24 C
Medan
Saturday, December 20, 2025
Home Blog Page 190

Soal Pelayanan Buruk Puskesmas Bahorok, HMI Langkat Minta Bupati Evaluasi

PERIKSA: Dokter pengganti yang datang lebih dari 30 menit periksa pasien atas nama Ramadhani Iskandar (44) di Puskesmas Bahorok.(Istimewa/Sumut Pos)
PERIKSA: Dokter pengganti yang datang lebih dari 30 menit periksa pasien atas nama Ramadhani Iskandar (44) di Puskesmas Bahorok.(Istimewa/Sumut Pos)

STABAT, SUMUTPOS.CO – Kepala Dinas Kesehatan Langkat, dr Juliana Tarigan tidak merespon konfirmasi wartawan saat ditanya pelayanan buruk yang diberikan Puskesmas Bahorok. Karenanya, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kabupaten Langkat mendesak agar dr Juliana Tarigan dievaluasi.

Sikap bungkam yang dilakukan Kadinkes Langkat kompak dengan Kepala Puskesmas Bahorok, Purwanti. Menyikapi itu, HMI Cabang Langkat buka suara terkait buruknya pelayanan di Puskesmas Bahorok.

Adapun persoalannya adalah, absennya dokter jaga ketika pasien membutuhkan pertolongan medis hingga rujukan. Kabid PTKP HMI Cabang Langkat, Wahyu Ramadhan yang juga masyarakat Bahorok menyayangkan kondisi tersebut.

Bahkan, dia menilai, buruknya pelayanan pada Puskesmas Bahorok mencerminkan lemahnya sistem pelayanan kesehatan di kampung halamannya.

“Sangat disayangkan sebuah fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan masyarakat justru tidak menyediakan dokter,” jelasnya, Senin (5/5/2025).

“Puskesmas tanpa dokter ibarat sekolah tanpa guru, keberadaannya menjadi formalitas tanpa fungsi. Masyarakat datang dengan harapan untuk sembuh, bukan untuk pulang dengan kecewa,” sambungnya.

Tidak ada tenaga medis paling dasar seperti dokter, kata dia, adalah bentuk kelalaian manajerial yang serius. Jika puskesmas tidak mampu memastikan kehadiran tenaga medis yang paling dasar, maka ada yang salah dalam sistem pengelolaannya.

“Harap dilakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan segera. Karena ini bukan sekadar soal layanan buruk, ini soal nyawa manusia,” tegasnya.

Permintaan evaluasi demi menjaga citra baik fasilitas kesehatan di Kabupaten Langkat. Terlebih lagi, dengan harapan kejadian serupa tidak terulang kembali.

“Kami dari HMI Cabang Langkat menegaskan bahwa kesehatan adalah hak dasar warga. Pemerintah daerah harus hadir dan bertanggung jawab penuh. Kami akan terus mengawal persoalan ini hingga ada perbaikan nyata, karena diam adalah bentuk pembiaran,” tukas Ketua HMI Cabang Langkat, Alfi Syahrin.

HMI Cabang Langkat mendesak dinas kesehatan dan Pemerintah Kabupaten Langkat untuk segera mengambil langkah konkret serta transparan, dalam memperbaiki sistem pengelolaan fasilitas kesehatan, khususnya pada Puskesmas Bahorok.

Pukesmas Bahorok kembali disorot keluarga pasien. Soalnya, sikap Puskesmas Bahorok yang tidak memberikan pelayanan prima kepada masyarakat itu bukan terjadi kali ini saja.

Adapun pasien yang masuk ke Puskesmas Bahorok itu adalah Ramadhani Iskandar (44), Jum’at (2/5/2025) malam. Setibanya di Puskesmas Bahorok, pasien ditangani oleh perawat saja.

Sementara dokternya tidak ada. “Sangat disayangkan pelayanan di Puskemas Bahorok, tidak seperti yang diharapkan. Tidak ada dokter jaga di tempat, pasien nunggu lama,” kata perwakilan keluarga pasien, Aqsa.

Alhasil, pasien tersebut sempat tertunda untuk dirujuk.

“Perawat yang jaga tidak berani ambil keputusan, karena bukan wewenang mereka,” sambungnya.

Puskesmas Bahorok juga pernah tidak memberikan pelayanan prima kepada pasien atas nama Suparmin warga Kelurahan Pekanbahorok yang hendak dirujuk. Adapun pelayanan dimaksud adalah, pasien tidak dirujuk dengan menggunakan ambulans Puskesmas Bahorok, melainkan ambulans milik Desa Empus, Kecamatan Bahorok.

