23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Mencari dan Menjadi Orang yang Asyik

Ramadhan Batubara

Semasa kecil saya begitu merindukan pindah sekolah. Saat itu saya berpikir alangkah indahnya bisa bertemu dengan suasana baru, teman baru, guru baru, hingga papan tulis baru. Tapi, setelah umur kepala tiga, mengapa pindah menjadi semacam ketakutan?

BEGITULAH, beberapa hari ini saya memang pindah rumah. Pindah kali ini bukan karena banjir atau ada masalah dengan rumah lama, tapi hanya karena demi kesehatan. Ya, rumah sebelumnya begitu jauh dari kantor. Sementara, saya selalu pulang lewat tengah malam. Bukankah angin malam teramat jahat?

Tapi, sudahlah, saya tidak ingin cerita soal itu. Yang ingin saya ceritakan adalah bagaimana saya harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Dan, hasilnya saya sedikit kepayahan juga. Pasalnya, tetangga saya memiliki selera musik yang berbeda. Maksud saya bukan pada genre musik, tapi bagaimana cara dia menikmati musik.

Begini, tetangga saya ini memiliki soundsystem yang paten. Nah, kenyataannya, dia cenderung menyukai musik dengan suara yang keras. Parahnya lagi, ketika dia menyetel musik bersuara keras itu, dia tidak peduli dengan orang lain. Maka, tidur saya terganggu. Fiuh.

Sekali lagi sudahlah, toh, saya anak baru kan? Yang menjadi pikiran saya adalah kecenderungannya yang setiap pagi menyetel lagu dengan suara keras. Setelah saya usut, ternyata setiap pagi dia ke warung yang letaknya beberapa rumah dari rumahnya. Dan, agar musiknya tetap kedengaran olehnya, dia fullkan volumenya. Menariknya, ketika dia selesai dari warung, maka volume musiknya dia kecilkan. Ukh, tampaknya dia tak mau kalau musik yang dia setel hilang dari pendengarannya.

Setelah mengetahui dasar musik keras dari depan ruah itu, saya sedikit maklum. Awalnya, saya merasa aksi musik keras itu hanya sekadar unjuk gigi. Ya, penghuni lama kan harus memberi tahu kepada yang baru soal kehebatannya. Semua tak agar si penghuni baru segan dan tidak macam-macam di wilayah itu. Karena itulah, mungkin, penghuni baru akan memberikan pulut kuning atau nasi urap, atau panganan lainnya sebagai ucapan ‘mohon petunjuk’ di wilayah tersebut. Hm, sebuah proses pengenalan yang menarik bukan?
Tentu, lantun kali ini berusaha mengusik soal adaptasi. Kata orang pintar, manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan adaptasi paling tinggi. Ya, ketika kedinginan maka terciptalah jaket, ketika hujan terciptalah payung, dan ketika panas terciptalah AC mungkin hanya sedikit contoh dari kemampuan manusia beradaptasi.

Kemampuan manusia beradaptasi inilah yang sejatinya bisa dijadikan senjata saat kita berpindah tempat.
Yang terbaru pastinya soal reshuffle kabinet. Ada kabar tentang menteri dan wakil menteri baru. Ada juga kabar tentang pergeseran menteri ke pos yang baru. Semua itu ujung-ujungnya akan memaksa mereka beradaptasi kan? Saya hanya membayangkan, apa yang harus disiapkan para menteri itu. Haruskah mereka menyiapkan nasi urap atau pulut kuning sebagai tanda sebagai orang baru di lingkungan itu?

Tampaknya tidak. Yang sibuk mungkin para bawahan. Ayolah, bukan sebuah rahasia lagi kan kalau yang namanya pimpinan bisa sesuka hati bersikap. Dengan kata lain, anak buahlah yang harus beradaptasi dengan si bos baru tadi. Jadi, sia anak buah pun akan disibukkan dengan usaha mencari tahu kebiasaan-kebiasaan bos baru itu. Ya, kalau si bos suka roti kaleng, anak buah jangan sekali-kali memberikan parsel beri buah kan?

Soal adaptasi semacam ini membuat saya teringat dengan seorang kawan yang memiliki trik adaptasi pintar. Sebagai orang baru dia langsung mencari teman yang sebelumnya sudah berbaur di tempat yang dimaksud; kebetulan temannya itu saya. Nah, dia langsung menempel dengan saya. Lucunya, saya malah membiarkan dia yang memanfaatkan saya. Entahlah, mungkin saat itu saya ingin tulus berkawan saja.

Selang waktu, dia malah merebut semua kawan saya. Dan, saya malah seperti anak baru di sana. He he he he.
Ada juga kawan lain yang salah menempel dengan saya. Melihat saya bisa sesuka hati dengan beberapa kawan, eh, dia juga bersikap persis dengan saya. Dia lupa kalau saya dan teman-teman saya itu telah melewati proses panjang hingga bisa sesuka hati, sedangkan dia hanya kawan kemarin sore kan?  Tak pelak, dia pun jadi dibenci.

