Oleh: Ahmad Gelora Mahardika
Salah satu tahapan penting dalam Pemilu 2014 adalah verifikasi partai politik. Ibarat tiket pesawat, verifikasi adalah boarding pass yang menentukan layak tidaknya partai politik menjadi peserta Pemilu 2014.
Dinamika politik Indonesia terus mendapat sorotan, hal itu diakibatkan adanya stigmatisasi bahwa KPU tidak bekerja secara professional dan terkesan plin-plan dalam mengambil kebijakan strategis. Fakta itulah yang kemudian memicu munculnya ketidakpuasan sejumlah parpol terhadap proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU.
Isu independesi kemudian muncul di permukaan. Ada anggapan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh KPU adalah upaya sistematis untuk menjegal salah satu partai tertentu supaya gagal dalam memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu.
Sebagaimana kita ketahui KPU memang terkesan gagap dalam memahami Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Selain dibatasi waktu yang cukup pendek, karena proses verifikasi peserta Pemilu harus sudah diselesaikan paling lambat 18 (delapan belas) bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Dengan kata lain mengacu pada pelaksanaan Pemilu 2009 yaitu tanggal 9 April 2009, maka jangka waktu KPU untuk menyelesaikan verifikasi adalah tanggal 9 Oktober 2012. Sebelumnya KPU telah mengeluarkan PKPU (Peraturan KPU) yang memberikan tenggat waktu bagi Parpol untuk melengkapi berkasnya hingga tanggal 29 September 2012, akan tetapi disebabkanadanya putusan MK kemudian tanggal tersebut dimundurkan.
Dengan dalih tidak ada satupun partai politik yang memenuhi syarat yang sebagaimana yang ditentukan, KPU kemudian memberikan kesempatan bagi Parpol untuk melengkapi dokumen hingga 15 Oktober 2012, dan pengumuman verifikasi akan dilakukan antara 23-25 Oktober 2012. Dalam satu kasus ini saja, sejatinya KPU telah melanggar Undang-Undang dimana proses verifikasi harus sudah selesai paling lambat 18 (delapan belas) bulan sebelum pelaksanaan Pemilu.
Kontroversi Verifikasi
Ada beberapa hal menarik yang kemudian menjadi otokritik bagi komisioner KPU periode 2011-2016. Pertama, Peraturan KPU yang sejatinya sebagai media untuk menerjemahkan aturan teknis dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 justru kerap kali berdiri lebih tinggi atau mempunyai eksistensi diluar yuridiksi.
Peraturan KPU kerap kali mengatur hal-hal yang sejatinya tidak perlu diadakan namun oleh KPU diposisikan sebagai syarat wajib walaupun Undang-Undang tidak mengaturnya. Seperti dalam Peraturan KPU Nomor 12 tahun 2012 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dalam pasal 15 mengatur tentang apa saja kelengkapan yang diperlukan dalam melakukan proses administratif.
Dalam peraturan ini terlihat banyak hal yang bermakna ambigu dan rancu. Pertama berita negara RI yang dilegalisir oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Sejatinya sebagai komisioner yang memahami hukum paham dan mengerti bahwa suatu makna mendasar legalisasi adalah proses membuat sesuatu menjadi sah atau resmi, legalisasi bukanlah legalisasi apabila ia tidak merujuk pada suatu produk hukum tertentu. Sementara itu berita negara RI bukanlah produk hukum yang dikeluarkan oleh Kemenkumham RI, akan tetapi oleh Perum Percetakan Negara RI.
Sehingga sejatinya proses legalisasi haruslah mengacu pada lembaga yang mengeluarkan produk hukum tersebut. Apabila yang dilegalisasi adalah Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI maka baru tepat jika Kemenkumham yang diberikan kewenangan tersebut.
Peraturan KPU merupakan aturan main yang bersifat teknis jadi tidak ada lagi hal-hal yang bersifat multitafsir dari redaksi yang termuat. Akan tetapi poin kedua yang kemudian memunculkan pertanyaan adalah poin yang mewajibkan Parpol untuk melampirkan keputusan partai politik tentang pengurus tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
Sebagaimana kita ketahui Parpol mempunyai karakter masing-masing mengenai proses pengangkatan kepengurusan partai di tingkat Kabupaten/Kota atau kecamatan. Akan tetapi KPU mencoba mensimetriskan peraturan tersebut sehingga menciptakan kegalauan parpol apalagi peraturan tersebut kerap berubah-ubah sehingga menimbulkan kebingunga Parpol.
Hal ketiga yang menjadi kritik bagi Peraturan KPU Nomor 12 tahun 2012 adalah diwajibkannya Parpol untuk melampirkan Surat Keterangan tentang Pendaftaran nama, lambang, dan/atau tanda gambar partai politik dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Sebagaimana diketahui produk hukum yang dikeluarkan Kemenkumham RI adalah Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI mengenai status badan hukum parpol. Sehingga kondisi ini membingungkan Parpol yang ketika melakukan konfirmasi langsung ke Kemenkumham mendapat jawaban bahwa Kemenkumham RI tidak pernah mengeluarkan surat keterangan sebagaimana yang dimaksud diatas. Hal ini merupakan contoh mendasar lemahnya komunikasi KPU dengan lembaga pemerintah terkait.
Hal menarik kedua adalah tidak adanya partai politik yang memenuhi syarat administratif yang telah dipersyaratkan oleh Undang-Undang. Menjadi sangat aneh karena sejatinya persyaratan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu tidak berbeda ketika menyangkut persyaratan susunan kepengurusan, status kantor dan proporsi keterwakilan perempuan.
Sebagaimana kita ketahui proses verifikasi Partai Politik baru yang dilakukan oleh Kemenkumham RI pada tahun 2011 telah meloloskan Partai Nasdem sebagai Partai yang memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Menjadi hal yang aneh ketika proses verifikasi administratif dengan persyaratan yang sama muncul hasil yang berbeda walaupun dengan alibi hal itu dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda.
Kita tidak mau bersuudzon terhadap proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU. Akan tetapi betul adanya bahwa proses verifikasi harus diawasi secara ketat dan intensif untuk mengantispasi munculnya kecurangan. Selain itu kita menuntut KPU harus bersikap independen dan tidak diintervensi oleh kepentingan manapun. Semoga saja dengan proses verifikasi yang sehat, akan melahirkan partai politik bersih yang mempu menciptakan iklim baru demokrasi Indonesia.
Penulis adalah Peneliti Senior di Foppera Institute Jakarta