Bukan hanya dalam hal pengambilan kebijakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu menghadapi kegamangan yang kemudian tidak jarang berujung pada ketidakpastian. Dalam berbagai hal, ternyata praktik sikap yang sama buruknya juga turut dipertontonkan. Bahkan terkesan tidak ada kematangan dalam bertindak dan bersikap.
Sementara dalam menghadapi beragam persoalan bangsa, khususnya berbagai aksi kekerasan yang cukup meresahkan publik belakangan ini justru direspon begitu dingin oleh pemerintah. Lalu dalam situasi yang demikian, bagaimana mungkin publik dapat menaruh harapan besar dalam rangka menantikan perubahan mendasar dalam pengelolaan bangsa ini.
Praktik pengelolaan negara selama ini sudah cukup menggambarkan bagaimana buruknya roda pemerintahan dijalankan secara serabutan. Entah siapa sesungguhnya yang berada di balik berbagai persoalan ini. Apakah memang presiden sendiri yang tidak begitu serius dalam meneruskan singgasana kekuasaan yang masih berada di bawah kendalinya atau justru para pembantu dan orang sekeliling istana yang justru memberikan arahan yang salah.
Namun yang pasti bahwa publik telah menikmati berbagai bentuk kejanggalan yang dipertontonkan selama ini. Ragam persoalan itu sudah cukup menunjukkan betapa carut marutnya kondisi pemerintahan Indonesia saat ini. Lihat saja misalnya kasus pemberian grasi terhadap Corby, terpidana 20 tahun penjara dalam kasus narkotika. Di tengah gencarnya kampanye perang terhadap peredaran narkoba, justru presiden masih sempat memikirkan untuk menganugerahi grasi kepada pengedar narkoba.
Kasus terakhir yang cukup fatal adalah terkait dengan upaya pemberhentian Gubernur non aktif Bengkulu, Agusrin yang kemudian gagal dilaksanakan karena PTUN Jakarta justru mengeluarkan putusan sela untuk penundaan pelaksanaan Keputusan Presiden terkait dengan pemberhentian Agusrin dari jabatannya sebagai Gubernur Bengkulu.
Cukup Mendasar
Dalam perspektif hukum, apa yang diputuskan oleh PTUN Jakarta dalam kasus ini patut untuk diapresiasi. Putusan itu sendiri cukup mendasar dan memiliki landasan hukum yang amat kuat. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, Gubernur Bengkulu non aktif, Agusrin kini sedang menunggu putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya ke Mahkamah Agung.
Itu artinya bahwa proses hukum terhadap Agusrin masih berlangsung. Dengan demikian, maka masih cukup terbuka peluang bagi seorang Agusrin untuk lepas dari jeratan hukum melalui putusan PK. Atas dasar itu pula, maka menjadi tidak tepat untuk memberhentikan Agusrin secara permanen dari jabatannya sebagai Gubernur Bengkulu.
Selain itu, dari perspektif vonis yang dijatuhkan kepada Agusrin, maka proses pemberhentiannya juga belum bisa dilakukan saat ini. Agusrin dipidana berdasarkan Pasal 2 junto Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut ketentuan undang-undang dimaksud, maka ancaman hukumannya adalah 4 tahun penjara. Agusrin sendiri telah divonis 4 tahun di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.
Sementara dalam hal proses pemberhentian seorang kepala daerah, baik Gubernur, Bupati maupun Wali Kota, maka acuannya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1), bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena hal-hal sebagai berikut: meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan.
Kemudian dalam Pasal 30 ayat (1)Â dan (2) disebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal kasus Agusrin, ancaman pidana yang dialamatkan kepadanya justru tidak sampai 5 tahun, melainkan hanya 4 tahun. Selain itu, Agusrin juga saat ini masih menempuh jalur PK guna memperjuangkan nasibnya di depan hukum. Oleh sebab itu, maka menjadi tidak ada ruang untuk memberhentikannya secara permanen saat ini dan kemudian melantik penggantinya sebagai Gubernur definitif.
Di sisi lain, mempertentangkan putusan yang dikeluarkan PTUN Jakarta karena dilakukan dalam waktu yang cukup singkat sebagaimana diungkapkan kalangan istana negara juga tidak mendasar. Pasalnya, UU PTUN cukup membuka ruang agar suatu permohonan penundaan terhadap sebuah Keputusan dapat diproses dengan acara cepat.
Bila memang penggugat mampu mengemukakan sejumlah alasan bahwa bila suatu keputusan dilaksanakan dengan segera, maka akan sangat merugikan dirinya dan bahkan berpeluang menimbulkan keadaan yang kemudian tidak dapat dipulihkan lagi, maka PTUN dapat mengeluarkan putusan sela. Dengan demikian, maka tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari pemberlakuan sebuah Surat Keputusan.
Menurut ketentuan Pasal 67 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN sebagai pasal yang mengatur masalah putusan sela menyebutkan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Kemudian dalam ayat 2 dijelaskan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam ayat 3, disebutkan bahwa permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
Sedangkan dalam ayat (4) dijelaskan bahwa permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
Ketentuan inilah yang kemudian memungkinkan bagi PTUN untuk megeluarkan putusan sela, termasuk dalam kasus Agusrin.
Oleh sebab itu, maka tidak heran bila kemudian PTUN mengabulkan permohonan Agusrin agar pemberhentiannya sebagai Gubernur Bengkulu tidak dapat dilangsungkan untuk saat ini.
Justru pemerintah seharusnya melakukan koreksi diri atas putusan TUN kali ini, karena sesungguhnya kalangan istana justru sudah terjerat dalam kasus pemberhentian Agusrin yang tidak didasarkan pada landasan hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tepat dan akurat.(*)
Janpatar Simamora
Wakil Direktur Laboratorium Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.