25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Kepala Daerah Juga (Bagian dari) Rakyat

Rimson Chandra Napitupulu

Opsi menaikkan harga BBM yang akan direncanakan Pemerintah awal April telah menimbulkan ketidaksetujuan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Keberatan ini direalisasikan dengan menggelar aksi unjuk rasa (demonstrasi) di berbagai daerah di Tanah Air. Dimulai Senin kemarin (26/3), rakyat Indonesia (demonstran) melakukan aksi demonstrasi besar-besaran hampir di setiap daerah/kota di Indonesia.

Aksi unjuk rasa adalah mengeluarkan pendapat yang tidak bisa diwadahi dengan jalan atau protokol wajar yang sudah ada. Tidak adanya saluran yang bisa mengakomodasi adalah penyebab terjadinya unjuk rasa. Demonstrasi Anti kenaikan harga BBM tentu tidak hanya sebatas tentang penderitaan rakyat. Namun karena rakyat tidak mau lagi dipermainkan oleh pemerintah.

Para demonstran berunjuk rasa di tempat fasilitas umum (bandara, stasiun, terminal, dan pelabuhan), Gedung DPR/DPRD, Kantor Kepala Daerah (Gubernur, Walikota, Bupati), Pos Polisi Lalu Lintas, SPBU, dll.

Unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia, ada yang tertib tanpa kekacauan, namun ada pula yang anarkis dengan melakukan perlawanan dengan aparat kepolisian, Satpol PP dan TNI. Pengunjuk rasa melakukan pemblokadean jalan sehingga menyebabkan kemacetan luar biasa, pemblokiran SPBU, pengrusakan dan penyegelan bangunan kantor gubernur/bupati/walikota dan mobil dinas, serta pembakaran sejumlah ban. Bahkan, mereka juga melakukan pembakaran poster atau foto Presiden SBY dan Wapres Boediono di depan Istana Negara.

Akibat aksi anarkis ini, tak pelak, tidak sedikit bangunan dan mobil dinas hancur, kaca-kaca pecah, tembok roboh, luka ringan-berat baik di kubu para demonstran maupun aparat keamanan. Masyarakat lain seperti pengguna jalan juga dirugikan akibat aksi ini.

Kepala Daerah Salah?

Para demonstran yang berunjuk rasa ternyata tidak hanya dari kalangan mahasiswa, buruh, petani, hingga ibu rumah tangga, yang biasanya adalah “pelanggan tetap” aksi demo, tetapi kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, yaitu beberapa kepala daerah juga ikut berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM.

Misalnya, Wakil Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono. Bambang memimpin massa PDI-P se-Jawa Timur berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di Surabaya. Aksi di Surabaya difokuskan di depan Kantor DPRD Surabaya.

Selain Bambang, Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo juga bergabung dengan massa untuk menolak kenaikan BBM. Hadi Rudyatmo memimpin langsung aksi protes massa PDIP untuk menolak rencana kenaikan harga BBM.

Karena keikutsertaan para kepala berunjuk rasa mendukung penolakan kenaikan harga BBM inilah, pemerintah pun seperti “kebakaran jenggot”. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pun mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada seluruh gubernur untuk mengkomunikasikan kebijakan kenaikan BBM bersubsidi. Mendagri mengancam akan memecat kepala daerah yang memimpin demo menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, jika kebijakan itu sudah resmi ditetapkan.

Gamawan mengatakan kepala daerah yang menolak kebijakan kenaikan harga BBM dan ikut berunjuk rasa melanggar UU APBN. Hal itu juga berarti pelanggaran atas sumpah jabatan sebagai kepala daerah untuk taat pada peraturan perundangan yang berlaku. Karenanya, kepala daerah yang tetap berdemo bisa diberhentikan.

Selanjutnya, Mendagri mengatakan, ada beberapa kepala daerah yang beranggapan peraturan pemberhentian tersebut belum diatur menjadi UU. Gamawan berargumen bahwa pemerintah pusat dan pemerintah harus saling memiliki aspirasi, visi dan misi yang sama. Jadi kalau sekarang karena belum menjadi UU mungkin dari segi etika, kepatutan, kepantasan kurang pantas untuk dilakukan karena dia bagian dari sistem nasional. Menurutnya, bupati dan walikota adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga tidak boleh ada perbedaan pemikiran antara pusat dan daerah.

Tak Berdasar

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Bab x “Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” pasal 123 ayat (2) menyatakan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan karena: d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Namun, tidak dijelaskan secara terperinci bahwa dengan melakukan unjuk rasa adalah sebuah pelanggaran sumpah/janji jabatan.

