25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sengketa Lahan dan Profesionalisme Kepolisian

Oleh: Jones Batara Manurung

Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada 3 Juni 2012 kembali terjadi konflik berlatar belakang sengketa lahan di Desa Panigoran, Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Kondisi tersebut semakin menambah daftar panjang konflik lahan/tanah di Indonesia.

Konflik KTPHS dengan PT Smart sebagaimana yang terjadi pada 3 Juni tersebut merupakan letupan-letupan yang terjadi untuk kesekiankali. Sebelumnya, dalam kurun waktu sejak bergulirnya reformasi hingga saat ini telah terjadi berulangkali aksi saling serang dengan berbagai modus antara masyarakat petani KTPHS dengan PT Smart. Kedua belah pihak bersitegang dengan argumen masing-masing sebagai pemilik yang sah atas lahan seluas kurang lebih 3000 hektar.

KTPHS sebagai organisasi perjuangan yang didirikan oleh para petani yang senasib di wilayah Padang Halaban sekitarnya, berpandangan bahwa tanah tersebut merupakan milik para petani.

Dalam kronologis resmi yang dipaparkan oleh pengurus KTPHS dengan tegas dan meyakinkan menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang telah lama diusahai oleh petani secara turun temurun.

Tragedi 1965 kemudian memutar balikkan nasib petani atas penguasaan lahan tersebut. Dengan tuduhan sebagai PKI atau aktif dalam organisasi yang sehaluan dengan PKI, para petani ditangkapi, tidak sedikit masyarakat petani yang dihilangkan bahkan banyak yang dibunuh dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang berlaku di negeri ini.

Segala hak milik para korban tragedi 1965 diambil paksa, termasuk tanah yang saat ini menjadi objek sengketa. Dalam hal ini KTPHS dapat membuktikannya dalam perspektif historis yang dapat dipertanggungjawabkan. Dokumen kepemilikan atas tanah yang kini dikuasai oleh PT Smart Tbk, antara lain berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Re-organisasi Pemakaian Tanah (KRPT) wilayah Sumatera Timur.

Bahwa pemberian KTPPT/KRPT tersebut kepada petani KTPH-S dilindungi oleh Undang-undang Darurat nomor 8 tahun 1954 atas legitimasi pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Soekarno masa itu. Oleh karena itu, dokumen tersebut merupakan bukti kepemilikan atas tanah yang diduduki oleh petani KTPH-S sebagai tanah garapan yang diakui oleh UUPA nomor 5 Tahun 1960.

Selain memiliki KTPPT/KRPT, petani KTPH-S juga memiliki bukti alas hak berupa surat keterangan tanah yang ditandatangani oleh kepada desa, surat ganti rugi, surat peralihan warisan dan surat-surat pembayaran pajak dalam bentuk iuran pembangunan daerah (ipeda), kohir, dan pajak peralihan. Bukti pendukung lain dapat ditunjukkan berupa kartu identitas kartu tanda penduduk (KTP) warga yang dikeluarkan oleh kepala kampong Sidomulyo pada tahun 1956.

Sementara PT Smart dalam sikapnya hanya bertumpu pada adanya HGU yang diberikan oleh pemerintah. Selama proses mediasi penyelesaian konflik lahan dengan petani KTPH-S, PT Smart tidak mampu menunjukkan sejarah tanah yang saat ini mereka kuasai.

Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) HGU milik PT Smart, pertama, HGU No. 1/Padang Halaban tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 5.509,39 hektar, dengan masa berlaku hingga 22 April 2024 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 35 tahun yang berakhir pada 22 April 2059.
Kedua, HGU No. 2/Desa Panigoran tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 372 hektar, dengan masa berlaku hingga tanggal 31 Desember 2012 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 25 tahun serta telah diperbaharui untuk jangka 35 tahun sehingga berakhir pada 31 Desember 2072.

Ketiga, HGU No. 2/Desa Panigoran tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 1.583,53 hektar, dengan masa berlaku hingga tanggal 22 April 2024 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 25 tahun dan kemudian telah diperbaharui untuk jangka 35 tahun sehingga berakhir pada 22 April 2084.