Padahal di Puskesmas Bahorok, ada 2 unit ambulans yang bersedia. Satu di antaranya dalam kondisi sehat dan satunya lagi kondisinya rusak. (ted/han)

Pimpinan DPRD Medan Dukung Kepolisian Tindak Tegas Aksi Tawuran di Belawan

Wakil Ketua DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Golkar, Hadi Suhendra.((Markus Pasaribu/Sumut Pos))
Wakil Ketua DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Golkar, Hadi Suhendra.((Markus Pasaribu/Sumut Pos))

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pimpinan DPRD Kota Medan, Hadi Suhendra, mendukung langkah Kapolrestabes Belawan, AKBP Oloan Siahaan yang menindak tegas para pelaku tawuran di Kecamatan Medan Belawan. Pasalnya, aksi tawuran yang penuh dengan tindakan anarkis dan aksi kriminalitas itu sudah sangat lama menjadi momok yang meresahkan masyarakat, khususnya warga Belawan.

“Aksi tawuran di Belawan sudah lama terjadi dan seolah tidak ada habisnya. Pihak kepolisian sudah berkali-kali mengajak masyarakat untuk menjaga kondusifitas, tetapi aksi tawuran masih terus terjadi. Sebagai Pimpinan DPRD Medan saya mendukung langkah tegas Kapolres Belawan, Pak Oloan Siahaan yang memberikan tindakan tegas kepada para pelaku tawuran,” ucap Hadi Suhendra kepada Sumut Pos, Senin (5/5/2025).

Dikatakan Wakil Ketua DPRD Medan dari Fraksi Partai Golkar yang akrab disapa Suhendra itu, tindakan tegas yang diambil AKBP Oloan Siahaan merupakan langkah yang memang harus diambil. Pasalnya, mobil dinas Oloan Siahaan sempat dihadang dan diserang oleh puluhan remaja yang terlibat aksi tawuran di kawasan Tol Belmera.

“Saat itu Pak Kapolres Belawan sedang memantau situasi keamanan dan menemukan adanya remaja yang tawuran di Tol Belmera, para remaja ini kemudian menghadang mobil dinas beliau (Kapolres Belawan). Beliau turun untuk membubarkan aksi tawuran, tapi para remaja ini justru menyerang dengan kelewang ke arah Kapolres,” ujar Suhendra.

Karena mendapatkan serangan, sambung Suhendra, AKBP Oloan Siahaan mencoba untuk melepaskan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Namun, tembakan peringatan itu tidak juga diindahkan dan para pelaku tetap melakukan penyerangan dengan menembakkan mercon dan melemparkan batu ke arah AKBP Oloan.

“Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Kapolres Belawan terpaksa melepaskan tembakan ke arah para pelaku tawuran yang ingin menyerangnya. Jadi saya fikir, ini murni bentuk pembelaan diri,” katanya.

Di luar dari peristiwa itu, sebagai wakil rakyat asal Belawan, Hadi Suhendra secara pribadi juga seringkali mendapatkan pengaduan dari masyarakat tentang maraknya aksi tawuran di Belawan. Akibatnya, masyarakat kerap dihantui rasa takut setiap kali beraktivitas.

“Tidak ada yang lebih utama dari terciptanya situasi yang aman bagi masyarakat. Untuk itu, saya dan masyarakat Belawan sangat mendukung segala upaya yang dilakukan Polres Belawan untuk memberantas aksi tawuran guna terciptanya situasi yang aman dan nyaman untuk masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, Hadi Suhendra juga meminta Polda Sumut untuk tidak ‘menutup mata’ atas aksi tawuran yang kerap terjadi di Belawan. Sebagai tokoh dari Medan Utara, Hadi Suhendra meminta Polda Sumut untuk ikut turun tangan dalam mengatasi maraknya aksi tawuran di Belawan.

“Polda Sumut juga jangan membiarkan Polres Belawan bekerja sendiri, sementara aksi tawuran di Belawan sudah sangat meresahkan. Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama, dan warga Belawan sangat berharap masalah ini bisa segera selesai sehingga situasi yang kondusif bisa dirasakan masyarakat secara keseluruhan,” pungkasnya.(map)

Respon Cepat Polres Langkat Bina Pelaku Pungli di Tanjungpura

STABAT, SUMUTPOS.CO- Jajaran Satuan Reserse Kriminal Polres Langkat merespon cepat informasi dari masyarakat terkait banyaknya perbuatan premanisme berupa pungutan liar (pungli) di Jalan Lintas Medan-Banda Aceh, tepatnya pada perlintasan rel kereta api, Desa Paya Perupuk, Tanjungpura, belum lama ini.

