Krisis Politik Timur Tengah dan Afrika Utara
TEHERAN- Pemerintah Iran memperingatkan Barat untuk tidak menggunakan opsi militer mengusir pemimpin Libya Muammar Khadafi. Pemerintah Iran mengatakan tindakan tersebut bisa membuat Libya menjadi pangkalan militer Barat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast mengutuk tindak kekerasan yang tidak manusiawi terhadap pengunjuk rasa yang dilakukan massa pro Khadafi. Namun, Mehmanparast mengatakan, hal tersebut juga tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan intervensi militer negara lain. “Negara Barat tidak boleh mengubah Libya menjadi pangkalan militer,” ujar Mehmanparast seperti dikutip Al Arabiya, Rabu (2/3).
Pernyataan Mehmanparast terkait rencana Barat, termasuk Amerika Serikat (AS), mengenakan opsi militer untuk melawan Khadafi.
Namun demikian, intervensi militer tersebut memiliki kemungkinan sangat kecil untuk dilaksanakan setelah Menteri Pertahanan AS, Robert Gates menyatakan belum ada kebulatan suara untuk menggunakan angkatan bersenjata dalam pertemuan North Atlantic Treaty Organization (NATO).
“Kami harus memikirkan bagaimana sesungguhnya penggunaan militer AS di negara lain di Timur Tengah,” kata Gates.
Meskipun militer bisa ditembaki pesawat AS dan NATO, namun rezim Khadafi memiliki misil ke udara yang siap ditembakan ke pesawat perang yang datang menginvasi.
Lebih dari 100 ribu orang telah meninggalkan Libya untuk menghindari serangan brutal dari kelompok pro Khadafi. PBB memperkirakan, sedikitnya 1.000 orang tewas dalam serangan brutal tersebut.
Aksi protes menentang kekuasaan 41 tahun Khadafi merupakan aksi protes menentang kekuasaan rezim di Aran yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahkan sampai negara Teluk seperti Kuwait dan Oman.
Sementara itu, sejumlah Menteri Luar Negeri dari negara-negara Liga Arab akan bertemu pada Rabu untuk membahas krisis politik yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pertemuan 22 anggota kelompok berfokus tentang keadaan Libya di mana pemimpin yang diperangi, Muammar Khadafi mencoba untuk melawan unjuk rasa selama dua pekan.
Pertemuan para menteri ini diharapkan memilih naskah resolusi yang melawan campur tangan militer asing di Libya. Selain itu, para Menteri juga akan menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan kepada negara-negara Afrika utara.
Agenda pertemuan selanjutnya juga memasukkan keadaan di Tunisia dan Mesir di mana revolusi terkini mengarah kepada runtuhnya sejumlah rezim sebelumnya.
Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh menuding AS dan Israel berada di balik pergolakan di negaranya. AS dan Israel dikatakan memiliki rencana besar untuk membuat kacau pemerintahan di negara-negara jazirah Arab.
“Ada ruang operasi di Tel Aviv yang bertujuan untuk membuat dunia Arab tidak stabil. Ruangan itu dikendalikan Gedung Putih,” ujar Saleh ketika berbicara di Universitas Sanaa, Selasa (1/3) seperti dilansir dari stasiun berita Al Jazeera.
Saleh mengatakan bahwa Presiden Barack Obama sudah terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri di Timur Tengah. “Obama, kau adalah Presiden Amerika Serikat, bukan presiden dunia Arab,” ujarnya. (bbs/jpnn)
Saleh juga menyerukan kepada komunitas internasional untuk tidak lagi mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Arab.
Komentar Saleh ini langsung ditanggapi oleh pihak Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Juru bicara Kemlu AS, PJ Crowley, membantah keterlibatan pemerintahnya dalam pergolakan di Yaman. “Demonstrasi di Yaman adalah bukan produk konspirasi dari luar. Presiden tahu betul hal itu. Rakyatnya layak mendapatkan jawaban yang lebih baik,” ujar Crowley.
Selang satu jam setelah pidato Saleh, puluhan ribu orang kembali melakukan unjuk rasa di Sanaa. Dalam rombongan demonstran, terdapat beberapa tokoh oposisi yang diantaranya dituduh AS memiliki hubungan dengan Amerika Serikat. (bbs/jpnn)