25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dari Bandit sampai Preman

Oleh:
Budi Hatees

Preman dari kata vrijman dalam Bahasa Belanda yang berarti orang bebas. Sebab itu, preman di negeri ini tak lebih dari sebuah stigma: sesuatu yang menakutkan, yang menggetarkan, yang membuat hati kecut. Seperti segerombolan orang, yang tanpa mengenal rasa takut, mengobrak-abrik rumah sakit milik TNI, konon hanya untuk mencari seseorang yang lain, orang yang harus melunasi utang-piutangnya.

Bagi siapa saja yang pernah berhadapan dengan tentara, yang laras sepatunya saja acap menjadi simbol sesuatu yang otoriter, tak akan percaya bagaimana mungkin segerombolan orang merusak fasilitas milik tentara yang ada di pusat Kota Metropolitan Jakarta. Dugaan awal, gerombolan itu pastilah terdiri dari orang-orang yang menganggap tentara bukan apa-apa; hanya sekumpulan orang yang kebetulan di pundaknya dibebani tanggung jawab untuk menjaga stabilitas nasional. Dugaan akhir, gerombolan itu pastilah berisi orang-orang yang menganggap negara ini tidak punya hukum.
Kalau dugaan akhir ini ternyata benar, berarti gerombolan itu adalah kita-rakyat yang memang selama reformasi bergulir memiliki asumsi yang sama bahwa tak ada hokum di negeri ini. Pasalnya, penegakan keadilan hukum sangat buruk untuk tak mengatakan tidak bisa tegak. Mereka yang dihukum hanya orang yang lemah, yang tak punya gerombolan, yang kesulitan untuk hidup sehingga mustahil untuk menyuap.

Sebab itu, atas nama rakyat yang kecewa, penyerbuan ke dalam fasilitas tentara oleh segerombolan orang, sudah dapat diduga sebelumnya. Kasus ini tak berbeda dengan apa yang dilakukan warga Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, pada tahun 2000 ketika mereka membakar Markas Polsek Jabung. Atau, kasus-kasus sejenis yang merebak akhir-akhir ini, yang dimotori oleh orang-orang yang sudah selesai mengatasi rasa takutnya kepada penegakan hukum.

Tapi, yang kita dengar kemudian, gerombolan itu disebut preman. Mereka dikesankan  sebagai gangster untuk mempertegas tentang stigmatisasi preman. Tentu, agar publik membenci mereka, meneriakkan yel yel agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghapus segala bentuk premanisme. Seperti teriakan yang digaungkan sekelompok orang agar Negara bebas dari Front Pembela Islam (FPI), yang kemudian dibalas dengan kampanye agar Negara bebas dari Islam Liberal.

Untuk membenarkan tindakan itu, preman dikelompokkan ke dalam suatu kelas masyarakat (stratifikasi social) tersendiri yang ditandai dengan adanya perasaan yang sama di kalangan anggota kelompok untuk tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Ketidakpatuhan akibat perasaan senasib, selama hidup senantiasa berada pada posisi kalah, lalu melakukan perlawanan karena pada hakikatnya manusia selalu ingin eksistensinya mendapat pengakuan manusia lain.

Pada tahun 1888, Suhartono W Pranoto mencatat keberadaan gerombolan orang seperti itu, yang tak mengenal rasa takut dan tak perduli pada hokum yang berlaku. Dalam bukunya yang terbit pada 2010, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942, Suhartono menyebut mereka sebagai bandit. Bandit adalah istilah klasik. Kita menemukannya dalam sejumlah buku yang ditulis E.J. Hobsbawm, sejarawan Inggris, seperti Primitive Rebels (1959), Bandit (1972), dan Social Banditry (1974).

Tapi, bandit yang dimaksudkan di sini tidak identik dengan anti-sosial, sebaliknya justru mereka merupakan contoh manusia dengan jiwa social yang berkadar tinggi, yang menangis ketika melihat orang lain menderita. Setidaknya itulah yang ingin disampaikan Suhartono dengan menulis sejarah para bandit di negeri ini. Mereka, sekalipun secara hokum jelas melanggar dan melawan,  namun layak dicatat sebagai sekelompok manusia yang berjuang dan sukses membuat kolonialisme Belanda bangkrut.  Memang cara mereka berjuang sangat kasar, keras, dan kejam, tapi bukan cara yang layak dipersoalkan pada zaman itu, melainkan tujuan dari perlawanan mereka.