Atas informasi itu, Polri hadir di tengah masyarakat dengan menindaklanjuti informasi tersebut.

Kasat Reskrim Polres Langkat, AKP Pandu Batubara menjelaskan, informasi adanya dugaan premanisme berupa pungli itu ditindaklanjuti dengan penyelidikan.

“Personel langsung menuju tempat kejadian perkara dan diamankan 1 pria dewasa yang sedang berdiri dan menyenter kendaraan yang melintas,” kata Pandu, Senin (5/5/2025).

Saat diinterogasi, terduga pelaku pungli berinisial J (33) itu mengakui perbuatannya. “Yang bersangkutan dan barang bukti dibawa ke Polsek Tanjungpura untuk dilakukan pembinaan,” bebernya.

Dia mengajak kepada masyarakat untuk jangan ragu melaporkan aksi premanisme berupa dugaan pungli. Sebab, Polri hadir di tengah masyarakat dan negara tidak boleh tunduk pada premanisme.

“Langkat harus jadi rumah yang aman,” pungkasnya.

Dalam pembinaan ini, J yang mengakui perbuatan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya. (ted/han)

Bobby Usulkan Pengurangan Jam Belajar di Sekolah untuk Mengurangi Kenakalan Remaja

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara mengusulkan adanya pengurangan jam belajar disekolah sebagai bentuk upaya mengurangi tawuran atau kenakalan remaja yang terjadi di Sumatera Utara.

Hal itu dikatakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution ketika memberikan keterangannya, di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur Sumut, Senin (5/5/2025).

Bobby mengatakan, kurangnya kebersamaan dan kepedulian orangtua kepada anak-anak remaja menjadi penyebab melakukan segala bentuk tindakan kriminal.

“Kita mengusulkan terhadap pembinaan ini dari sisi jam belajar disekolah, kita ingin seluruh sekolah yang ada di Sumut, kalau bisa setiap hari sabtu itu libur, agar para remaja punya waktu yang lebih bersama keluarga. Hal tersebut sudah kita kaji apa yang dibuat Kang Dedi (Gubernur Jabar) kakan kita pelajari dulu,”ucapnya.

Dirinya merasa heran jika para masyarakat yang bersuara khususnya di Media Sosial, mengkaitkan kenakalan remaja ada berhubungan dengan begal.

“Yang komen-komen di Medsos kepala saya, dihubung-hubungkan dengan begal, itu beda lagi antara begal dengan kenakalan remaja, jangan pula begal dimasukkan ke sana (barak militer), kalau anak SMA mungkin bisa dibawa kesana,” ucap Bobby.(san/han)

Hadiri Pelantikan Persis Kabupaten Karo, M Nuh: Terus Kembangkan Kegiatan Keorganisasian

KARO, SUMUTPOS.CO – Persatuan Islam (Persis) Kabupaten Karo menggelar musyawarah daerah, Minggu (4/5). Pada Musda ini, Ustad Muhammad Arif Fauzan Ginting terpilih secara aklamasi untuk memimpin PD Persis Karo periode kedua. Musda disupervisi langsung Sekretaris Wilayah Persis Sumatera Utara, Ustadz Surya Darma.

Usai Muda, dilanjutkan dengan pelantikan kepengurusan PD Persis Karo. Hadir pada kesempatan itu Ketua MUI Karo, utusan Polres Karo, para pengurus Persis Sumatera Utara, ketua dan pengurus Persistri (Persatuan Islam Istri, Muslimat) Sumatera Utara, anggota dan jamaah Persatuan Islam, serta tokoh masyarakat.

Ketua PD Persis Kabupaten Karo terpilih Ustad Muhammad Arif Fauzan Ginting, dalam sambutannya mengajak jajaran pengurus Persis Karo dalam menjalankan aktivitas, tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling menghormati antar sesama aktivis Ormas Islam ujarnya.

Sedangkan Ketua Persis Sumatera Utara KH Muhammad Nuh berpesan agar para anggota Persis Karo dan Sumatera Utara umumnya, mengembangkan kegiatan jam’iyah (Keorganisasian). “Apalagi, ada wacana Muktamar Persis pada tahun 2027 kemungkinan dilaksanakan di Sumatera Utara,” kata Nuh yang juga anggota DPD RI yang mewakili Sumatera Utara ini.

Secara historis, kata Nuh, tokoh-tokoh Persis sejak awal kemerdekaan, hadir dalam pentas perjuangan Nasional. Ia mencontohkan Mohammad Nasir, adalah binaan A Hassan sebagai guru besar Persis yang dengan mosi integralnya Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Natsir dipercaya menjadi Perdana Menteri kala itu.