Ini mengindikasikan bahwa surat pelarangan yang dikeluarkan oleh Mendagri tidak berdasar atau tidak dapat diterima begitu saja. Apalagi, pelarangan itu diikuti dengan ancaman pemecatan. Hal ini justru akan mengundang kontroversi besar dari masyarakat. Pelarangan Mendagri dapat dikategorikan sebagai penyalagunaan kekuasaan tertinggi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah memanfaatkan kekuasaannya dengan membatasi para bawahannya untuk tidak melawan perintah. Para bawahannya (kepala daerah-red) dipaksa untuk “diam” tidak melawan atasan. Tentu ini telah menciderai kebebasan Demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya, alasan pelarangan dan ancaman Mendagri secara jelas merupakan taktik meminimalisir “perlawanan” rakyat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Bahkan secara blak-blakan tidak menghargai aspirasi rakyat Indonesia. Pemerintah melalui Mendagri berupaya meredam aksi penolakan rakyat agar kebijakan ini dapat direalisasikan tanpa ada perlawanan sengit.

Kepala daerah tidak bisa dipecat oleh Mendagri. Kepala daerah dipilih oleh rakyat melalui Pilkada atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan kata lain, kepala daerah bukan dipilih Mendagri. Posisi Mendagri hanya melantik. Jadi, Mendagri tidak punya kewenangan memecat bupati ataupun wali kota yang mengikuti demonstrasi. Dalam birokrasi, pemecatan kepala daerah harus didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Kepala Daerah juga adalah rakyat, karena kepala daerah dipilih dan yang memilih adalah rakyat. Kepala daerah tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Jika diibaratkan tubuh manusia, kepala daerah adalah kepala dari tubuh, dan rakyat adalah bagian tubuh-tubuh yang lain, seperti kaki, tangan, telinga, badan, dll. Tubuh tak lengkap kalau hanya kepala. Kepala dan bagian tubuh yang lain adalah satu kesatuan yang membentuk satu individu (manusia lengkap).

Juga, jika beberapa bagian tubuh yang lain merasakan sakit atau mengalami luka, maka kepala (otak) juga ikut merasakan sakit. Mulut akan bersuara mengerang kesakitan karena luka tubuh yang lain. Demikian halnya kepala daerah yang ikut berdemo. Kepala daerah berdemo karena ikut merasakan “rasa sakit” yang dirasakan rakyatnya. Rasa sakit yang dialami oleh kepala daerah, “mulut”-nya ikut bersuara mengerang kesakitan dan penderitaan “tubuh” rakyatnya. Kepala Daerah berkewajiban membela rakyatnya jika rakyatnya telah mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan kebijakan dari pemerintah pusat. Kepala Daerah berhak menyuarakan “erangan kesakitan” rakyatnya melalui unjuk rasa yang disiplin dan tidak anarkis. (*)

Penulis adalah Alumnus Jurusan Bahasa Asing, Universitas Negeri Medan (Unimed)

Rimson Chandra Napitupulu

Opsi menaikkan harga BBM yang akan direncanakan Pemerintah awal April telah menimbulkan ketidaksetujuan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Keberatan ini direalisasikan dengan menggelar aksi unjuk rasa (demonstrasi) di berbagai daerah di Tanah Air. Dimulai Senin kemarin (26/3), rakyat Indonesia (demonstran) melakukan aksi demonstrasi besar-besaran hampir di setiap daerah/kota di Indonesia.

Aksi unjuk rasa adalah mengeluarkan pendapat yang tidak bisa diwadahi dengan jalan atau protokol wajar yang sudah ada. Tidak adanya saluran yang bisa mengakomodasi adalah penyebab terjadinya unjuk rasa. Demonstrasi Anti kenaikan harga BBM tentu tidak hanya sebatas tentang penderitaan rakyat. Namun karena rakyat tidak mau lagi dipermainkan oleh pemerintah.

Para demonstran berunjuk rasa di tempat fasilitas umum (bandara, stasiun, terminal, dan pelabuhan), Gedung DPR/DPRD, Kantor Kepala Daerah (Gubernur, Walikota, Bupati), Pos Polisi Lalu Lintas, SPBU, dll.

Unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia, ada yang tertib tanpa kekacauan, namun ada pula yang anarkis dengan melakukan perlawanan dengan aparat kepolisian, Satpol PP dan TNI. Pengunjuk rasa melakukan pemblokadean jalan sehingga menyebabkan kemacetan luar biasa, pemblokiran SPBU, pengrusakan dan penyegelan bangunan kantor gubernur/bupati/walikota dan mobil dinas, serta pembakaran sejumlah ban. Bahkan, mereka juga melakukan pembakaran poster atau foto Presiden SBY dan Wapres Boediono di depan Istana Negara.

Akibat aksi anarkis ini, tak pelak, tidak sedikit bangunan dan mobil dinas hancur, kaca-kaca pecah, tembok roboh, luka ringan-berat baik di kubu para demonstran maupun aparat keamanan. Masyarakat lain seperti pengguna jalan juga dirugikan akibat aksi ini.

Kepala Daerah Salah?

Para demonstran yang berunjuk rasa ternyata tidak hanya dari kalangan mahasiswa, buruh, petani, hingga ibu rumah tangga, yang biasanya adalah “pelanggan tetap” aksi demo, tetapi kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, yaitu beberapa kepala daerah juga ikut berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM.