Pada zaman ketika para bandit muncul, diperkirakan 1870-1942, adalah zaman ketika kolonialisme Belanda  merampas seluruh asset rakyat terutama lahan. Rakyat tak punya apapun untuk berusaha, kemiskinan menjerat, dan kelaparan mengincar. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan dengan cara merampok orang-orang kaya, lalu membagi-bagikan hasil rampokkan itu kepada rakyat yang membutuhkan.

Kolonialisme Belanda tak menyebut mereka sebagai preman, tetapi menyebut mereka bandit. Kata preman baru popular pada priode awal kekuasaan negara Orde Baru manakala pemerintah yang paranoid merasa kekuasaannya terancam oleh kekuatan orang-orang yang tak takut pada hukum yang berlaku. Ketakutan pemerintah diatasi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Penglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani ketika itu dengan melancarkan serangan dadakan kepada siapa saja yang disebut preman. Kita mengenal zaman itu sebagai musim penembak misterius (petrus), yang oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dicatat dalam buku kumpulan cerpennya berjudul Penembak Misterius.

Mereka yang disebut preman, satu per satu mati secara misterius. Terkadang, kita tak tahu pasti apakah mereka betul-betul preman atau tidak. Kita hanya tahu, mereka mati. Ketika petrus berlaku, barang siapa yang ditemukan mati mendadak dengan sebuah lobang peluruh di tubuhnya, si mayid dipastikan sebagai preman.

Tak ada hokum karena hokum yang sebenarnya ada pada telunjuk yang menekan pelatuk senjata. Hukum adalah suara letusan senjata yang menggema ke dalam rumah-rumah rakyat, yang meninggalkan rasa takut luar biasa, yang membuat setiap hari menjadi mencekam. Dan situasi seperti itu, kini, ditumbuhkan kembali.  Sekalipun tak ada lagi Pangkopkamtib, tak ada pula perintah tembak di tempat, ruang-ruang publik di kota-kota besar dicekam ketakutan. Pasalnya, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengeluarkan surat perintah kepada seluruh Kapolda agar memberantas premanisme di daerah masing-masing.

Tentu saja perintah itu tak diikuti dengan defenisi yang jelas tentang premanisme, sehingga yang berlaku justru tafsir-tafsir atas makna premanisme. Yang menjadi acuan tafsir adalah preman, yakni sekelompok orang yang tak memiliki pekerjaan jelas, luntang-lantung tanpa juntrung, tak punya identitas, tubuh penuh tatto, dan acap menimbulkan keresahan di lingkungannya.

Setiap orang di kota-kota besar di negeri in, yang masuk ke dalam kelompok preman, satu per satu ditangkapi. Polres Jakarta Timur, misalnya, menangkap sebanyak 440 orang yang mereka sebut preman selama Operasi Premanisme 2012, sejak 24 Februari 2012 sampai 3 Maret 2012.  Sebanyak 35 orang ditahan dan diproses polisi karena terindikasi unsur yang memperkuat penahanannya, yaitu kepemilikan senjata tajam. Selain itu, keberadaan mereka juga meresahkan warga sekitar.

Di kota-kota lain, preman juga bernasib sama. Ditangkapi, lalu ditahan dengan berbagai alasan yang sangat subyektif.  Padahal, sejatinya penahanan itu lebih didorong oleh kata  “isme” pada kata “preman”, sehingga preman dicurigai sebagai segerombolan orang yang membawa ajaran-ajaran dan nilai-nilai untuk tak patuh pada hokum yang berlaku. Dengan pemahaman lain, kini premanisme menjadi semacam subversib. Semacam sekelompok orang yang membawa ajaran sesat, yang pengikut-pengikutnya tak punya rasa takut, dan karenanya dapat mengancam kekuasaan Negara.

Barangkali kita terlalu berlebihan menyikapi perkara preman. Kita terlalu memaksakan defenisi yang seram tentang preman.  Yang lebih penting lagi, kita melupakan bahwa sesungguhnya mereka warga bangsa, sekelompok orang yang keberadaannya di negeri ini juga diperlukan seperti ketika Negara ini membutuhkan tangan para bandit untuk menyengsarakan kolonialisme Belanda.