Pada kesempatan tersebut, M Nuh juga menyampaikan, kini dunia Islam masih menghadapi permasalahan Perjuangan Palestina. “Alhamdulillah sejauh ini Persis aktif memberikan dukungan dan bantuan nyata bagi perjuangan rakyat Palestina” ujarnya.

Apalagi di PBB saat ini ada 148 negara yang mendukung agar Palestina menjadi anggota tetap PBB. Hanya 9 negara yang menolak , tentu Israel dan Amerika diaataranya dan 25 Negara abstain. Secara politis warga dunia menginginkan kemerdekaan Palestina pungkasnya. (rel/adz)

Hendrik Halomoan Sitompul Resmi Sandang Gelar Doktor

MALANG, SUMUTPOS.CO- Universitas Brawijaya kembali melahirkan Doktor baru melalui Sidang Terbuka Promosi Doktor yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Doktor Ilmu Administrasi Minat Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya 2025, Sabtu (3/5/2025).

Pada kesempatan itu, Hendrik H Sitompul (NIM 227030400111015), berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Pengaruh Corporate Governance Innovation, dan Regulation terhadap Firm Performance yang Dimediasi oleh Use of Renewable Energy” di hadapan tim penguji dan promotor.

Ujian akhir disertasi ini dipimpin Ketua Penguji Intemal, Prof. Andy Fefta Wijaya MDA, Ph.D. dan
-Prof.Dr.M.Al Musadieq, MBA. Selaku Promotor Prof. Dr. Kadarisman Hidayat, M.Si; Dr. Benny Hutahayan, S.T., M.M; Dr. Sunarti, S.Sos., M.AB; Dr. Nur Imamah, S.AB, M.AB, Ph.D; Dr. Gunawan Eko N., S.Sos., M.Si Prof; Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si. Serta Penguji Eksternal Prof. Dr. Ir. Sujono HS, MM, dan Widhyawan Prawiraatmadja, ST, MA, Ph.D.

Dalam paparannya, Hendrik Sitompul menyampaikan, energi sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk ekonomi maupun kebutuhan sehari-hari. Namun, banyak negara, termasuk Indonesia, masih bergantung pada energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara.

Padahal, lanjut Hendrik, penggunaan energi fosil menyebabkan polusi udara yang serius. Menurut World Air Quality (2023), Indonesia adalah negara dengan polusi tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat ke-14 di dunia.

Untuk mengurangi dampak ini, konsep Triple Bottom Line (keuntungan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat) bisa menjadi solusi. Perusahaan tidak hanya harus mengejar laba, tetapi juga mengurangi emisi dan menjaga lingkungan.

Salah satu cara menerapkan konsep ini adalah dengan beralih ke energi terbarukan. Energi bersih seperti tenaga surya atau angin dapat mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi lingkungan dan masyarakat—sesuai prinsip Triple Bottom Line.

Namun, kata Hendrik, penggunaan energi terbarukan di perusahaan membutuhkan dukungan internal (seperti tata kelola dan inovasi) serta eksternal (seperti regulasi pemerintah). Sinergi antara kedua faktor ini krusial untuk mempercepat transisi energi hijau—tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung kinerja bisnis jangka panjang.

Sehingga, menurut Hendrik, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh corporate governance, inovasi, dan regulasi terhadap firm performance, dengan use of renewable energy sebagai variabel mediasi.

Acara yang berlangsung khidmat ini, turut dihadiri keluarga, kolega akademik, serta civitas academica Brawijaya sebagai bentuk dukungan dan apresiasi atas capaian akademik yang diraih. Tampak ratusan karangan bunga, ucapan selamat dari kolega Hendrik Sitompul, mengelilingi Gedung FIA Univ Brawijaya.

Sementara itu, salah satu Dosen mengatakan, baru kali ini banyak sekali karangan bunga, pada saat ujian akhir Disertasi di FIA. “Pasti Pak Hendrik Sitompul orang penting ya,” sebut Dosen tersebut. (adz)

Penyakit Katastropik Tak Bisa Dilawan Sendiri: Saatnya Semua Profesi Bergerak Bersama

Setiap hari, puluhan ribu keluarga di Indonesia berhadapan dengan penyakit yang diam-diam menggerogoti hidup: jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, dan diabetes. Penyakit-penyakit ini dikenal sebagai penyakit katastropik yang bersifat kronis, progresif, mahal, dan berisiko menyebabkan kematian dini atau disabilitas.