Dalam posisi sedemikian KTPHS dan PT Smart berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Sehingga kondisi di lapangan sangat mudah terjadi berbagai bentuk aksi dari kedua belah pihak. Puncaknya terjadi pada peristiwa 3 Juni 2012, yang diawali dengan  terbakarnya pos penjagaan PT Smart, dimana lokasi  kejadian sangat berdekatan dengan lokasi lahan petani yang sudah ditanami dengan tanaman pangan dan ternak ikan.

Peristiwa ini berujung pada pemukulan, penembakan sampai pada penangkapan dengan sewenang-wenang terhadap para petani. Setidaknya puluhan petani luka-luka, 10 orang ditahan, 1 orang luka tembak dan menyisakan trauma terhadap anak-anak dan kaum perempuan keluarga petani oleh tindakan aparat kepolisian yang brutal.

Profesionalisme Kepolisian
Peristiwa pemukulan, penembakan dan penangkapan dengan sewenang-wenang terhadap petani di Labuhan Batu merupakan cermin dari belum adanya perubahan signifikan di tubuh kepolisian Republik Indonesia. Reformasi kepolisian yang didengungkan masih sekedar jargon dan cenderung berhenti pada tataran konseptual dalam forum seremonial di kepolisian. Tampaknya budaya penanganan kasus dengan cara kekerasan masih tampak kuat ditubuh kepolisian, sehingga ini harus menjadi perhatian bersama.

Dalam kasus ini, netralitas kepolisian patut dipertanyakan dan cenderung tidak profesional. Ketika laporan diajukan oleh pihak perusahaan, respon kepolisian di lapangan sangat cermat dan cepat. Sangat berbeda bila petani yang membuat laporan, pihak kepolisian cenderung mengabaikannya.

Pihak KTPHS pernah menyampaikan laporan perusakan atas tanaman dan gubuk petani. Pada kesempatan lain, KTPHS mengalami intimidasi di lapangan berupa kehadiran secara tidak wajar dari pihak aparat kepolisian dan TNI. Tentang hal ini juga telah dilaporkan, baik kepada pihak kepolisian maupun kepada pihak TNI. Namun tidak pernah ada respon dari kedua lembaga tersebut.

Laporan tentang peristiwa tindakan kekerasan dan penembakan oleh aparat kepolisian tertanggal 3 juni 2012, hingga kini juga tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Dalam pandangan KTPHS, respon yang cepat dari kepolisian terhadap laporan pihak PT Smart yang berujung pada tindak kekerasan terhadap petani, merupakan suatu hal yang patut diduga bahwa polisi tidak netral dan cenderung menjadi alat dari pemilik modal (pengusaha) demi kepentingan ekonomi PT Smart.

Padahal tugas dan fungsi polisi adalah sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom masyarakat dan penjaga ketertiban masyarakat berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penanganan kasus sengketa lahan KTPHS dan PT Smart ini merupakan satu kasus diantara ribuan kasus sengketa lahan lainnya dan dalam setiap kasus tersebut kewibawaan institusi kepolisian dipertaruhkan.

Tampaknya praktek penanganan sengketa lahan oleh kepolisian merupakan salah satu sumber kemerosotan kewibawaan institusi kepolisian. Kepolisian dengan mudah mengabaikan laporan yang disampaikan oleh KTPHS. Bila kepolisian kita profesional diminta atau tidak diminta kepolisian dapat menelusuri berbagai keterangan dan bukti tentang kepemilikan tanah petani yang dapat dijadikan bukti di persidangan.

Ilmu kepolisian dipastikan sangat memadai untuk melakukan hal tersebut. Penyebab dari tidak dilakukannya hal itu terletak pada rendahnya profesionalisme aparat kepolisian Indonesia, khususnya di wilayah hukum terjadinya kasus antara KTPHS dan PT Smart.
Demikian halnya kasus agraria (sengketa lahan) lain diberbagai daerah, selain akan menjadi persoalan mendasar negeri ini, kasus-kasus tersebut rentan menjadi sumber tidak profesionalnya institusi kepolisian.

