28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Seorang Bapak dan Rumah yang Dibagi Empat

Oleh: Ramadhan Batubara

Hatta, berpikirlah seorang bapak yang belum akan meninggal. Dia ingin segera membagikan warisan pada anak-anaknya. Bapak yang masih sehat tanpa penyakit kronis itu pun berpikir, akan dibagi berapakah satu-satunya rumah yang dimilikinya itu.

Sang bapak belum juga menemukan jawaban. Dalam senyap dia memandang foto keluarga. Tergambar di sana tiga anak lelakinya, istri, dan beberapa anak perempuannya. Gambar itu memunculkan senyum riang, sebuah keluarga yang utuh. Menyenangkan.

Si bapak tersenyum. Namun, belum lagi bibirnya mengembang sampai lebar, ia kerutkan lagi. Dahinya pun mengerucut. “Harus segera kubagi, tapi akan jadi berapa rumah ini nanti?”
Sang bapak tak juga bisa menjawab pertanyaan yang diungkapkannya tadi. Memang sempat dia miliki jawaban, membagi rumah itu menjadi tiga; masing-masing satu bagian untuk semua anak laki-lakinya. Tapi, dimanakah istrinya nanti tinggal? Lalu, bagaimana dengan anak-anak perempuannya? Ayolah, lelaki dan perempuan itu semua anaknya, darah dagingnya.

Sayangnya, pikiran bijak soal untuk membagi rata rumah itu untuk semua anak langsung dibantah sang anak laki-laki. “Bapak, menurut adat dan kebiasaaan, laki-lakilah yang dapat,” kata anak pertama. “Bapak, menurut agama dan kepercayaan, anak laki-lakilah yang dapat,” sambung anak kedua. “Bapak, menurut kepatutan dan kebutuhan, anak laki-lakilah yang dapat,” tambah anak laki-laki yang terakhir. Bah!

Sang bapak kembali merenung. Dia sepakat dengan kalimat ketiga anak laki-lakinya itu. Ya, laki-lakilah yang dapat. Perempuan tentunya akan ikut suami dan suaminya pasti dapat bagian dari keluarganya. Bukankah begitu?
Bapak yang tak sakit kronis itu ingin memutuskan, rumah dibagi empat! Ya, satu laki adalah tempat bagi dirinya sebelum mati, sang istri, dan anak perempuannya jika ditinggal suami. Beres!

Sayang hidup memang tak sesederhana sarapan; ceplok telur, selesai. Sang bapak yang segera ingin menyampaikan pengumuman kembali berpikir. Apakah pigura berisi foto bergambar senyum tadi akan kekal? Lalu, terbayanglah dalam benaknya ketika anak-anaknya itu kecil. Ya, dia dan istri dengan penuh cinta selalu memperhatikan kerikil agar sang anak tak tersandung, luka dan berdarah. Kala malam, mereka memasang telinga, mendengar suara nyamuk, sigap mengamankan sang anak dari gigitan yang membuat gatal. Nah, ketika rumah itu dibagi, apakah anak-anaknya akan ingat dengan semua itu?

Ada ketakutan yang tiba-tiba menyergap sang bapak. Dia takut tentang filosofi kacang berlaku pada hidupnya. Ya, lupa kulitnya. Ukh, meski nanti rumah terpisah sekadar dinding, bukankah itu berarti tak sama lagi. Pasti ada sesuatu yang hilang, mungkin ikatan darah. Ah, sang bapak teringat kisah lain, tentang hubungan darah menjadi kering hanya karena harta. Ah, sejauh apa ia mengenal anak-anaknya itu, bukankah tidak hanya dia yang membesarkan mereka? Ayolah, sang anak juga bersekolah yang tentunya memiliki kecenderungan pendidikan berbeda dengan di rumah.
Juga, tentang nasib rumah setelah terbagi nanti. Adakah rumah akan tetap indah seperti sekarang. Sehebat apakah ketiga anaknya itu merawat rumah, bukankah biasanya mereka hanya tinggal menikmati rumah yang dia rawat.