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasien, tapi juga menghancurkan pendapatan keluarga, menurunkan produktivitas nasional, dan membebani anggaran kesehatan negara. Bahkan, tak sedikit yang jatuh miskin karena biaya berobat yang tinggi. Inilah penyebab utama kematian di dunia, dan tekanan ganda ini memukul sistem kesehatan kita yang sudah lelah menghadapi beban penyakit menular dan tidak menular sekaligus. Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang bertanggung jawab, tapi kapan kita akan mulai bergerak bersama.

Masalah ini bukan sebatas isu medis atau angka statistik semata. Di balik data yang terlihat teknis, ada kenyataan getir yang dialami puluhan ribu keluarga setiap harinya. Penyakit katastropik kini menjadi beban struktural dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan tahun 2024, tercatat lebih dari 33 juta kasus penyakit katastropik dengan total biaya klaim mencapai Rp37,2 triliun. Dari jumlah tersebut, penyakit jantung menjadi penyumbang beban terbesar, menghabiskan lebih dari Rp19 triliun, disusul oleh kanker dan gagal ginjal kronis. Namun, di balik angka-angka besar itu, tersimpan ironi: program pencegahan berjalan lambat, koordinasi antar profesi minim, dan pasien kerap baru tertangani saat komplikasi telah terjadi.

Di lapangan, tantangan utamanya bukan semata kurangnya alat atau fasilitas, melainkan gagalnya sistem bekerja sebagai tim. Dokter bekerja sendiri, perawat tenggelam dalam administrasi, ahli gizi hanya sesekali diminta konsultasi, dan promosi kesehatan lebih sering jadi lampiran program ketimbang inti layanan. Sistem rujukan pun masih bersifat administratif alih-alih klinis-strategis.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa kolaborasi antarprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) belum menjadi budaya kerja. Lebih parahnya lagi, kegagalan ini sudah dimulai sejak bangku pendidikan. Mahasiswa kedokteran, keperawatan, farmasi, gizi, dan kesehatan masyarakat masih belajar dalam silo masing-masing. Mereka tidak diberikan ruang untuk memahami peran satu sama lain dalam menangani satu pasien atau satu keluarga secara komprehensif. Maka tidak mengherankan ketika mereka memasuki dunia kerja, kolaborasi lintas profesi terasa asing dan tidak terbentuk secara alamiah.

Refleksi Kolektif dari Lingkar Ahli Kesehatan Masyarakat
Dalam momentum 1st INTERNATIONAL CONFERENCE yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam dengan tema “Strengthening Interprofessional Collaboration in the Management of Catastrophic Diseases Using Primary Care Integration Approach”, para peserta dan narasumber dari berbagai latar belakang profesi kesehatan berkumpul untuk menggali peran kolaboratif dalam menanggulangi penyakit katastropik.

Salah satu sesi khusus dalam konferensi ini mengangkat topik “How can Public Health Experts Contribute to Catastrophic Diseases Management”, yang memicu refleksi mendalam, khususnya dari kalangan anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengda Sumatera Utara.
Awalnya, semangat peserta sangat tinggi untuk menegaskan bahwa profesi kesehatan masyarakat memiliki kontribusi sentral dalam pendekatan promotif dan preventif.

Ada kepercayaan bahwa keahlian dalam edukasi kesehatan, advokasi, dan perencanaan program adalah fondasi utama dalam mencegah beban penyakit katastropik yang terus meningkat. Namun, pandangan ini diuji saat data lapangan dipaparkan secara terbuka.
Program strategis seperti pemeriksaan kesehatan gratis sebagai bagian dari quick win Prabowo–Gibran dan program Integrasi Layanan Primer (ILP) yang dijalankan oleh dokter dan tenaga kesehatan (named dan nakes) menunjukkan realisasi yang belum optimal di berbagai daerah.

Kunjungan masyarakat ke layanan primer masih di bawah harapan, memperlihatkan bahwa kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan belum tumbuh merata. Yang lebih menggelitik kesadaran, kontribusi profesi kesehatan masyarakat dalam mendorong perubahan perilaku kolektif belum sepenuhnya menjangkau akar permasalahan.

Pengalaman ini menyadarkan bahwa sebesar apa pun kontribusi keilmuan Kesehatan masyarakat dalam promotif dan preventif, hasilnya akan terbatas jika dijalankan secara terpisah. Interprofesionalisme bukan sekadar konsep, melainkan kebutuhan nyata dalam menghadapi kompleksitas penyakit katastropik. Kolaborasi antara dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, tenaga promosi kesehatan, dan pembuat kebijakan harus dibangun sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan.

