29 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Sastra Bentuk Individu yang Berbudaya dan Beradab

PEMBELAJARAN sastra merupakan salah satu aspek penting dalam pembentukan karakter dan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, selama ini pembelajaran sastra di sekolah cenderung terabaikan dan kurang mendapatkan perhatian yang serius.

Kini, sastra masuk kurikulum sekolah berdasarkan keputusan Mendikbudristek Nomor: 025/H/P/2024 tentang Penetapan Rekomendasi Buku Sastra pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dalam rangka program sastra masuk kurikulum di satuan pendidikan pelaksana implementasi kurikulum merdeka.

Demikian disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Dr Khairil Ansari MPd saat Diskusi Sastra pada Festival Sastra dan Peradaban oleh Sanggar Budaya Generasi di Aula Universitas Al-Washliyah (Univa) Medan, Jumat (25/10).

Pemakalah lainnya pada acara diskusi yang diikuti antara lain para siswa, mahasiswa, guru dan dosen tersebut adalah Pakar Sastra dan Budaya Melayu Prof Wan Syaifuddin MA PhD

Turut hadir pada acara diskusi tersebut, Rektor Univa Medan Prof Dr M Jamil MA, Kepala Balai Bahasa Sumut Hidayat Widiyanto MPd, dekan dan dosen FKIP Univa Medan serta undangan lainnya.

Pada paparan berjudul Sastra: Masihkah sebagai Penjaga Peradaban?, Prof Dr Khairil Ansari MPd menerangkan bahwa sastra merekam peristiwa penting dan perubahan sosial, memberikan wawasan tentang sejarah dan perkembangan peradaban.

Karya sastra seringkali menjadi simbol identitas dan kebanggaan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan. ”Sastra sebagai penjaga memainkan peran penting dalam membentuk individu yang berbudaya dan beradab,” sebut Prof Dr Khairil Ansari MPd yang juga aktif pada Pusat Kajian Budaya Melayu di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

Guru Besar Unimed ini juga memaparkan sejumlah kendala sastra masuk kurikulum merdeka. Diantaranya kesiapan guru, ketersediaan fasilitas, kontroversi isi buku dan kurangnya minat baca.

”Meskipun program ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca, rendahnya minat baca di kalangan siswa menjadi tantangan tersendiri. Banyak siswa yang tidak terbiasa membaca karya sastra sehingga mereka mungkin tidak tertarik atau tidak memiliki motivasi untuk terlibat aktif,” ujar Prof Dr Khairil Ansari MPd yang juga ketua BAN-PDM Sumatera Utara.

Prof Wan Syaifuddin MA Phd menerangkan bahwa untuk sampai ke tujuan peradaban maka sebuah sastra harus bersifat etik dan inspiratif. Sastra harus menggerakkan pembacanya untuk menjadi pribadi yang berbudi pekerti.

Sedangkan sastrawan muda Titan Sadewo, menjelaskan bagaimana kini wajah sastra berkembang dengan sangat variatif. Sastra tidak lagi melulu mengandalkan kata-kata tetapi juga berubah dalam bentuk visual.
Bahkan potongan visual bisa menjadi bait-bait puisi.

Titan berbagi pengalamannya mengajar sastra di sekolah. Menurutnya yang paling penting adalah bagaimana merangsang imajinasi siswa. Imajinasi itu akan memudahkan siswa memahami satu karya sastra untuk kemudian bisa menulis karya sastra.

Sebelumnya, Direktur Program Sanggar Budaya Generasi Suyadi San mengatakan bahwa diskusi ini merupakan salah satu dari tujuh kegiatan yang didukung Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Dikti.

Kegiatan lain yang telah digelar antara lain pelatihan musikalisasi puisi, sayembara naskah drama. Menyusul buka lapak baca, lomba baca puisi pelajar, pergelaran sastra dan sebagainya.