Ketakutan lebih hebat lagi muncul ketika sang bapak menyadari kalau anak perempuannya bisa saja turut menuntut. Atas nama darah, bukankah mereka juga anaknya? Ya, sebagai bapak dia memang harus adil. Baiklah, jika rumah tetap dibagi empat, namun bisa saja anak perempuan minta rumah yang dia tinggali dengan istri untuk dibagi lagi.
Sang bapak kembali mengerutkan dahi. Soal pembagian memang berat. Unsur peran, kekuatan, dan sebaginya sangat berpengaruh. Masing-masing anak (baik laki-laki dan perempuan) tentunya memiliki peran dalam rumah induk itu. Ya, meski hanya menyapu halaman, bukankah itu bisa membuat rumah menjadi bersih. Belum lagi ketika ada yang sampai membenarkan genteng. Sekali lagi, sang bapak merasa pembagian yang harus dia lakukan adalah sebuah pekerjaan yang tidak menyenangkan.

Lalu, muncul pertanyaan dalam otaknya yang lain; kenapa harus membagi rumah? Ya, bukankah dia belum mati dan tidak memiliki penyakit kronis hingga divonis akan kehilangan nyawa? Woi, sang bapak tersenyum, dia merasa masih sehat. Dan, dia memiliki pikiran bijak secara tiba-tiba, dia ingat kalimat yang dikeluarkan Kahlil Gibran: Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan. Sang bapak tertawa, dia berpikir untuk tetap menjadikan satu rumah, tanpa membaginya. Biarkan anaknya membangun rumahnya sendiri, di sana, di tempat yang diinginkan anaknya.

Ah, sayang, sang bapak sadar. Selama ini dia kurang memberikan modal pada anak-anaknya itu; tak ada pelajaran yang dia berikan soal tanah, bangunan, hingga cita-cita. Anak-anaknya kurang daya, asupan gizi tak terkendali. Lalu, bagaimana mereka bisa mandiri, pikir sang bapak lagi.

Begitulah, hingga kini sang bapak masih duduk di beranda. Berkain sarung, menatap halaman berumput. Dia belum juga memutuskan. Dia ingin memutuskan. Dia bingung memutuskan. “Ah, kenapa pikiran ini soal membagi ini muncul,” lirihnya. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Hatta, berpikirlah seorang bapak yang belum akan meninggal. Dia ingin segera membagikan warisan pada anak-anaknya. Bapak yang masih sehat tanpa penyakit kronis itu pun berpikir, akan dibagi berapakah satu-satunya rumah yang dimilikinya itu.

Sang bapak belum juga menemukan jawaban. Dalam senyap dia memandang foto keluarga. Tergambar di sana tiga anak lelakinya, istri, dan beberapa anak perempuannya. Gambar itu memunculkan senyum riang, sebuah keluarga yang utuh. Menyenangkan.

Si bapak tersenyum. Namun, belum lagi bibirnya mengembang sampai lebar, ia kerutkan lagi. Dahinya pun mengerucut. “Harus segera kubagi, tapi akan jadi berapa rumah ini nanti?”
Sang bapak tak juga bisa menjawab pertanyaan yang diungkapkannya tadi. Memang sempat dia miliki jawaban, membagi rumah itu menjadi tiga; masing-masing satu bagian untuk semua anak laki-lakinya. Tapi, dimanakah istrinya nanti tinggal? Lalu, bagaimana dengan anak-anak perempuannya? Ayolah, lelaki dan perempuan itu semua anaknya, darah dagingnya.

Sayangnya, pikiran bijak soal untuk membagi rata rumah itu untuk semua anak langsung dibantah sang anak laki-laki. “Bapak, menurut adat dan kebiasaaan, laki-lakilah yang dapat,” kata anak pertama. “Bapak, menurut agama dan kepercayaan, anak laki-lakilah yang dapat,” sambung anak kedua. “Bapak, menurut kepatutan dan kebutuhan, anak laki-lakilah yang dapat,” tambah anak laki-laki yang terakhir. Bah!

Sang bapak kembali merenung. Dia sepakat dengan kalimat ketiga anak laki-lakinya itu. Ya, laki-lakilah yang dapat. Perempuan tentunya akan ikut suami dan suaminya pasti dapat bagian dari keluarganya. Bukankah begitu?
Bapak yang tak sakit kronis itu ingin memutuskan, rumah dibagi empat! Ya, satu laki adalah tempat bagi dirinya sebelum mati, sang istri, dan anak perempuannya jika ditinggal suami. Beres!