Masyarakat pun tidak dapat diposisikan sekadar sebagai penerima, tetapi mitra aktif dalam sistem kesehatan.
Refleksi ini memperkuat komitmen bahwa membangun sistem kesehatan nasional yang tangguh haruslah berbasis kolaborasi lintas profesi yang setara dan saling melengkapi. Tidak lagi mencari siapa yang paling berjasa, tetapi siapa yang bersedia berjalan bersama untuk menciptakan layanan kesehatan primer yang kuat, menyeluruh, dan berkelanjutan dan berpihak pada kesehatan masyarakat secara nyata.

Pentingnya IPC

Penyakit katastropik seperti jantung, stroke, kanker, gagal ginjal, dan diabetes bukan hanya penyakit individu, tetapi masalah sistemik yang menyentuh dimensi medis, sosial, dan ekonomi. Bebannya tidak bisa diatasi oleh satu profesi atau pendekatan klinis semata. Menurut WHO (2023), lebih dari 60% intervensi kronik yang berhasil bersifat kolaboratif, berbasis komunitas, dan melibatkan tim lintas profesi.

Ini menunjukkan bahwa Interprofessional Collaboration (IPC)bukan pilihan tambahan, melainkan fondasi utama dalam membangun sistem kesehatan yang efektif dan tangguh menghadapi kompleksitas penyakit katastropik.
Secara teoritis, Social Ecological Model (McLeroy et al., 1988) menekankan bahwa perilaku dan kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh interaksi antar level yaitu individu, komunitas, organisasi, dan kebijakan. Oleh karena itu, kolaborasi tidak hanya dibutuhkan oleh antarprofesi kesehatan, tapi juga lintas sektor.

WHO juga memperkenalkan Interprofessional Collaborative Practice Framework (2010), yang menegaskan bahwa kolaborasi memperkuat kepuasan pasien, efisiensi sistem, dan hasil Kesehatan terutama dalam bentuk pelayanan primer dan pengendalian penyakit kronis. Tanpa kolaborasi, yang terjadi adalah fragmentasi peran, duplikasi layanan, dan pemborosan sumber daya.

Sejumlah negara telah membuktikan efektivitas IPC. Di Thailand, tim interprofesi di layanan primer yang terdiri dari dokter keluarga, perawat komunitas, ahli gizi, dan kader kesehatan mampu menurunkan komplikasi diabetes dan hipertensi hingga 40% (Noknoy, 2020). Australia dan Inggris menerapkan model Community Health Hub yang mengintegrasikan layanan medis, farmasi, rehabilitasi, dan promosi kesehatan dalam satu sistem, terbukti meningkatkan efektivitas layanan primer (Bambra et al., 2016). Di Brasil, Family Health Strategy yang melibatkan tim multidisipliner berbasis komunitas berhasil menurunkan rawat inap akibat penyakit kronik sebesar 24% dalam lima tahun (Macinko et al., 2018).

Indonesia sendiri telah memulai langkah awal melalui program PIS-PK dan integrasi layanan primer (ILP). Namun, tantangan masih besar. Studi BPJS Kesehatan (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 35% klaim JKN berasal dari penyakit katastropik, yang sebagian besar ditangani di FKTP tanpa koordinasi lintas profesi yang optimal. Program IPE (Interprofessional Education) yang dipelopori UGM dan Kemenkes menunjukkan hasil positif dalam membentuk kesiapan kolaboratif mahasiswa kesehatan (UGM, 2021), namun belum merata di seluruh institusi pendidikan. Untuk mengatasi penyakit katastropik, kita tidak hanya butuh dokter yang hebat atau program yang terstruktur, tetapi tim yang solid, saling mengisi dan bekerja dengan visi yang sama.

IPC dan Katastropik

Penyakit katastropik menuntut penanganan yang tidak bisa dilakukan secara individu-profesi, melainkan melalui kolaborasi tim yang terstruktur. Di tingkat layanan primer, IPC dimulai dari deteksi dini yang melibatkan berbagai peran: dokter sebagai ujung tombak diagnosis, perawat dalam pemantauan klinis, ahli gizi untuk modifikasi gaya hidup, dan tenaga promosi kesehatan sebagai penggerak perubahan perilaku.

Di daerah terpencil, kolaborasi ini juga melibatkan kader dan relawan kesehatan yang mengenal konteks lokal. Menurut WHO (2023), 60% intervensi penyakit kronis yang berhasil bersumber dari tim kolaboratif berbasis komunitas, bukan dari intervensi klinis individual semata.
Pada tahap pengelolaan terintegrasi, peran lintas profesi menjadi lebih kompleks.

