31 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Sekolah Formal Banyak Prestasi, Karir Malah Anjlok

Sungguh disayangkan, mereka yang pada saat sekolah formalnya sering disanjung oleh para kerabatnya karena sering memperoleh rangking pertama pada setiap penerimaan rapor, malah di antaranya berpredikat bintang sekolah, sehingga memperoleh beasiswa, namun karirnya anjlok. Berarti ada sesuatu yang tidak beres.

Mengapa Demikian? Kiranya perlu menjadi bahan evaluasi praktisi pendidikan. Namun penulis bisa memberi kemungkinan penyebabnya. Antara lain, orangtua yang dalam memperhatikan pendidikan anak-anaknya hanya dengan menanyakan nilai ulangan, sebagaimana yang sudah mentradisi dari generasi ke generasi, juga jumlah ilmu yang diperolehnya. Bukannya seputar pengetahuan yang diperoleh serta dipahami. Padahal yang terakhir ini, bila diajukan setiap hari, cepat atau lambat akan memperkuat kesadaran mereka akan pendidikan sebagai yang terhubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Pengetahuan yang diperolehnya setengah-setengah. Memang banyak dari mereka memperoleh nilai bagus pada rapornya. Terlebih pada siswa yang rajin menghapal. Maka tak heran mengapa banyak alumnus yang tidak siap pakai. Ibarat belajar nama-nama hewan, tetapi ketika mengunjungi kebun binatang, bingung sendiri, mana rusa, gajah, atau lainnya, padahal kadangnya masing-masing sudah mereka lewati.

Terjebak pada pendidikan yang bersifat reproduksi alumnus. Sehingga wawasannya bersifat klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat, sesuai dengan program kurikulum yang ditetapkan pihak birokrat.

Prof Dr Paulo Freire asal Brasil menganggapnya sebagai lembaga yang hanya memproduksi alumnus yang miskin bahasa, yang gilirannya beresiko bagi timbulnya budaya bisu.

Mereka tidak sadar, profesi pekerjaan menuntut penyesuaian pengetahuan dengan modernisasi. Yang terakhir ini perlu kreativitas, pola pikir asosiasi, atau improvisasi demi mengantisipasi persaingan. Tetapi apa mungkin terwujud bila pola belajarnya seperti itu?

Adanya pertalian antar nilai dalam kedisiplinan ilmu, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan yang khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajarnya sudah seperti itu, sehingga pengungkapannya masih terasa gabungan, belum bersifat sintesis.

Tidak merasakan sebagai yang terhubungkan dengan dunia. Motivasi belajarnya semata-mata karena prosedural akademi belaka. Asal disiplin, rajin belajar, dan ulet, dianggapnya sudah cukup, serta berlanjut dengan perolehan rapor bernilai bagus.

Banyak  materi pelajarannya yang tidak ditujukan untuk meningkatkan peradaban bangsa, tidak diarahkan untuk memberikan nilai tambah pada pemecahan problematika kehidupan.

Kurangnya dialog dengan guru, miskin inisiatif atau kurang waktu. Padahal tanpa dialog, terdidik bisa merasa terasing oleh materi pelajaran yang sering bersifat naratif dan verbal, meskipun nilai rapornya bagus.

Ingat, setiap materi pelajaran menimbulkan problematis dari berbagai segi yang bila depecahkan melalui dialog akan menciptakan fleksibelitas intelektual terhadap materi pelajaran (unsur penting dalam hidup ini). Kelak siswa akan mempunyai banyak pilihan, termasuk dari hasil inisiatif atau analisanya sendiri.

Minimnya dialog otomatis akan mengurangi rangsangan mengajukan problematis yang muncul dari pelajaran. Gilirannya hanya akan menciptakan sikap patuh siswa dengan mendengarkan, memperhatikan, dan mengerjakan. Lalu pendidik mengontrol, sejauh mana perhatian mereka melalui apa yang dikenal dengan ujian, test atau ulangan.

Bercerminlah terhadap obsesi kaum buta huruf untuk bisa membaca. Tampak sekali, guru maupun siswa sama sama merasakan, buta huruf hanya akan menimbulkan keterbelakangan, kebodohan, dan kebingungan. Karena itu, mereka memperlihatkan antusias tinggi saat mengikuti problem pemberantsan buta huruf. Mereka tidak mau dinyatakan sudah bisa membaca, bila kenyataannya belum sempurna benar atau masih kurang lancar. Malah terpikirkan pun tidak. Tujuannya cuman satu, yaitu bisa membaca.(*)

Penulis/Pengirim: Nasrullah Idris
Bidang Studi: Reformasi Sains
Matematika Teknologi

Sungguh disayangkan, mereka yang pada saat sekolah formalnya sering disanjung oleh para kerabatnya karena sering memperoleh rangking pertama pada setiap penerimaan rapor, malah di antaranya berpredikat bintang sekolah, sehingga memperoleh beasiswa, namun karirnya anjlok. Berarti ada sesuatu yang tidak beres.