Kegiatan ini juga merupakan kerja sama Al-Washliyah dengan Afiliasi Pengajar Peneliti Budaya Bahasa Sastra Komunikasi Seni dan Desain (Apebskid) Sumut. (dmp)

PEMBELAJARAN sastra merupakan salah satu aspek penting dalam pembentukan karakter dan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, selama ini pembelajaran sastra di sekolah cenderung terabaikan dan kurang mendapatkan perhatian yang serius.

Kini, sastra masuk kurikulum sekolah berdasarkan keputusan Mendikbudristek Nomor: 025/H/P/2024 tentang Penetapan Rekomendasi Buku Sastra pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dalam rangka program sastra masuk kurikulum di satuan pendidikan pelaksana implementasi kurikulum merdeka.

Demikian disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Dr Khairil Ansari MPd saat Diskusi Sastra pada Festival Sastra dan Peradaban oleh Sanggar Budaya Generasi di Aula Universitas Al-Washliyah (Univa) Medan, Jumat (25/10).

Pemakalah lainnya pada acara diskusi yang diikuti antara lain para siswa, mahasiswa, guru dan dosen tersebut adalah Pakar Sastra dan Budaya Melayu Prof Wan Syaifuddin MA PhD

Turut hadir pada acara diskusi tersebut, Rektor Univa Medan Prof Dr M Jamil MA, Kepala Balai Bahasa Sumut Hidayat Widiyanto MPd, dekan dan dosen FKIP Univa Medan serta undangan lainnya.

Pada paparan berjudul Sastra: Masihkah sebagai Penjaga Peradaban?, Prof Dr Khairil Ansari MPd menerangkan bahwa sastra merekam peristiwa penting dan perubahan sosial, memberikan wawasan tentang sejarah dan perkembangan peradaban.

Karya sastra seringkali menjadi simbol identitas dan kebanggaan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan. ”Sastra sebagai penjaga memainkan peran penting dalam membentuk individu yang berbudaya dan beradab,” sebut Prof Dr Khairil Ansari MPd yang juga aktif pada Pusat Kajian Budaya Melayu di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

Guru Besar Unimed ini juga memaparkan sejumlah kendala sastra masuk kurikulum merdeka. Diantaranya kesiapan guru, ketersediaan fasilitas, kontroversi isi buku dan kurangnya minat baca.

”Meskipun program ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca, rendahnya minat baca di kalangan siswa menjadi tantangan tersendiri. Banyak siswa yang tidak terbiasa membaca karya sastra sehingga mereka mungkin tidak tertarik atau tidak memiliki motivasi untuk terlibat aktif,” ujar Prof Dr Khairil Ansari MPd yang juga ketua BAN-PDM Sumatera Utara.

Prof Wan Syaifuddin MA Phd menerangkan bahwa untuk sampai ke tujuan peradaban maka sebuah sastra harus bersifat etik dan inspiratif. Sastra harus menggerakkan pembacanya untuk menjadi pribadi yang berbudi pekerti.

Sedangkan sastrawan muda Titan Sadewo, menjelaskan bagaimana kini wajah sastra berkembang dengan sangat variatif. Sastra tidak lagi melulu mengandalkan kata-kata tetapi juga berubah dalam bentuk visual.
Bahkan potongan visual bisa menjadi bait-bait puisi.

Titan berbagi pengalamannya mengajar sastra di sekolah. Menurutnya yang paling penting adalah bagaimana merangsang imajinasi siswa. Imajinasi itu akan memudahkan siswa memahami satu karya sastra untuk kemudian bisa menulis karya sastra.

Sebelumnya, Direktur Program Sanggar Budaya Generasi Suyadi San mengatakan bahwa diskusi ini merupakan salah satu dari tujuh kegiatan yang didukung Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Dikti.

Kegiatan lain yang telah digelar antara lain pelatihan musikalisasi puisi, sayembara naskah drama. Menyusul buka lapak baca, lomba baca puisi pelajar, pergelaran sastra dan sebagainya.

Kegiatan ini juga merupakan kerja sama Al-Washliyah dengan Afiliasi Pengajar Peneliti Budaya Bahasa Sastra Komunikasi Seni dan Desain (Apebskid) Sumut. (dmp)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/