Di sinilah dibutuhkan protokol layanan terpadu yang mengatur siapa melakukan apa dan kapan. Ahli Kesehatan masyarakat berperan penting dalam menyusun SOP bersama yang mengintegrasikan layanan medis, rehabilitasi, gizi, dan rujukan sosial. Studi dari Brasil menunjukkan bahwa tim multidisiplin berbasis komunitas yang dipimpin oleh pakar kesehatan masyarakat mampu menurunkan angka rawat inap akibat penyakit kronik hingga 24% dalam lima tahun (Macinko et al., 2018).

Di Indonesia, pendekatan serupa mulai diterapkan di beberapa wilayah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat dengan hasil positif, terutama dalam pengendalian diabetes. Aspek penting lainnya adalah penguatan sistem rujukan dan dukungan sosial yang dipimpin oleh tim IPC. Sering kali pasien katastropik memerlukan layanan berlapis: dari klinik, rumah sakit, hingga dukungan di rumah pasca pengobatan.

IPC memungkinkan sistem rujukan yang dua arah, dengan umpan balik antar profesi secara rutin. Di sinilah peran petugas promosi kesehatan, pekerja sosial, dan penggerak komunitas sangat krusial. Tanpa dukungan sosial dan edukasi berkelanjutan, pasien berisiko putus pengobatan dan kembali jatuh sakit. Di Australia dan Inggris, model Community Health Hub yang memadukan layanan medis, farmasi, rehabilitasi, dan promosi kesehatan dalam satu sistem telah terbukti meningkatkan efisiensi dan kepatuhan pasien (Bambra et al., 2016).

Terakhir, IPC bukan hanya soal pelaksanaan, tetapi juga soal evaluasi tim secara berkelanjutan. Tim yang baik adalah tim yang belajar dari datanya sendiri. Ahli Kesehatan masyarakat berperan dalam mengembangkan indikator evaluasi berbasis tim, seperti pengendalian tekanan darah, tingkat kepatuhan terapi, dan kepuasan pasien. Di Ontario, Kanada, pendekatan ini mengurangi rawat inap akibat diabetes hingga 21% (Wodchis et al., 2015). Di Indonesia, BPJS Kesehatan telah memulai pelacakan capaian tim IPC di FKTP, seperti di Jawa Tengah. Evaluasi berbasis tim bukan hanya meningkatkan akuntabilitas, tapi juga memperkuat kohesi dan semangat kolaboratif di lapangan karena semua tahu, mereka sedang bekerja untuk tujuan yang sama.

IPC Ditanamkan Sejak Dini

Interprofessional Collaboration (IPC) bukanlah keterampilan teknis yang muncul secara otomatis saat tenaga kesehatan mulai bekerja. Kolaborasi lintas profesi adalah kompetensi sosial dan profesional yang harus ditanamkan sejak dini, khususnya sejak mahasiswa menempuh pendidikan tinggi. Namun sayangnya, sebagian besar institusi pendidikan kesehatan di Indonesia masih mengembangkan mahasiswanya dalam sekat-sekat keilmuan. Mahasiswa kedokteran belajar sendiri, mahasiswa keperawatan, farmasi, gizi, dan kesehatan masyarakat pun berada di ruang-ruang terpisah.

Padahal, pasien di lapangan tidak membutuhkan satu profesi, melainkan tim yang solid. Maka, kampus seharusnya menjadi tempat pertama bagi calon tenaga kesehatan untuk belajar bekerja dalam tim lintas disiplin.
Untuk itu, pendidikan interprofesi harus dimulai dari desain fisik dan tata ruang kampus. Kampus kesehatan seharusnya tidak dibangun dengan blok-blok fakultas yang terisolasi, melainkan dengan gedung kuliah bersama antarprogram studi kesehatan, laboratorium terpadu, dan ruang diskusi kolaboratif yang mendorong pertemuan lintas mahasiswa.

Desain ruang menentukan desain pikiran jika ruang dibangun untuk berkolaborasi, maka identitas profesional mahasiswa juga akan terbentuk dalam semangat kerja sama. Beberapa universitas besar di dunia seperti University of Toronto dan Monash University telah membuktikan bahwa desain fisik kampus yang terintegrasi mendorong budaya IPC lebih kuat dibanding sistem pendidikan yang sektoral dan eksklusif.

Selain aspek fisik, hal yang lebih esensial adalah perencanaan kurikulum interprofesi. Program studi dalam rumpun kesehatan perlu menyusun mata kuliah bersama, modul kasus interprofesi, praktikum lintas prodi, hingga kegiatan pengabdian masyarakat kolaboratif. Dalam setiap kesempatan pembelajaran, mahasiswa harus diajak menyelesaikan masalah kesehatan secara tim misalnya merancang rencana intervensi untuk pasien diabetes dengan melibatkan pemikiran dokter, ahli gizi, perawat, dan promotor kesehatan secara simultan. Ini bukan sekadar latihan akademik, melainkan latihan dunia nyata yang menciptakan calon-calon profesional yang mampu memahami batas dan kekuatan peran dirinya serta orang lain.

