Oleh: Darisman Ahmad
Pluralitas, heterogenitas, religius dan toleran beberapa waktu belakangan seperti dipaksa bertekuk lutut oleh marak dan intensnya aksi terorisme. Bak kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Terorisme yang dikemas dalam berbagai bentuk pemberitaan membuat bangsa kita tampak angker.
Sesuatu yang berlawanan dengan sejarah kebhinekaan. Namun, selalu muncul pertanyaan: mengapa terorisme terus-menerus terjadi?
Bisa dibilang teroris sudah masuk dalam kalender persoalan rutin yang tiap tahunnya menyambangi benak kita sebagai masyarakat. Bersanding dengan persoalan kenaikan BBM dan mudik di antaranya.
Dari kasus pemberitaan Solo dan bom di Depok, peristiwa ini selalu bertepatan dengan peringatan 11 September di mana Gedung WTC runtuh tahun 2001.
Hari itu pun seakan hari pembuka. Entah apa dan bagaimana relevansinya. Tapi kecenderungannya mengarah kepada semacam pembuktian bahwa Indonesia juga berpotensi menakutkan.
Karena masih banyaknya ancaman bom. Dikatakan hari pembuka, mengacu pada pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar bahwa adanya tren peningkatan aksi teror mulai September.
Bahkan ada pernyataan aksi ini bisa menghebat hingga Desember. Pernyataan ini sudah barang tentu tidak akan memberi kenyamanan bagi kita sebagai masyarakat. Bahkan sebaliknya, ketakutan menjadi tersebar dan dikhawatirkan akan banyak mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Terlebih pada era informasi sekarang ini, dengan banyak dibantu pemberitaan media massa dan kemajuan teknologi informasi, informasi yang disampaikan semakin cepat tersebar dan bisa diakses setiap saat oleh kita sebagai masyarakat.
Masih Misteri
Aksi terorisme terus menjadi persoalan yang makin kompleks. Apalagi bagi kita, terorisme masih menjadi sebuah istilah yang asing didengar.
Terlebih dengan aksi-aksi yang mengiringinya, dengan bentuk pengeboman dan sejenisnya. Napak tilas ke fase sejarah masa kapan pun tak akan ditemui akarnya.
Toh, jikapun ada, gerakan PKI dan peristiwa represif terhadap kepentingan bangsa dalam sejarah kita tidak pernah disebut teroris. Artinya istilah ini masih enigma.
Bukan itu saja, ada hal lain yang tak kalah pentingnya diperhatikan. Pembahasan tentang terorisme dan aksi-aksi yang telah terjadi nyaris tanpa “judul” dan akhir cerita yang jelas.
Ini dapat dilihat dari pemberitaan dan berbagai cerita yang berkembang. Sehingga semua berlangsung cenderung tanpa arah yang jelas.
Dan, tak perlu tunggu lama, banyak pihak yang memanfaatkan ini untuk hasrat pribadi dan kelompoknya, yang tak menutup kemungkinan bisa kontraproduktif dengan upaya memperbaiki kondisi bangsa ini.
Sederhananya bisa disimak dari yang muncul belakangan. Mulai dari sertifikasi ulama yang diusulkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kemudian ditolak sejumlah tokoh dan ulama di tengah masyarakat.
Karena sebutan ulama merupakan atribusi yang datang dari masyarakat yang mereka lekatkan kepada orang paham, menjadi rujukan, mengamalkan, dan mengajarkan agama Islam. Dan, yang teranyar adalah tagline dalam sebuah acara talkshow Metro TV “Awas, Generasi Baru Teroris” yang secara gegabah menyimpulkan bahwa kelompok ekstrakurikuler keislaman (yang dikerucutkan ke lembaga Rohis) di sekolah-sekolah diduga sebagai tempat perekrutan teroris.
Inipun akhirnya menuai banyak protes masyarakat luas. Mulai di BBM, SMS berantai, penggalangan protes lewat Twitter, Facebook, maupun milis.
Wajar saja. Jika tagline tadi dipakai, maka banyak pejabat negara hingga tingkat daerah dan para profesional seantero negeri ini dinilai berpotensi sebagai teroris.
Waduh! Karena mereka pernah berada di dalamnya. Selain itu, ini kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan. Di saat para pelajar kita terancam dengan bahaya pergaulan bebas, narkoba dan tawuran, Rohis justru menjadi salah satu solusi untuk pembinaan mental dan spiritual mereka.
Teror Sosial
Kekhawatiran inilah seharusnya jadi pertimbangan bagi aparat keamanan dalam membahasakan terorisme ke tengah masyarakat. Karena, setakad ini bahasa yang dipakai cenderung bukan mengarah kepada menenangkan publik, akan tetapi justru terkesan menyebarkan ketakutan.
Semisal pernyataan beberapa petinggi institusi terkait yang menyatakan bahwa aksi teroris trennya makin meningkat dan sebagainya.
Terlalu banyak wara-wiri infomasi terutama melalui kemasan pemberitaan media tersebut tentu tidak akan pernah menyajikan solusi. Malah aksi teroris yang menimbulkan korban jiwa dan duka bagi korban terorisme kuat terkesan dikemas untuk kepentingan komersil.
Bahkan, beberapa kali penggerebekan dilakukan secara live layaknya reality show. Di antaranya aksi penggerebekan Densus 88 di sebuah rumah di Temanggung pada tahun 2009. Suara tembakan seakan jadi hiburan masyarakat.
Untuk apa coba tayangan live ini bagi 200 juta lebih masyarakat Indonesia. Malah bagi banyak negara, operasi sejenis justru dirahasiakan dari publik (terutama negara Eropa dan Amerika Serikat).
Baik itu karena ingin menjaga lingkungan sosial mereka tetap kondusif, juga untuk mempermudah proses penyingkapan. Lagipula, setakad ini semakin di-blow-up terorisme bukannya mereda.
Malah justru menimbulkan aksi lanjutan. Entah bentuk reaksi dari pemberitaan tersebut atau hal lainnya. Semestinya setiap informasi dapat dikawal secara baik, dan mempunyai arah yang jelas dan tidak ambigu bagi masyarakat. Sehingga tidak timbul keresahan.
Karena tidak proporsionalnya informasi yang diterima bisa jadi rasa takut muncul bukan karena aksi terornya, tapi malah karena informasi.
Kekhawatiran lain, istilah teror pun akan jadi sesuatu yang biasa di telinga masyarakat. Seharusnya penanganan terorisme lebih menekankan kepada operasi rahasia, dan berupaya berhati-hati mengekspos informasi.***
Pemerhati Sosial dan Anggota DPRD Riau.