya kepada masyarakat luas agar dikenal. Ada yang mengaku bahwa keikutsertaannya dalam ajang pemilu adalah karena dia sebagai sosok yang bertanggungjawab untuk membawa bangsa/daerahnya keluar dari keterpurukan, kemiskinan dan kesengsaraan.
Dia mengaku bahwa niat maju menjadi calon pemimpin adalah sebuah panggilan/amanah yang harus dilaksanakan. Ada juga yang diakui layak sebagai seorang sosok calon pemimpin oleh para pendukungnya. Dalam artian, dia dicalonkan untuk maju oleh pendukungnya karena dianggap mempunyai akuntabilitas, kapabilitas, sepak terjang/jejak rekam yang baik, pengalaman luas yang tidak diragukan lagi, kedekatannya dengan masyarakat, kemampuan, ketegasan, kebijaksanaan dan entah apalagi istilah yang banyak disampaikan yang menunjukkan dia layak/pantas diangkat menjadi seorang pemimpin daerah/negara.
Karena merasa mempunyai kesempatan, basis dan dukungan tersebut, para calon pemimpin mulai “mengipaskan sayapnya” untuk mencengkram simpati dan dukungan masyarakat secara luas agar kelak dipilih.
Bacalah berbagai media cetak, di sana ada banyak calon pemimpin yang “mempromosikan diri” secara langsung bahwa dia adalah seorang calon pemimpin yang akan membawa daerah/negara menuju bangsa/daerah yang lebih baik, makmur, sejahtera, damai, dan berbagai istilah lainnya, pokoknya yang mengambarkan kondisi positif (baik-baiknya)-lah.
Ada juga orang lain (pendukung) yang menceritakan “daftar riwayat hidup” calon pemimpin yang akan diusungnya.
Uniknya, orang lain (pendukungnya) ini hanya menceritakan keunggulan-keunggulan (baik-baiknya) saja dengan mengesampingkan kelemahan-kelemahan sosok yang diusungnya.
Ibarat para pelayat atau kerabat yang memberikan kata penghiburan kepada keluarga almarhum/almarhumah. Para pelayat dan kerabat akan selalu menceritakan kehidupan dan perilaku almarhum/almarhumah yang baik-baiknya. “Semasa hidupnya, Bapak/Ibu ini dulu adalah sosok yang patut diteladani, orangnya baik, jiwa yang rendah hati, dan mau membantu sesamanya” (Untungnya tidak dilanjutkan, rajin menabung dan patuh kepada orangtua, he-he.).
Padahal sebenarnya, ada banyak kebusukan, perbuatan tak terpuji dan kebiasaan almarhum/almarhumah yang jelek yang ditemukan semasa hidupnya. Tetapi, mungkin inilah kenyataan di dunia fana ini, banyak sandiwaranya.
Saat Kampanye
Barangkali berikut ini bukan informasi dan hal baru. Ibarat seorang pemuda dalam masa PDKT (pendekatan-red) kepada seorang gadis pujaannya, pemuda tersebut akan selalu berkata-kata manis demi mendapatkan perhatian gadis tersebut. Pemuda itu akan berusaha merangkai kata-kata seindah mungkin yang dapat meluluhkan hati si Gadis. Si Pemuda akan selalu tersenyum dan bercerita panjang dengan si gadis dambaan hatinya agar si gadis merasa senang dan betah bersama dengannya.
Demikian halnya saat berkampanye, calon pejabat kerap membawa “cinta sejuta rasa” yang membuat hati rakyat terkelepak-kelepak. Berbagai motto dan prinsip yang menyejukkan hati dipakainya untuk “membius” hati rakyat. Semua motto yang diangkat selalu berpusat pada “kepentingan rakyat”. Si calon pemimpin selalu melempar senyum dan seolah-olah ingin dekat dengan rakyat dengan tujuan, menggaet pilihan rakyat. Merasa empati dan kasihan melihat nasib rakyat, agar suara rakyat dapat diperolehnya. Dasar playboy!
Mereka akan menyatakan diri “bersih dari korupsi”, “si pembawa aspirasi rakyat” “bekerja untuk rakyat”, “siap mundur jika visi tidak tercapai”, hingga menyumpahkan “siap digantung jika terlibat korupsi”. Dan masih banyak lagi “kata-kata mutiara” para calon yang tidak bisa penulis sampaikan satu per satu. Calon pemimpin akan “bermain kata” demi mencapai ambisinya menjadi penguasa suatu daerah/negara.
Kita sudah kenyang bahkan muak dengan bahasa para calon pejabat ketika berkampanye. Sudah barang lapuk, para calon mengumbar janji mewujudkan rakyat sejahtera. Namun, setelah terpilih, rakyat dibiarkan menderita, kemiskinan semakin parah, penindasan dan perampasan hak hidup dan HAM, korupsi merajalela dan masih banyak lagi keburukan yang terjadi yang menunjukkan janji tidak ditepati.
Para calon pejabat selama ini sudah mengabaikan makna/arti janji sejati. Mereka menganggap enteng makna sebuah janji. Mereka belum menyadari betapa mulianya sebuah janji. Janji adalah sebuah utang yang harus dilunasi. Jika tidak dilunasi, maka akan ada konsekuensi yang besar bakalan terjadi. Janji adalah sebuah nazar. Jika janji tidak ditepati, maka akan ada pembalasan bagi pengingkar. Ingkar janji dapat dikategorikan sebagai dosa berat.
Manusia memang makluk yang tidak terlepas dari dosa. Namun, manusia masih memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri. Tuhan memberikan intuisi dan hati nurani kepada manusia dalam mengedepankan kebaikan. Tuhan memberikan akal budi dan pengertian untuk cenderung melakukan hal-hal yang dianggapnya benar dan menghindari yang menurutnya salah. Oleh karena itu, calon pemimpin diharapkan haruslah memiliki intuisi dan hati nurani yang peka agar mampu membawa bangsa/daerah menuju kebaikan.
Harapan
Meski rakyat sudah sering mengalami kekecewaan dan pesimisme terhadap para pemimpin bangsa/daerah, namun masih ada secercah harapan yang dapat dicapai. Kita masih punya peluang untuk menemukan sosok pemimpin yang benar-benar mampu membawa bangsa/daerah menuju kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicita-citakan.
Terlebih, provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang akan menyelenggarakan Pilgubsu 2013 yang akan datang. Masih terbuka lebar bagi kita untuk mendapatkan pemimpin sesuai harapan. Masyarakat Sumut harus bijak dan mendengar suara hati dalam menentukan pilihan yang tepat.
Masyarakat Sumut jangan mau tergiur dengan “uang pelicin” dan “balas budi” yang sering menjadi “senjata andalan” calon pejabat dalam memuluskan ambisinya. Money politics dan upah balas budi adalah sebuah pembodohan dan pembobrokan. Jangan kita biarkan pembodohan dan pembobrokan menjajah kita yang dikenal sebagai masyarakat cerdas.
Kita berdoa, agar para calon pemimpin adalah orang-orang yang benar peduli dengan nasib rakyat, nasib daerah/bangsa dan negara ini. Kita harus yakin akan hal itu. Keyakinan itu kita dapat aplikasikan dengan tetap menggunakan hak pilih kita untuk memilih nantinya (tidak golput). Semoga.
Penulis adalah Guru SMA Methodist Tanjung Morawa