Sayang hidup memang tak sesederhana sarapan; ceplok telur, selesai. Sang bapak yang segera ingin menyampaikan pengumuman kembali berpikir. Apakah pigura berisi foto bergambar senyum tadi akan kekal? Lalu, terbayanglah dalam benaknya ketika anak-anaknya itu kecil. Ya, dia dan istri dengan penuh cinta selalu memperhatikan kerikil agar sang anak tak tersandung, luka dan berdarah. Kala malam, mereka memasang telinga, mendengar suara nyamuk, sigap mengamankan sang anak dari gigitan yang membuat gatal. Nah, ketika rumah itu dibagi, apakah anak-anaknya akan ingat dengan semua itu?

Ada ketakutan yang tiba-tiba menyergap sang bapak. Dia takut tentang filosofi kacang berlaku pada hidupnya. Ya, lupa kulitnya. Ukh, meski nanti rumah terpisah sekadar dinding, bukankah itu berarti tak sama lagi. Pasti ada sesuatu yang hilang, mungkin ikatan darah. Ah, sang bapak teringat kisah lain, tentang hubungan darah menjadi kering hanya karena harta. Ah, sejauh apa ia mengenal anak-anaknya itu, bukankah tidak hanya dia yang membesarkan mereka? Ayolah, sang anak juga bersekolah yang tentunya memiliki kecenderungan pendidikan berbeda dengan di rumah.
Juga, tentang nasib rumah setelah terbagi nanti. Adakah rumah akan tetap indah seperti sekarang. Sehebat apakah ketiga anaknya itu merawat rumah, bukankah biasanya mereka hanya tinggal menikmati rumah yang dia rawat.

Ketakutan lebih hebat lagi muncul ketika sang bapak menyadari kalau anak perempuannya bisa saja turut menuntut. Atas nama darah, bukankah mereka juga anaknya? Ya, sebagai bapak dia memang harus adil. Baiklah, jika rumah tetap dibagi empat, namun bisa saja anak perempuan minta rumah yang dia tinggali dengan istri untuk dibagi lagi.
Sang bapak kembali mengerutkan dahi. Soal pembagian memang berat. Unsur peran, kekuatan, dan sebaginya sangat berpengaruh. Masing-masing anak (baik laki-laki dan perempuan) tentunya memiliki peran dalam rumah induk itu. Ya, meski hanya menyapu halaman, bukankah itu bisa membuat rumah menjadi bersih. Belum lagi ketika ada yang sampai membenarkan genteng. Sekali lagi, sang bapak merasa pembagian yang harus dia lakukan adalah sebuah pekerjaan yang tidak menyenangkan.

Lalu, muncul pertanyaan dalam otaknya yang lain; kenapa harus membagi rumah? Ya, bukankah dia belum mati dan tidak memiliki penyakit kronis hingga divonis akan kehilangan nyawa? Woi, sang bapak tersenyum, dia merasa masih sehat. Dan, dia memiliki pikiran bijak secara tiba-tiba, dia ingat kalimat yang dikeluarkan Kahlil Gibran: Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan. Sang bapak tertawa, dia berpikir untuk tetap menjadikan satu rumah, tanpa membaginya. Biarkan anaknya membangun rumahnya sendiri, di sana, di tempat yang diinginkan anaknya.

Ah, sayang, sang bapak sadar. Selama ini dia kurang memberikan modal pada anak-anaknya itu; tak ada pelajaran yang dia berikan soal tanah, bangunan, hingga cita-cita. Anak-anaknya kurang daya, asupan gizi tak terkendali. Lalu, bagaimana mereka bisa mandiri, pikir sang bapak lagi.

Begitulah, hingga kini sang bapak masih duduk di beranda. Berkain sarung, menatap halaman berumput. Dia belum juga memutuskan. Dia ingin memutuskan. Dia bingung memutuskan. “Ah, kenapa pikiran ini soal membagi ini muncul,” lirihnya. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/