Di era ketika kolonialisme Belanda tak ada lagi, preman dibutuhkan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang ingin membangkitkan kolonialisme baru, yang bisa dengan mudah ditemukan bahkan di lingkungan aparat penegak hokum di Negara ini. (*)

Penulis adalah Peneliti pada
Matakata Institute

Oleh:
Budi Hatees

Preman dari kata vrijman dalam Bahasa Belanda yang berarti orang bebas. Sebab itu, preman di negeri ini tak lebih dari sebuah stigma: sesuatu yang menakutkan, yang menggetarkan, yang membuat hati kecut. Seperti segerombolan orang, yang tanpa mengenal rasa takut, mengobrak-abrik rumah sakit milik TNI, konon hanya untuk mencari seseorang yang lain, orang yang harus melunasi utang-piutangnya.

Bagi siapa saja yang pernah berhadapan dengan tentara, yang laras sepatunya saja acap menjadi simbol sesuatu yang otoriter, tak akan percaya bagaimana mungkin segerombolan orang merusak fasilitas milik tentara yang ada di pusat Kota Metropolitan Jakarta. Dugaan awal, gerombolan itu pastilah terdiri dari orang-orang yang menganggap tentara bukan apa-apa; hanya sekumpulan orang yang kebetulan di pundaknya dibebani tanggung jawab untuk menjaga stabilitas nasional. Dugaan akhir, gerombolan itu pastilah berisi orang-orang yang menganggap negara ini tidak punya hukum.
Kalau dugaan akhir ini ternyata benar, berarti gerombolan itu adalah kita-rakyat yang memang selama reformasi bergulir memiliki asumsi yang sama bahwa tak ada hokum di negeri ini. Pasalnya, penegakan keadilan hukum sangat buruk untuk tak mengatakan tidak bisa tegak. Mereka yang dihukum hanya orang yang lemah, yang tak punya gerombolan, yang kesulitan untuk hidup sehingga mustahil untuk menyuap.

Sebab itu, atas nama rakyat yang kecewa, penyerbuan ke dalam fasilitas tentara oleh segerombolan orang, sudah dapat diduga sebelumnya. Kasus ini tak berbeda dengan apa yang dilakukan warga Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, pada tahun 2000 ketika mereka membakar Markas Polsek Jabung. Atau, kasus-kasus sejenis yang merebak akhir-akhir ini, yang dimotori oleh orang-orang yang sudah selesai mengatasi rasa takutnya kepada penegakan hukum.

Tapi, yang kita dengar kemudian, gerombolan itu disebut preman. Mereka dikesankan  sebagai gangster untuk mempertegas tentang stigmatisasi preman. Tentu, agar publik membenci mereka, meneriakkan yel yel agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghapus segala bentuk premanisme. Seperti teriakan yang digaungkan sekelompok orang agar Negara bebas dari Front Pembela Islam (FPI), yang kemudian dibalas dengan kampanye agar Negara bebas dari Islam Liberal.

Untuk membenarkan tindakan itu, preman dikelompokkan ke dalam suatu kelas masyarakat (stratifikasi social) tersendiri yang ditandai dengan adanya perasaan yang sama di kalangan anggota kelompok untuk tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Ketidakpatuhan akibat perasaan senasib, selama hidup senantiasa berada pada posisi kalah, lalu melakukan perlawanan karena pada hakikatnya manusia selalu ingin eksistensinya mendapat pengakuan manusia lain.

Pada tahun 1888, Suhartono W Pranoto mencatat keberadaan gerombolan orang seperti itu, yang tak mengenal rasa takut dan tak perduli pada hokum yang berlaku. Dalam bukunya yang terbit pada 2010, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942, Suhartono menyebut mereka sebagai bandit. Bandit adalah istilah klasik. Kita menemukannya dalam sejumlah buku yang ditulis E.J. Hobsbawm, sejarawan Inggris, seperti Primitive Rebels (1959), Bandit (1972), dan Social Banditry (1974).

Tapi, bandit yang dimaksudkan di sini tidak identik dengan anti-sosial, sebaliknya justru mereka merupakan contoh manusia dengan jiwa social yang berkadar tinggi, yang menangis ketika melihat orang lain menderita. Setidaknya itulah yang ingin disampaikan Suhartono dengan menulis sejarah para bandit di negeri ini. Mereka, sekalipun secara hokum jelas melanggar dan melawan,  namun layak dicatat sebagai sekelompok manusia yang berjuang dan sukses membuat kolonialisme Belanda bangkrut.  Memang cara mereka berjuang sangat kasar, keras, dan kejam, tapi bukan cara yang layak dipersoalkan pada zaman itu, melainkan tujuan dari perlawanan mereka.

