30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PPP Tak Setuju Pilkada Asimetris Usulan Mendagri, Wapres: Harus Dicari Solusi

KETERANGAN:
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan keterangan resmi terkait Pilkada Langsung kepada sejumlah wartawan di Istana, kemarin.
KETERANGAN: Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan keterangan resmi terkait Pilkada Langsung kepada sejumlah wartawan di Istana, kemarin.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk memberlakukan pemilihan kepala daerah atau pilkada asimetris sebagai bagian dari hasil evaluasi sistem pemilihan langsung.

Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, semua daerah harus memiliki aturan hukum dan sistem yang sama dalam pelaksanaan pemilu.

“Jadi pilihannya, pilkada langsung atau pilkada tidak langsung alias kembali ke DPRD. Tidak bisa sebagian pilkada langsung, sebagian lagi tidak. Sulit nanti pengaturannya,” ujar Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, (20/11).

Sementara, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai, pilihan sistem pilkada langsung atau melalui DPRD sama-sama dilematis. Ia mengatakan, dulunya pilkada melalui DPRD dianggap kurang demokratis sehingga muncul sistem pilkada langsung. Namun kini, pilkada langsung diprotes lantaran berbiaya besar dan sarat politik uang.

“Ya saya kira sistem itu tidak bisa sempurna. Dulu lewat DPRD dianggap kurang demokratis, reformasi minta langsung. Minta langsung ternyata juga ada kelemahan-kelemahan yaitu biayanya besar, kemudian money politic dan sebagainya,” kata Ma’ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (20/11). Karena itu, Ma’ruf mengatakan, pemerintah dan DPR harus mengkaji secara cermat sistem pilkada yang baru.

Ia meminta sistem pilkada yang baru tetap mengakomodasi hak-hak rakyat dalam berdemokrasi sekaligus mampu menekan biaya dan politik uang. “Solusinya kita cari bersama-sama karena itu perlu dibahas lebih teliti. Jadi kita jangan semacam harus begini saja, kajiannya harus cermat,” ujar Ma’ruf.

“Jangan sampai kita asal bilang, wah ini ternyata tidak tepat. Nah solusi yang kita cari harus lebih tepat, kewenangannya ada di DPR tapi mendengarkan pendapat publik ya kemudian perlu dibahas secara lebih mendalam saya kira,” kata dia.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengatakan tengah mengkaji sejumlah opsi-opsi sebagai solusi atas evaluasi pelaksanaan pilkada langsung. Opsi-opsi yang disebut Tito antara lain tetap dilakukan pilkada langsung dengan meminimalisir efek negatifnya, pilkada kembali ke DPRD, dan pilkada asimetris.

Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar-daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya, ataupun aspek strategis lainnya.

Misalnya DKI Jakarta yang wali kotanya tidak dipilih melalui pilkada. Hal itu dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom, melainkan sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan DPRD.

“Saya tidak mengatakan mana yang paling baik, tapi kami akan melakukan kajian akademik,” ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, (18/11). (bbs/azw)

KETERANGAN:
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan keterangan resmi terkait Pilkada Langsung kepada sejumlah wartawan di Istana, kemarin.
KETERANGAN: Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan keterangan resmi terkait Pilkada Langsung kepada sejumlah wartawan di Istana, kemarin.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk memberlakukan pemilihan kepala daerah atau pilkada asimetris sebagai bagian dari hasil evaluasi sistem pemilihan langsung.

Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, semua daerah harus memiliki aturan hukum dan sistem yang sama dalam pelaksanaan pemilu.

“Jadi pilihannya, pilkada langsung atau pilkada tidak langsung alias kembali ke DPRD. Tidak bisa sebagian pilkada langsung, sebagian lagi tidak. Sulit nanti pengaturannya,” ujar Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, (20/11).

Sementara, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai, pilihan sistem pilkada langsung atau melalui DPRD sama-sama dilematis. Ia mengatakan, dulunya pilkada melalui DPRD dianggap kurang demokratis sehingga muncul sistem pilkada langsung. Namun kini, pilkada langsung diprotes lantaran berbiaya besar dan sarat politik uang.

“Ya saya kira sistem itu tidak bisa sempurna. Dulu lewat DPRD dianggap kurang demokratis, reformasi minta langsung. Minta langsung ternyata juga ada kelemahan-kelemahan yaitu biayanya besar, kemudian money politic dan sebagainya,” kata Ma’ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (20/11). Karena itu, Ma’ruf mengatakan, pemerintah dan DPR harus mengkaji secara cermat sistem pilkada yang baru.

Ia meminta sistem pilkada yang baru tetap mengakomodasi hak-hak rakyat dalam berdemokrasi sekaligus mampu menekan biaya dan politik uang. “Solusinya kita cari bersama-sama karena itu perlu dibahas lebih teliti. Jadi kita jangan semacam harus begini saja, kajiannya harus cermat,” ujar Ma’ruf.

“Jangan sampai kita asal bilang, wah ini ternyata tidak tepat. Nah solusi yang kita cari harus lebih tepat, kewenangannya ada di DPR tapi mendengarkan pendapat publik ya kemudian perlu dibahas secara lebih mendalam saya kira,” kata dia.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengatakan tengah mengkaji sejumlah opsi-opsi sebagai solusi atas evaluasi pelaksanaan pilkada langsung. Opsi-opsi yang disebut Tito antara lain tetap dilakukan pilkada langsung dengan meminimalisir efek negatifnya, pilkada kembali ke DPRD, dan pilkada asimetris.

Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar-daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya, ataupun aspek strategis lainnya.

Misalnya DKI Jakarta yang wali kotanya tidak dipilih melalui pilkada. Hal itu dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom, melainkan sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan DPRD.

“Saya tidak mengatakan mana yang paling baik, tapi kami akan melakukan kajian akademik,” ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, (18/11). (bbs/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/