Penulis Direktur Eksekutif Rumah Tani Indonesia

Oleh: Jones Batara Manurung

Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada 3 Juni 2012 kembali terjadi konflik berlatar belakang sengketa lahan di Desa Panigoran, Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Kondisi tersebut semakin menambah daftar panjang konflik lahan/tanah di Indonesia.

Konflik KTPHS dengan PT Smart sebagaimana yang terjadi pada 3 Juni tersebut merupakan letupan-letupan yang terjadi untuk kesekiankali. Sebelumnya, dalam kurun waktu sejak bergulirnya reformasi hingga saat ini telah terjadi berulangkali aksi saling serang dengan berbagai modus antara masyarakat petani KTPHS dengan PT Smart. Kedua belah pihak bersitegang dengan argumen masing-masing sebagai pemilik yang sah atas lahan seluas kurang lebih 3000 hektar.

KTPHS sebagai organisasi perjuangan yang didirikan oleh para petani yang senasib di wilayah Padang Halaban sekitarnya, berpandangan bahwa tanah tersebut merupakan milik para petani.

Dalam kronologis resmi yang dipaparkan oleh pengurus KTPHS dengan tegas dan meyakinkan menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang telah lama diusahai oleh petani secara turun temurun.

Tragedi 1965 kemudian memutar balikkan nasib petani atas penguasaan lahan tersebut. Dengan tuduhan sebagai PKI atau aktif dalam organisasi yang sehaluan dengan PKI, para petani ditangkapi, tidak sedikit masyarakat petani yang dihilangkan bahkan banyak yang dibunuh dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang berlaku di negeri ini.

Segala hak milik para korban tragedi 1965 diambil paksa, termasuk tanah yang saat ini menjadi objek sengketa. Dalam hal ini KTPHS dapat membuktikannya dalam perspektif historis yang dapat dipertanggungjawabkan. Dokumen kepemilikan atas tanah yang kini dikuasai oleh PT Smart Tbk, antara lain berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Re-organisasi Pemakaian Tanah (KRPT) wilayah Sumatera Timur.

Bahwa pemberian KTPPT/KRPT tersebut kepada petani KTPH-S dilindungi oleh Undang-undang Darurat nomor 8 tahun 1954 atas legitimasi pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Soekarno masa itu. Oleh karena itu, dokumen tersebut merupakan bukti kepemilikan atas tanah yang diduduki oleh petani KTPH-S sebagai tanah garapan yang diakui oleh UUPA nomor 5 Tahun 1960.

Selain memiliki KTPPT/KRPT, petani KTPH-S juga memiliki bukti alas hak berupa surat keterangan tanah yang ditandatangani oleh kepada desa, surat ganti rugi, surat peralihan warisan dan surat-surat pembayaran pajak dalam bentuk iuran pembangunan daerah (ipeda), kohir, dan pajak peralihan. Bukti pendukung lain dapat ditunjukkan berupa kartu identitas kartu tanda penduduk (KTP) warga yang dikeluarkan oleh kepala kampong Sidomulyo pada tahun 1956.

Sementara PT Smart dalam sikapnya hanya bertumpu pada adanya HGU yang diberikan oleh pemerintah. Selama proses mediasi penyelesaian konflik lahan dengan petani KTPH-S, PT Smart tidak mampu menunjukkan sejarah tanah yang saat ini mereka kuasai.

Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) HGU milik PT Smart, pertama, HGU No. 1/Padang Halaban tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 5.509,39 hektar, dengan masa berlaku hingga 22 April 2024 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 35 tahun yang berakhir pada 22 April 2059.
Kedua, HGU No. 2/Desa Panigoran tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 372 hektar, dengan masa berlaku hingga tanggal 31 Desember 2012 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 25 tahun serta telah diperbaharui untuk jangka 35 tahun sehingga berakhir pada 31 Desember 2072.

Ketiga, HGU No. 2/Desa Panigoran tertanggal 21 Oktober 2005 seluas 1.583,53 hektar, dengan masa berlaku hingga tanggal 22 April 2024 serta telah diperpanjang masa berlakunya selama 25 tahun dan kemudian telah diperbaharui untuk jangka 35 tahun sehingga berakhir pada 22 April 2084.

