Fenomena calon tunggal masih akan berpotensi terjadi di pilkada 2020. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta parpol untuk tidak coba-coba bersekongkol memuluskan calon tunggal di pilkada.
Sebab, meskipun legal, namun calon tunggal bisa merusak proses demokrasi yang dibangun lewat pilkada.
’’Calon tunggal di 270 daerah ini kelihatannya juga akan berpotensi naik,’’ terang Ketua Bawaslu Abhan, Kamis (2/3).
Biasanya, begitu ada satu bakal calon yang cukup kuat, partai-partai politik akan merapat.
Terutama daerah-daerah yang memiliki calon petahana karena dianggap figur kuat. Secara regulasi, tutur Abhan, calon tunggal memang tidak salah.
’’Tapi pemilihan yang demokratis masa hanya di-ikuti oleh satu calon,’’ lanjut mantan Ketua Bawaslu Provinsi Jawa tengah itu.
Lazimnya, dalam sebuah pemilihan berbasis suara terbanyak, ada setidaknya dua kandidat yang berkompetisi.
Bukan satu calon yang disandingkan dengan kotak kosong. Untuk saat ini, pihaknya mengimbau parpol untuk tidak mengerucut hanya pada satu paslon di masing-masing daerah.
Itu untuk menjaga agar publik tetap memiliki pilihan. Tidak lantas karena calonnya kuat lalu semua sepakat hanya satu paslon. Karena itu, parpol juga diminta lebih transparan dan tidak coba-coba mematok mahar politik.
’’Butuh transparansi dari partai politik dalam proses rekrutmen kadernya untuk dicalonkan sebagai kepala daerah,’’ tutur Abhan.
Sehingga, tidak sampai ada calon karbitan yang tiba-tiba muncul hanya karena kapitalnya besar.
Selain parpol, harapan lain juga ada pada calon perseorangan. UU pilkada memungkinkan hadirnya calon perseorangan.
Sehingga, ketika seluruh parpol bersepakat menghadirkan satu paslon, masih ada lawan tanding yang bisa diharapkan dari calon perseorangan.
Sebagai gambaran, pada pilkada 2015 ada tiga daerah yang diikuti oleh calon tunggal. Masing-masing Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara.
Kemudian, pada 2017 jumlahnya meningkat menjadi sembilan daerah. Puncaknya di pilkada 2018 di mana ada 16 daerah dengan calon tunggal.(bbs/jpg/azw)