26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pemimpin Bersarjana Kertas

Krisis kepemimpinan bangsa telah membawa bangsa ini dalam keterpurukan. Ketidakmampuan dalam mengelola kekayaan alam serta potensi tenaga kerja justru membawa masalah, perampokan aset bangsa oleh negara lain, dan pengangguran. Maka sikap kepemimpinan yang mampu membawa kita keluar dari masalah ini adalah kepemimpinan radikal. Cara mewujudkan itu adalah mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin masa depan yang berani, cerdas, dan mau berkorban.

Pemimpin yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan segala akibat dari keputusan yang ia buat. Karakter terbentuk bersama proses pendewasaan manusia, karena pada mulanya seorang anak manusia belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan tentang ajaran etika ataupun moral.

Dalam kaitan inilah peran pendidikan harus benar-benar mampu mengatasi krisis moral yang ditandai dengan maraknya aksi anarkisme akhir-akhir ini. Setiap saat, manusia berinteraksi dengan lingkungan yang mengalami perubahan tak menentu. Tata nilai yang telah mapan sering digoyahkan oleh nilai-nilai baru yang masih mencari jati diri. Generasi muda termasuk mahasiswa harus berpendidikan karakter. Mahasiswa yang ‘mahasiswa’ bukan hanya sekadar datang, duduk, dan diam, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan di kampus atau mengikuti organisasi kemahasiswaan. Misalnya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

BEM lahir bukan secara tiba-tiba jatuh dari langit. Tetapi BEM lahir karena seleksi sejarah dan karena sebuah tuntutan zaman. Kaum muda (dalam hal ini mahasiswa) menjadi aktor dalam setiap peristiwa penting yang terjadi di Tanah Air. Kita ingat, Angkatan 1908, 20 Mei 1908, terbentuknya Budi Utomo. Momentum terbentuknya organisasi perjuangan modern. Tahun 1957, Partai Politik menjadi sarana ekspresi politik gerakan mahasiswa, Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) berhasil menjatuhkan orde lama Soekarno yang disinyalir sebagai presiden seumur hidup. Di tahun 1998, yang kemudian dikenal dengan gerakan reformasi berhasil menggulingkan Orde Baru Soeharto dari kekuasaannya selama 32 tahun. Artinya, bahwa lahirnya BEM merupakan subnarasi besar atas refleksi kritis yang melanda negeri ini (Tsanaullah, 2009).

Melalui UKM maupun BEM dapat belajar menjadi pemimpin, dimulai dari ‘pemimpin kecil’ sebelum menjadi ‘pemimpin besar’. Kualitas calon pemimpin ditentukan oleh tujuh faktor dari lingkungan pendidikan. Pertama, tujuan institusional. Kedua, hubungan dosen-mahasiswa. Ketiga, ukuran institusional. Keempat, kurikulum. Kelima, pengajaran yang interaktif. Keenam, komunitas kampus. Ketujuh, layanan sosial (Alwasilah: 2008, 106-108).

Di antara tujuh faktor kualitas pemimpin di atas, faktor pertama yaitu tujuan institusional yang melahirkan calon pemimpin bangsa yang vioner atau tidak. Pemimpin yang jujur dan beretika dalam melaksanakan tugas. Namun, tidak sedikit pemimpin yang tak professional dan berlaku tidak jujur hingga membeli ijazah tanpa mendapatkan pendidikan berkarakter di kampus. Begitu berharganya ijazah sampai seorang pemimpin tertarik membeli ijazah., memiliki gelar ‘sarjana kertas’. Bagaimana pemimpin bersarjana kertas ingin melayani masyarakat dengan jujur sementara caranya untuk mendapatkan gelar tidak jujur. (*)

Dikirim/Penulis:  Dian Syahfitri
Mahasiswa Prodi Linguistik Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia

Krisis kepemimpinan bangsa telah membawa bangsa ini dalam keterpurukan. Ketidakmampuan dalam mengelola kekayaan alam serta potensi tenaga kerja justru membawa masalah, perampokan aset bangsa oleh negara lain, dan pengangguran. Maka sikap kepemimpinan yang mampu membawa kita keluar dari masalah ini adalah kepemimpinan radikal. Cara mewujudkan itu adalah mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin masa depan yang berani, cerdas, dan mau berkorban.

Pemimpin yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan segala akibat dari keputusan yang ia buat. Karakter terbentuk bersama proses pendewasaan manusia, karena pada mulanya seorang anak manusia belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan tentang ajaran etika ataupun moral.

Dalam kaitan inilah peran pendidikan harus benar-benar mampu mengatasi krisis moral yang ditandai dengan maraknya aksi anarkisme akhir-akhir ini. Setiap saat, manusia berinteraksi dengan lingkungan yang mengalami perubahan tak menentu. Tata nilai yang telah mapan sering digoyahkan oleh nilai-nilai baru yang masih mencari jati diri. Generasi muda termasuk mahasiswa harus berpendidikan karakter. Mahasiswa yang ‘mahasiswa’ bukan hanya sekadar datang, duduk, dan diam, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan di kampus atau mengikuti organisasi kemahasiswaan. Misalnya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

BEM lahir bukan secara tiba-tiba jatuh dari langit. Tetapi BEM lahir karena seleksi sejarah dan karena sebuah tuntutan zaman. Kaum muda (dalam hal ini mahasiswa) menjadi aktor dalam setiap peristiwa penting yang terjadi di Tanah Air. Kita ingat, Angkatan 1908, 20 Mei 1908, terbentuknya Budi Utomo. Momentum terbentuknya organisasi perjuangan modern. Tahun 1957, Partai Politik menjadi sarana ekspresi politik gerakan mahasiswa, Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) berhasil menjatuhkan orde lama Soekarno yang disinyalir sebagai presiden seumur hidup. Di tahun 1998, yang kemudian dikenal dengan gerakan reformasi berhasil menggulingkan Orde Baru Soeharto dari kekuasaannya selama 32 tahun. Artinya, bahwa lahirnya BEM merupakan subnarasi besar atas refleksi kritis yang melanda negeri ini (Tsanaullah, 2009).

Melalui UKM maupun BEM dapat belajar menjadi pemimpin, dimulai dari ‘pemimpin kecil’ sebelum menjadi ‘pemimpin besar’. Kualitas calon pemimpin ditentukan oleh tujuh faktor dari lingkungan pendidikan. Pertama, tujuan institusional. Kedua, hubungan dosen-mahasiswa. Ketiga, ukuran institusional. Keempat, kurikulum. Kelima, pengajaran yang interaktif. Keenam, komunitas kampus. Ketujuh, layanan sosial (Alwasilah: 2008, 106-108).

Di antara tujuh faktor kualitas pemimpin di atas, faktor pertama yaitu tujuan institusional yang melahirkan calon pemimpin bangsa yang vioner atau tidak. Pemimpin yang jujur dan beretika dalam melaksanakan tugas. Namun, tidak sedikit pemimpin yang tak professional dan berlaku tidak jujur hingga membeli ijazah tanpa mendapatkan pendidikan berkarakter di kampus. Begitu berharganya ijazah sampai seorang pemimpin tertarik membeli ijazah., memiliki gelar ‘sarjana kertas’. Bagaimana pemimpin bersarjana kertas ingin melayani masyarakat dengan jujur sementara caranya untuk mendapatkan gelar tidak jujur. (*)

Dikirim/Penulis:  Dian Syahfitri
Mahasiswa Prodi Linguistik Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/