Dalam posisi sedemikian KTPHS dan PT Smart berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Sehingga kondisi di lapangan sangat mudah terjadi berbagai bentuk aksi dari kedua belah pihak. Puncaknya terjadi pada peristiwa 3 Juni 2012, yang diawali dengan  terbakarnya pos penjagaan PT Smart, dimana lokasi  kejadian sangat berdekatan dengan lokasi lahan petani yang sudah ditanami dengan tanaman pangan dan ternak ikan.

Peristiwa ini berujung pada pemukulan, penembakan sampai pada penangkapan dengan sewenang-wenang terhadap para petani. Setidaknya puluhan petani luka-luka, 10 orang ditahan, 1 orang luka tembak dan menyisakan trauma terhadap anak-anak dan kaum perempuan keluarga petani oleh tindakan aparat kepolisian yang brutal.

Profesionalisme Kepolisian
Peristiwa pemukulan, penembakan dan penangkapan dengan sewenang-wenang terhadap petani di Labuhan Batu merupakan cermin dari belum adanya perubahan signifikan di tubuh kepolisian Republik Indonesia. Reformasi kepolisian yang didengungkan masih sekedar jargon dan cenderung berhenti pada tataran konseptual dalam forum seremonial di kepolisian. Tampaknya budaya penanganan kasus dengan cara kekerasan masih tampak kuat ditubuh kepolisian, sehingga ini harus menjadi perhatian bersama.

Dalam kasus ini, netralitas kepolisian patut dipertanyakan dan cenderung tidak profesional. Ketika laporan diajukan oleh pihak perusahaan, respon kepolisian di lapangan sangat cermat dan cepat. Sangat berbeda bila petani yang membuat laporan, pihak kepolisian cenderung mengabaikannya.

Pihak KTPHS pernah menyampaikan laporan perusakan atas tanaman dan gubuk petani. Pada kesempatan lain, KTPHS mengalami intimidasi di lapangan berupa kehadiran secara tidak wajar dari pihak aparat kepolisian dan TNI. Tentang hal ini juga telah dilaporkan, baik kepada pihak kepolisian maupun kepada pihak TNI. Namun tidak pernah ada respon dari kedua lembaga tersebut.

Laporan tentang peristiwa tindakan kekerasan dan penembakan oleh aparat kepolisian tertanggal 3 juni 2012, hingga kini juga tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Dalam pandangan KTPHS, respon yang cepat dari kepolisian terhadap laporan pihak PT Smart yang berujung pada tindak kekerasan terhadap petani, merupakan suatu hal yang patut diduga bahwa polisi tidak netral dan cenderung menjadi alat dari pemilik modal (pengusaha) demi kepentingan ekonomi PT Smart.

Padahal tugas dan fungsi polisi adalah sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom masyarakat dan penjaga ketertiban masyarakat berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penanganan kasus sengketa lahan KTPHS dan PT Smart ini merupakan satu kasus diantara ribuan kasus sengketa lahan lainnya dan dalam setiap kasus tersebut kewibawaan institusi kepolisian dipertaruhkan.

Tampaknya praktek penanganan sengketa lahan oleh kepolisian merupakan salah satu sumber kemerosotan kewibawaan institusi kepolisian. Kepolisian dengan mudah mengabaikan laporan yang disampaikan oleh KTPHS. Bila kepolisian kita profesional diminta atau tidak diminta kepolisian dapat menelusuri berbagai keterangan dan bukti tentang kepemilikan tanah petani yang dapat dijadikan bukti di persidangan.

Ilmu kepolisian dipastikan sangat memadai untuk melakukan hal tersebut. Penyebab dari tidak dilakukannya hal itu terletak pada rendahnya profesionalisme aparat kepolisian Indonesia, khususnya di wilayah hukum terjadinya kasus antara KTPHS dan PT Smart.
Demikian halnya kasus agraria (sengketa lahan) lain diberbagai daerah, selain akan menjadi persoalan mendasar negeri ini, kasus-kasus tersebut rentan menjadi sumber tidak profesionalnya institusi kepolisian.

Penulis Direktur Eksekutif Rumah Tani Indonesia

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/