Agar memiliki dampak luas dan berkelanjutan, semangat IPC ini harus tertanam dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam bidang pendidikan, IPC menjadi bagian dari kompetensi lulusan. Dalam bidang penelitian, riset-riset kolaboratif antarprodi menjadi standar inovasi. Dan dalam bidang pengabdian, tim interprofesi diturunkan bersama ke masyarakat untuk mengintervensi masalah kesehatan riil secara terpadu. Dengan menjadikan IPC sebagai jiwa dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka PT benar-benar mempersiapkan lulusannya bukan hanya menjadi ahli di bidangnya saja, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk bermitra secara kolaboratif dalam sistem kesehatan yang kompleks dan dinamis. Insya Allah.

(Oleh: Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph. D, Ketua IAKMI Sumut & Dosen FKM USU).

Moment Hardiknas, PLN dan Universitas Simalungun Jalin MoU

Rektor Universitas Simalungun, Dr. Sarintan Efratani Damanik, M.Si, saat menyampaikan apresiasi kepada PLN atas terselenggaranya MoU.
Rektor Universitas Simalungun, Dr. Sarintan Efratani Damanik, M.Si, saat menyampaikan apresiasi kepada PLN atas terselenggaranya MoU.

Pematangsiantar-
Dalam momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Sumatera Utara melalui Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Pematangsiantar menjalin kolaborasi strategis dengan Universitas Simalungun (USI).

Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang berlangsung di Aula PLN UP3 Pematangsiantar.

Penandatanganan dilakukan langsung oleh Manager PLN UP3 Pematangsiantar, Ramses Manalu, dan Rektor Universitas Simalungun, Dr Sarintan Efratani Damanik, MSi, disaksikan oleh jajaran manajemen dari kedua belah pihak, termasuk asisten manajer PLN dan Wakil Rektor USI serta para dosen dan tamu undangan.

Nota Kesepahaman ini mencakup empat bidang utama: pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kolaborasi ini menjadi langkah konkret dalam memperkuat keterhubungan antara dunia industri dan akademisi, sekaligus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan riset terapan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar.

General Manager PLN UID Sumatera Utara, Agus Kuswardoyo, menyampaikan apresiasi tinggi atas terjalinnya kemitraan ini. Ia menegaskan bahwa sinergi dengan perguruan tinggi merupakan bagian dari transformasi PLN menuju perusahaan energi berbasis teknologi dan inovasi.

“Kami meyakini bahwa kolaborasi antara PLN dan Universitas Simalungun ini akan menjadi fondasi penting dalam mencetak SDM unggul serta mendukung pengembangan solusi inovatif di bidang energi. Di tengah transformasi PLN, kolaborasi ini memperkuat upaya kami dalam mendukung elektrifikasi nasional, menurunkan emisi karbon, dan memberikan layanan kelistrikan yang semakin andal dan berkelanjutan,” ungkap Agus Kuswardoyo.

Sementara itu, Manager PLN UP3 Pematangsiantar, Ramses Manalu, menyatakan bahwa kerja sama ini mencerminkan komitmen PLN dalam mendukung pengembangan pendidikan nasional, khususnya di wilayah operasionalnya.

“Kami percaya kemitraan ini akan memberikan manfaat yang luas, tidak hanya bagi PLN dan Universitas Simalungun, tetapi juga bagi masyarakat. Lewat program seperti kuliah tamu, magang mahasiswa, riset kolaboratif, hingga pengabdian masyarakat, kita bersama membangun ekosistem pendidikan dan inovasi di Pematangsiantar,” jelas Ramses.

Rektor Universitas Simalungun, Dr Sarintan Efratani Damanik, MSi, menyambut baik inisiatif ini dan menyebutkan bahwa kemitraan tersebut sangat relevan dalam menjembatani dunia pendidikan tinggi.

“Kami sangat mengapresiasi kerja sama ini karena membuka peluang besar bagi mahasiswa dan dosen untuk terlibat langsung dalam praktik profesional, serta mengembangkan riset yang aplikatif. Ini sejalan dengan visi USI untuk menghasilkan lulusan yang adaptif da siap menghadapi tantangan dunia kerja,” ujar Dr Sarintan

Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan terjadi transfer pengetahuan dan teknologi yang lebih luas, mempercepat pengembangan inovasi, serta mendukung kemajuan pendidikan dan energi secara berkelanjutan di Sumatera Utara. (ila)