Oleh:
Januari Sihotang
Tak terasa, masa jabatan Gatot Pujo Nugroho (Plt Gubsu) akan berakhir 2013 mendatang. Sumatera Utara pun mulai bersiap memilih nakhodanya lima tahun ke depan. Jika mengikuti tahapan yang direncanakan KPU Sumut, pemilihan Sumut 1 dan Sumut 2 tersebut akan dihelat pada 7 Maret 2013 untuk putaran pertama dan 1 Mei 2013 jika terjadi putaran kedua. Pemilihan gubernur (pilgub) kali ini menjadi yang kedua setelah 2008 lalu. Saat itu, rakyat di provinsi berpenduduk 13 juta jiwa ini untuk pertama kalinya memilih gubernur dan wakil gubernur melalui proses demokrasi yang berlangsung lancar dan damai.
Dengan semangat UU Nomor 32 Tahun 2004, pilkada langsung diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintahan di tingkat provinsi, yang pada gilirannya berimplikasi terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik. Dengan demikian, cita-cita nasional mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur bisa tercapai.
Kendati akhir-akhir ini pelaksanaan pilgub langsung kerap menjadi perdebatan -bahkan dalam RUU Perubahan UU 32/2004 menjadi permasalahan serius -akibat berbagai faktor, namun penulis tetap yakin bahwa pilgub langsung masih yang terbaik.
Terutama bila dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD maupun pengangkatan oleh presiden yang dijadikan alternatif. Adapun konflik yang sering muncul usai pilkada tak lebih hanya merupakan ekses dari pelaksanaan pilkada yang masih kurang transparan, akuntabel dan profesional. Sedangkan menyoal pilgub yang dianggap berbiayai mahal sesungguhnya bisa diantisipasi melalui perubahan regulasi.
Menurut laporan riset LAN (2007) tentang analisis dan evaluasi pelaksanaan pilkada langsung penyelenggaraan pilkada belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan akibat implementasi di lapangan masih menyisakan sejumlah persoalan mendasar.
LAN telah memetakan secara lengkap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada berdasarkan penelitian di beberapa daerah yang pernah konflik pascapilkada, semisal Provinsi Gorontalo dan Banten, Kabupaten Muaro Jambi, Bekasi, Kulon Progo dan Tuban, serta Kota Batam dan Salatiga. Beberapa aspek yang menjadi permasalahan mendasar di antaranya aspek kelembagaan, tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaannya.
Masalah yang berkaitan dengan aspek kelembagaan meliputi netralitas dan profesionalisme KPUD. Hal ini bisa terjadi antara lain karena sulitnya penyelenggara pilkada, terutama komisioner KPUD mempertahankan integritas pribadinya terhadap incumbent serta sulitnya tercipta sinergi antara Komisioner KPUD dan sekretariat KPUD di dalam penyelenggaraan pilkada. Beberapa masalah juga menyangkut independensi Panitia Pengawas Pilkada (Panwas). Di sisi lain, hal ini diperparah lagi dengan peraturan perundang-undangan masih belum memberikan ruang gerak yang cukup bagi Panwas untuk melakukan pengawasan dan menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Dalam tahapan persiapan, sempitnya waktu yang tersedia yaitu hanya sekitar empat bulan untuk menyelesaikan verifikasi calon, pemutakhiran daftar pemilih tetap, serta masalah-masalah yang harus diselesaikan terkait proses lelang pengadaan barang dan jasa telah mempersulit KPUD mengoptimalkan hasil kerjanya. Sedangkan dalam tahapan pelaksanaan ditemui masalah pelanggaran kampanye, logistik pilkada, kecurangan dalam penghitungan suara, dan permasalahan politik uang (money politics).
Selain itu, pilkada langsung juga masih didominasi kelompok elitis tertentu melalui oligarki politik, sehingga proses demokratisasi yang sejatinya menjadi tujuan utama pilkada masih semu.
Partisipasi masyarakat pun lebih bersifat dimobilisasi dengan adanya money politic. Sedangkan maraknya konflik-konflik horizontal yang mengarah kepada anarkisme disinyalir terjadi akibat amburadulnya tata peraturan penyelenggaraan serta munculnya berbagai manipulasi dan kecurangan.
Potensi Konflik
Jika menganalisisnya lebih lanjut, penulis dapat mengidentifikasi lima bentuk konflik yang berpotensi terjadi dalam pilkada yaitu pertama, konflik administrasi yang bersumber dari diskriminasi dalam penetapan calon kepala daerah oleh KPUD, terutama dalam proses verifikasi.
Kedua, konflik internal partai akibat calon dari arus bawah tidak direstui oleh partai pusat dan sebaliknya. Ketiga, konflik elite politik dan KPUD akibat seringnya KPUD gamang dalam memberikan tindakan bagi calon kepala daerah yang bermasalah. Keempat, konflik antara massa dengan KPUD. Hal ini biasanya terjadi saat massa/pendukung tidak menerima calonnya tidak lulus verifikasi oleh KPUD. Kelima, konflik antar massa pendukung akibat ketidakmauan mereka menerima kekalahan. Konflik lebih tragis dari konflik-konflik sebelumnya.
Beragam konflik yang pernah terjadi dalam pilkada-pilkada sebelumnya tentu menjadi pelajaran berharga sekaligus antisipasi bagi segenap rakyat Sumut, terutama KPUD Sumut sebagai penyelenggara demi pelaksanaan Pilgubsu 2013 yang jujur, adil, bebas, rahasia, dan damai.
Partisipasi segenap lapisan masyarakat juga sangat perlu melalui keterlibatan rakyat secara langsung dalam memilih kepala daerahnya. Dengan demikian, diharapkan kehidupan demokrasi di Sumut dapat terwujud. Melalui mekanisme pemilihan seperti itu pula, penataan dan pengelolaan pemerintahan daerah dapat berjalan lebih baik serta sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Sebagai pemegang kedaulatan, maka rakyat Sumut harus sadar bahwa pemimpin daerah yang dipilihnya dapat membawa perubahan kepada kehidupan rakyat yang lebih baik di daerah ini dalam segala aspek kehidupan. Dan kepala daerah berkualitas hanya mampu didapatkan dari proses pilkada yang berkualitas juga. Semoga.(*)
Penulis adalah alumnus Departemen Hukum Tata Negara FH-USU Medan, kini mahasiswa Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM Yogyakarta.