Pada zaman ketika para bandit muncul, diperkirakan 1870-1942, adalah zaman ketika kolonialisme Belanda  merampas seluruh asset rakyat terutama lahan. Rakyat tak punya apapun untuk berusaha, kemiskinan menjerat, dan kelaparan mengincar. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan dengan cara merampok orang-orang kaya, lalu membagi-bagikan hasil rampokkan itu kepada rakyat yang membutuhkan.

Kolonialisme Belanda tak menyebut mereka sebagai preman, tetapi menyebut mereka bandit. Kata preman baru popular pada priode awal kekuasaan negara Orde Baru manakala pemerintah yang paranoid merasa kekuasaannya terancam oleh kekuatan orang-orang yang tak takut pada hukum yang berlaku. Ketakutan pemerintah diatasi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Penglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani ketika itu dengan melancarkan serangan dadakan kepada siapa saja yang disebut preman. Kita mengenal zaman itu sebagai musim penembak misterius (petrus), yang oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dicatat dalam buku kumpulan cerpennya berjudul Penembak Misterius.

Mereka yang disebut preman, satu per satu mati secara misterius. Terkadang, kita tak tahu pasti apakah mereka betul-betul preman atau tidak. Kita hanya tahu, mereka mati. Ketika petrus berlaku, barang siapa yang ditemukan mati mendadak dengan sebuah lobang peluruh di tubuhnya, si mayid dipastikan sebagai preman.

Tak ada hokum karena hokum yang sebenarnya ada pada telunjuk yang menekan pelatuk senjata. Hukum adalah suara letusan senjata yang menggema ke dalam rumah-rumah rakyat, yang meninggalkan rasa takut luar biasa, yang membuat setiap hari menjadi mencekam. Dan situasi seperti itu, kini, ditumbuhkan kembali.  Sekalipun tak ada lagi Pangkopkamtib, tak ada pula perintah tembak di tempat, ruang-ruang publik di kota-kota besar dicekam ketakutan. Pasalnya, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengeluarkan surat perintah kepada seluruh Kapolda agar memberantas premanisme di daerah masing-masing.

Tentu saja perintah itu tak diikuti dengan defenisi yang jelas tentang premanisme, sehingga yang berlaku justru tafsir-tafsir atas makna premanisme. Yang menjadi acuan tafsir adalah preman, yakni sekelompok orang yang tak memiliki pekerjaan jelas, luntang-lantung tanpa juntrung, tak punya identitas, tubuh penuh tatto, dan acap menimbulkan keresahan di lingkungannya.

Setiap orang di kota-kota besar di negeri in, yang masuk ke dalam kelompok preman, satu per satu ditangkapi. Polres Jakarta Timur, misalnya, menangkap sebanyak 440 orang yang mereka sebut preman selama Operasi Premanisme 2012, sejak 24 Februari 2012 sampai 3 Maret 2012.  Sebanyak 35 orang ditahan dan diproses polisi karena terindikasi unsur yang memperkuat penahanannya, yaitu kepemilikan senjata tajam. Selain itu, keberadaan mereka juga meresahkan warga sekitar.

Di kota-kota lain, preman juga bernasib sama. Ditangkapi, lalu ditahan dengan berbagai alasan yang sangat subyektif.  Padahal, sejatinya penahanan itu lebih didorong oleh kata  “isme” pada kata “preman”, sehingga preman dicurigai sebagai segerombolan orang yang membawa ajaran-ajaran dan nilai-nilai untuk tak patuh pada hokum yang berlaku. Dengan pemahaman lain, kini premanisme menjadi semacam subversib. Semacam sekelompok orang yang membawa ajaran sesat, yang pengikut-pengikutnya tak punya rasa takut, dan karenanya dapat mengancam kekuasaan Negara.

Barangkali kita terlalu berlebihan menyikapi perkara preman. Kita terlalu memaksakan defenisi yang seram tentang preman.  Yang lebih penting lagi, kita melupakan bahwa sesungguhnya mereka warga bangsa, sekelompok orang yang keberadaannya di negeri ini juga diperlukan seperti ketika Negara ini membutuhkan tangan para bandit untuk menyengsarakan kolonialisme Belanda.

Di era ketika kolonialisme Belanda tak ada lagi, preman dibutuhkan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang ingin membangkitkan kolonialisme baru, yang bisa dengan mudah ditemukan bahkan di lingkungan aparat penegak hokum di Negara ini. (*)

Penulis adalah Peneliti pada
Matakata Institute

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/