Ujung-ujungnya, saya pun mendapat bonus pandangan tak menyenangkan karena membawa teman baru yang tak asyik. Fiuh. Mencari dan menjadi teman yang asyik ternyata memang sulit.(*)

Ramadhan Batubara

Semasa kecil saya begitu merindukan pindah sekolah. Saat itu saya berpikir alangkah indahnya bisa bertemu dengan suasana baru, teman baru, guru baru, hingga papan tulis baru. Tapi, setelah umur kepala tiga, mengapa pindah menjadi semacam ketakutan?

BEGITULAH, beberapa hari ini saya memang pindah rumah. Pindah kali ini bukan karena banjir atau ada masalah dengan rumah lama, tapi hanya karena demi kesehatan. Ya, rumah sebelumnya begitu jauh dari kantor. Sementara, saya selalu pulang lewat tengah malam. Bukankah angin malam teramat jahat?

Tapi, sudahlah, saya tidak ingin cerita soal itu. Yang ingin saya ceritakan adalah bagaimana saya harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Dan, hasilnya saya sedikit kepayahan juga. Pasalnya, tetangga saya memiliki selera musik yang berbeda. Maksud saya bukan pada genre musik, tapi bagaimana cara dia menikmati musik.

Begini, tetangga saya ini memiliki soundsystem yang paten. Nah, kenyataannya, dia cenderung menyukai musik dengan suara yang keras. Parahnya lagi, ketika dia menyetel musik bersuara keras itu, dia tidak peduli dengan orang lain. Maka, tidur saya terganggu. Fiuh.

Sekali lagi sudahlah, toh, saya anak baru kan? Yang menjadi pikiran saya adalah kecenderungannya yang setiap pagi menyetel lagu dengan suara keras. Setelah saya usut, ternyata setiap pagi dia ke warung yang letaknya beberapa rumah dari rumahnya. Dan, agar musiknya tetap kedengaran olehnya, dia fullkan volumenya. Menariknya, ketika dia selesai dari warung, maka volume musiknya dia kecilkan. Ukh, tampaknya dia tak mau kalau musik yang dia setel hilang dari pendengarannya.

Setelah mengetahui dasar musik keras dari depan ruah itu, saya sedikit maklum. Awalnya, saya merasa aksi musik keras itu hanya sekadar unjuk gigi. Ya, penghuni lama kan harus memberi tahu kepada yang baru soal kehebatannya. Semua tak agar si penghuni baru segan dan tidak macam-macam di wilayah itu. Karena itulah, mungkin, penghuni baru akan memberikan pulut kuning atau nasi urap, atau panganan lainnya sebagai ucapan ‘mohon petunjuk’ di wilayah tersebut. Hm, sebuah proses pengenalan yang menarik bukan?
Tentu, lantun kali ini berusaha mengusik soal adaptasi. Kata orang pintar, manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan adaptasi paling tinggi. Ya, ketika kedinginan maka terciptalah jaket, ketika hujan terciptalah payung, dan ketika panas terciptalah AC mungkin hanya sedikit contoh dari kemampuan manusia beradaptasi.

Kemampuan manusia beradaptasi inilah yang sejatinya bisa dijadikan senjata saat kita berpindah tempat.
Yang terbaru pastinya soal reshuffle kabinet. Ada kabar tentang menteri dan wakil menteri baru. Ada juga kabar tentang pergeseran menteri ke pos yang baru. Semua itu ujung-ujungnya akan memaksa mereka beradaptasi kan? Saya hanya membayangkan, apa yang harus disiapkan para menteri itu. Haruskah mereka menyiapkan nasi urap atau pulut kuning sebagai tanda sebagai orang baru di lingkungan itu?

Tampaknya tidak. Yang sibuk mungkin para bawahan. Ayolah, bukan sebuah rahasia lagi kan kalau yang namanya pimpinan bisa sesuka hati bersikap. Dengan kata lain, anak buahlah yang harus beradaptasi dengan si bos baru tadi. Jadi, sia anak buah pun akan disibukkan dengan usaha mencari tahu kebiasaan-kebiasaan bos baru itu. Ya, kalau si bos suka roti kaleng, anak buah jangan sekali-kali memberikan parsel beri buah kan?

Soal adaptasi semacam ini membuat saya teringat dengan seorang kawan yang memiliki trik adaptasi pintar. Sebagai orang baru dia langsung mencari teman yang sebelumnya sudah berbaur di tempat yang dimaksud; kebetulan temannya itu saya. Nah, dia langsung menempel dengan saya. Lucunya, saya malah membiarkan dia yang memanfaatkan saya. Entahlah, mungkin saat itu saya ingin tulus berkawan saja.

Selang waktu, dia malah merebut semua kawan saya. Dan, saya malah seperti anak baru di sana. He he he he.
Ada juga kawan lain yang salah menempel dengan saya. Melihat saya bisa sesuka hati dengan beberapa kawan, eh, dia juga bersikap persis dengan saya. Dia lupa kalau saya dan teman-teman saya itu telah melewati proses panjang hingga bisa sesuka hati, sedangkan dia hanya kawan kemarin sore kan?  Tak pelak, dia pun jadi dibenci.

Ujung-ujungnya, saya pun mendapat bonus pandangan tak menyenangkan karena membawa teman baru yang tak asyik. Fiuh. Mencari dan menjadi teman yang asyik ternyata memang sulit.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/