Mengapa Demikian? Kiranya perlu menjadi bahan evaluasi praktisi pendidikan. Namun penulis bisa memberi kemungkinan penyebabnya. Antara lain, orangtua yang dalam memperhatikan pendidikan anak-anaknya hanya dengan menanyakan nilai ulangan, sebagaimana yang sudah mentradisi dari generasi ke generasi, juga jumlah ilmu yang diperolehnya. Bukannya seputar pengetahuan yang diperoleh serta dipahami. Padahal yang terakhir ini, bila diajukan setiap hari, cepat atau lambat akan memperkuat kesadaran mereka akan pendidikan sebagai yang terhubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Pengetahuan yang diperolehnya setengah-setengah. Memang banyak dari mereka memperoleh nilai bagus pada rapornya. Terlebih pada siswa yang rajin menghapal. Maka tak heran mengapa banyak alumnus yang tidak siap pakai. Ibarat belajar nama-nama hewan, tetapi ketika mengunjungi kebun binatang, bingung sendiri, mana rusa, gajah, atau lainnya, padahal kadangnya masing-masing sudah mereka lewati.

Terjebak pada pendidikan yang bersifat reproduksi alumnus. Sehingga wawasannya bersifat klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat, sesuai dengan program kurikulum yang ditetapkan pihak birokrat.

Prof Dr Paulo Freire asal Brasil menganggapnya sebagai lembaga yang hanya memproduksi alumnus yang miskin bahasa, yang gilirannya beresiko bagi timbulnya budaya bisu.

Mereka tidak sadar, profesi pekerjaan menuntut penyesuaian pengetahuan dengan modernisasi. Yang terakhir ini perlu kreativitas, pola pikir asosiasi, atau improvisasi demi mengantisipasi persaingan. Tetapi apa mungkin terwujud bila pola belajarnya seperti itu?

Adanya pertalian antar nilai dalam kedisiplinan ilmu, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan yang khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajarnya sudah seperti itu, sehingga pengungkapannya masih terasa gabungan, belum bersifat sintesis.

Tidak merasakan sebagai yang terhubungkan dengan dunia. Motivasi belajarnya semata-mata karena prosedural akademi belaka. Asal disiplin, rajin belajar, dan ulet, dianggapnya sudah cukup, serta berlanjut dengan perolehan rapor bernilai bagus.

Banyak  materi pelajarannya yang tidak ditujukan untuk meningkatkan peradaban bangsa, tidak diarahkan untuk memberikan nilai tambah pada pemecahan problematika kehidupan.

Kurangnya dialog dengan guru, miskin inisiatif atau kurang waktu. Padahal tanpa dialog, terdidik bisa merasa terasing oleh materi pelajaran yang sering bersifat naratif dan verbal, meskipun nilai rapornya bagus.

Ingat, setiap materi pelajaran menimbulkan problematis dari berbagai segi yang bila depecahkan melalui dialog akan menciptakan fleksibelitas intelektual terhadap materi pelajaran (unsur penting dalam hidup ini). Kelak siswa akan mempunyai banyak pilihan, termasuk dari hasil inisiatif atau analisanya sendiri.

Minimnya dialog otomatis akan mengurangi rangsangan mengajukan problematis yang muncul dari pelajaran. Gilirannya hanya akan menciptakan sikap patuh siswa dengan mendengarkan, memperhatikan, dan mengerjakan. Lalu pendidik mengontrol, sejauh mana perhatian mereka melalui apa yang dikenal dengan ujian, test atau ulangan.

Bercerminlah terhadap obsesi kaum buta huruf untuk bisa membaca. Tampak sekali, guru maupun siswa sama sama merasakan, buta huruf hanya akan menimbulkan keterbelakangan, kebodohan, dan kebingungan. Karena itu, mereka memperlihatkan antusias tinggi saat mengikuti problem pemberantsan buta huruf. Mereka tidak mau dinyatakan sudah bisa membaca, bila kenyataannya belum sempurna benar atau masih kurang lancar. Malah terpikirkan pun tidak. Tujuannya cuman satu, yaitu bisa membaca.(*)

Penulis/Pengirim: Nasrullah Idris
Bidang Studi: Reformasi Sains
Matematika Teknologi

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/