Oleh Salman Tanjung
Galibnya sebuah kebijakan tentu melahirkan sebuah perdebatan. Pihak yang mengeluarkan kebijakan akan selalu panen komentar, tanggapan, dukungan bahkan kritikan. Publik akan terbelah dua, antara pro dan kontra. Terbaru, keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
Penyebabnya adalah terdapatnya frasa ‘tanpa persetujuan Korban’ dalam pasal 5 Permendikbud tersebut. Setidaknya frasa ini digunakan sebanyak enam kali, yaitu pada ayat (2) huruf (b), (f), (g), (h), (l) dan (m). Pasal itu menjelaskan cakupan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi yang di akhir kalimatnya dicantumkan frasa ‘tanpa persetujuan Korban.’
Kita tidak akan membahas prosedur terbitnya kebijakan, substansi, atau penerapannya di lingkungan kampus. Namun, penggunaan frasa khususnya ‘persetujuan Korban’-lah yang menjadi perhatian. Ada hal yang dirasa kurang tepat, ada kontradiksi dari pemaknaan antara ‘persetujuan’ dan ‘korban’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring disebutkan salah satu makna korban adalah orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
Sebagai seorang korban, tentu dia tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk menyetujui atas perbuatan orang lain yang menyebabkan dirinya akan menderita atau mengalami kerugian. Di luar nalar kalau ada orang secara sadar membiarkan diri sendiri, bahkan sampai setuju atas sebuah perbuatan jahat yang menyebabkan kerugian material maupun inmaterial pada dirinya.
Kalaulah seorang korban memberikan persetujuan atas perbuatan jahat yang akan melanda dirinya, statusnya bukan lagi korban, melainkan sebagai pelaku yang turut bersama-sama melakukan sesuatu perbuatan.
Sedangkan, persetujuan itu membutuhkan kerelaan dan keikhlasan, kalau tidak maka akan disebut dengan istilah pemaksaan.
Selanjutnya, persetujuan dengan kata asal setuju, bermakna:- sepakat; semufakat; sependapat (tidak bertentangan, tidak berselisih)- cocok; serasi; sesuai- merasa senang atau tertarik hati; suka; berkenan.
Penggunaan istilah ‘persetujuan korban’ dapat diartikan bahwa seseorang sepakat, semufakat, dan merasa senang untuk menjadi korban. Kalau sudah seperti ini, dilengketkannya kata persetujuan dengan kata korban, makna korban luruh dan berubah menjadi pelaku karena adanya unsur kerja sama dan kerelaan di dalamnya.
Pemahaman ini semakin jelas kalau kita teliti Pasal 5 Ayat (2) huruf (j) Permendikbud Ristek nomor 30/2021 yang berbunyi ‘membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban’.
Jadi, ada _problem_ bahasa yang mesti dipecahkan.
Penggunaan frasa yang tepat dalam sebuah kebijakan tentu akan mengurangi pro dan kontra di tengah masyarakat. Sekadar ikut berpendapat, sebaiknya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dihilangkan karena memiliki makna yang tidak jelas sehingga kebijakan dalam pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia semakin kuat dan tegas . *Cegah kekerasan seksual tanpa pengecualian.*