Misalnya, Wakil Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono. Bambang memimpin massa PDI-P se-Jawa Timur berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di Surabaya. Aksi di Surabaya difokuskan di depan Kantor DPRD Surabaya.

Selain Bambang, Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo juga bergabung dengan massa untuk menolak kenaikan BBM. Hadi Rudyatmo memimpin langsung aksi protes massa PDIP untuk menolak rencana kenaikan harga BBM.

Karena keikutsertaan para kepala berunjuk rasa mendukung penolakan kenaikan harga BBM inilah, pemerintah pun seperti “kebakaran jenggot”. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pun mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada seluruh gubernur untuk mengkomunikasikan kebijakan kenaikan BBM bersubsidi. Mendagri mengancam akan memecat kepala daerah yang memimpin demo menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, jika kebijakan itu sudah resmi ditetapkan.

Gamawan mengatakan kepala daerah yang menolak kebijakan kenaikan harga BBM dan ikut berunjuk rasa melanggar UU APBN. Hal itu juga berarti pelanggaran atas sumpah jabatan sebagai kepala daerah untuk taat pada peraturan perundangan yang berlaku. Karenanya, kepala daerah yang tetap berdemo bisa diberhentikan.

Selanjutnya, Mendagri mengatakan, ada beberapa kepala daerah yang beranggapan peraturan pemberhentian tersebut belum diatur menjadi UU. Gamawan berargumen bahwa pemerintah pusat dan pemerintah harus saling memiliki aspirasi, visi dan misi yang sama. Jadi kalau sekarang karena belum menjadi UU mungkin dari segi etika, kepatutan, kepantasan kurang pantas untuk dilakukan karena dia bagian dari sistem nasional. Menurutnya, bupati dan walikota adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga tidak boleh ada perbedaan pemikiran antara pusat dan daerah.

Tak Berdasar

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Bab x “Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” pasal 123 ayat (2) menyatakan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan karena: d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Namun, tidak dijelaskan secara terperinci bahwa dengan melakukan unjuk rasa adalah sebuah pelanggaran sumpah/janji jabatan.

Ini mengindikasikan bahwa surat pelarangan yang dikeluarkan oleh Mendagri tidak berdasar atau tidak dapat diterima begitu saja. Apalagi, pelarangan itu diikuti dengan ancaman pemecatan. Hal ini justru akan mengundang kontroversi besar dari masyarakat. Pelarangan Mendagri dapat dikategorikan sebagai penyalagunaan kekuasaan tertinggi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah memanfaatkan kekuasaannya dengan membatasi para bawahannya untuk tidak melawan perintah. Para bawahannya (kepala daerah-red) dipaksa untuk “diam” tidak melawan atasan. Tentu ini telah menciderai kebebasan Demokrasi di Indonesia.

Selanjutnya, alasan pelarangan dan ancaman Mendagri secara jelas merupakan taktik meminimalisir “perlawanan” rakyat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Bahkan secara blak-blakan tidak menghargai aspirasi rakyat Indonesia. Pemerintah melalui Mendagri berupaya meredam aksi penolakan rakyat agar kebijakan ini dapat direalisasikan tanpa ada perlawanan sengit.

Kepala daerah tidak bisa dipecat oleh Mendagri. Kepala daerah dipilih oleh rakyat melalui Pilkada atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan kata lain, kepala daerah bukan dipilih Mendagri. Posisi Mendagri hanya melantik. Jadi, Mendagri tidak punya kewenangan memecat bupati ataupun wali kota yang mengikuti demonstrasi. Dalam birokrasi, pemecatan kepala daerah harus didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Kepala Daerah juga adalah rakyat, karena kepala daerah dipilih dan yang memilih adalah rakyat. Kepala daerah tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Jika diibaratkan tubuh manusia, kepala daerah adalah kepala dari tubuh, dan rakyat adalah bagian tubuh-tubuh yang lain, seperti kaki, tangan, telinga, badan, dll. Tubuh tak lengkap kalau hanya kepala. Kepala dan bagian tubuh yang lain adalah satu kesatuan yang membentuk satu individu (manusia lengkap).

Juga, jika beberapa bagian tubuh yang lain merasakan sakit atau mengalami luka, maka kepala (otak) juga ikut merasakan sakit. Mulut akan bersuara mengerang kesakitan karena luka tubuh yang lain. Demikian halnya kepala daerah yang ikut berdemo. Kepala daerah berdemo karena ikut merasakan “rasa sakit” yang dirasakan rakyatnya. Rasa sakit yang dialami oleh kepala daerah, “mulut”-nya ikut bersuara mengerang kesakitan dan penderitaan “tubuh” rakyatnya. Kepala Daerah berkewajiban membela rakyatnya jika rakyatnya telah mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan kebijakan dari pemerintah pusat. Kepala Daerah berhak menyuarakan “erangan kesakitan” rakyatnya melalui unjuk rasa yang disiplin dan tidak anarkis. (*)

Penulis adalah Alumnus Jurusan Bahasa Asing, Universitas Negeri Medan (Unimed)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/