30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Katanya, Ini Masih Kata Pengantar

Ramadhan Batubara

Buku, kata orang bijak, adalah jendela dunia. Itulah sebabnya, ketika seseorang banyak membaca buku, maka pengetahuannya lebih luas. Dengan pengetahuan luas, maka dia bisa mengendalikan dunia. Bukankah begitu?

Terus terang, lantun ini memang menyoroti bom buku yang belakangan ini marak dibicarakan. Bayangkan saja, buku yang identik dengan ilmu pengetahuan dijadikan bom! Miris. Sumpah saya kecewa dengan kenyataan itu. Ayolah, kenapa harus buku? Kalau mau meneror dengan bom (meski saya tak suka dengan ‘bom’ dan ‘teror’), pakai media lain lah. Wahai peneror, kenapa Anda tak berpikir kalau negara kita masih berjuang untuk membangkitkan minat baca, kenapa buku Anda buat menjadi menyeramkan?

Di saat sedih seperti ini sayangnya otak saya malah diganggu pikiran lain. Ya, ada pertanyaan muncul, kenapa harus pakai buku? Ingat, buku saya artikan sebagai kesatuan; berarti ada cover, halaman, dan sebagainya. Seandainya ingin membunuh, bukankah bisa pakai media lain. Ya, ada bom mobil, ransel, koper dan sebagainya. Semakin penasaran, buku yang dijadikan bom malah terkesan memang diciptakan untuk hal itu. Buktinya, bom untuk Ahmad Dhani, Ulil Abshar Abdalla, Komjen (pol) Gories Mere, dan Yapto S Soerjosoemarno memiliki judul yang khusus. Menariknya lagi, saking khususnya, sanga pengirim pun memberikan surat pada penerima bom dengan isi permintaan menjadi penulis kata pengantar dari buku yang dimaksud. Hm, apa maksudnya?

Baiklah, tiba-tiba saya ingin menjadi Sherlock Holmes tokoh fiksi karya Sir Conan Doyle atau Hercule Poirot ala Agatha Christie. Begini, saya memulai dulu dengan permintaan sang pengirim (kita kesampingkan saja judul buku). Yakni, meminta tokoh tujuan untuk menulis kata pengantar. Nah, biasanya kata pengantar kan hanya ada pada buku nonfiksi (kecuali kumpulan karya yang memakai dana atau meminta seorang tokoh menjadi donatur). Berarti buku yang ada bomnya itu adalah sesuatu yang pasti dan bukan fiksi. Nah, biasanya, dalam kata pengantar, orang yang dipilih atau terpilih menuliskan pikiran akan berusaha menerjemahkan maksud dan apapun yang terkait dengan buku dimaksud. Dengan arti begini, mungkinkah sang pengirim ingin memberitahukan pada khalayak kalau sesungguhnya tokoh yang mereka pilih adalah sosok yang tepat dengan isu buku yang jadi bom itu; bisa yang sejalan maupun yang berlawanan. Lalu, bukankah kata pengantar adalah bagian awal dari sebuah buku (tentunya selain cover). Dalam istilah kerennya, kata pengantar itu kan prolog dan kata penutup itu kan epilog. Jika begitu, mungkinkah tokoh yang dituju adalah orang pertama yang akan dijadikan korban bom terkait dengan masing-masing isu buku. Jika begitu, siapa yang akan menjadi tokoh epilognya? Berarti, ada juga tokoh untuk daftar isi dan isi buku kan? Mengerikan sekali.

Untuk arti kata pengantar sebagai yang pertama juga bisa diartikan sesuatu yang awal. Maksudnya begini, bisa saja bom ini masih kelas kata pengantar, dia belum masuk ke isi; ke intinya. Jadi, akan ada bom lain yang lebih besar. Fiuh.

Kalau begini, sebagai Sherlock Holmes, saya butuh Dr Watson. Ya, saya butuh teman untuk menganalisis fenomena ini, setidaknya saya butuh asisten untuk mencatat pikiran saya. Tapi, sudahlah, ujung-ujungnya Dr Watson juga akan menyerahkan segalanya pada saya kan? Begitu pun kalau saya menjadi Hercule Poirot. Tetap saja saya andalkan otak saya meski ada Arthur Hastings yang setia.

Kalau sudah semacam ini, bingung mencari makna, saya biasanya langsung meninggalkan komputer. Tapi, tiba-tiba otak saya malah kemasukan pikiran lain. Ya, setiap buku memiliki pembacanya masing-masing. Karena itu, perusahaan penerbitan seakan tiada mati. Beragam ilmu, kisah, dan sebagainya terus tercetak hari demi hari. Soal jenis isi, dikotomi pun terus diciptakan misalnya ilmiah dan populer, sastra dan picisan, dan sebagainya. Nah, dengan dikotomi semacam itu, kenapa tidak kita belas soal bom buku itu? Maksudnya begini, ilmiah atau populer kah buku yang merupakan bom itu? Atau, sastra atau picisan kah buku yang dimintai kata pengantarnya itu? Pembelahan arti semacam itu kan sangat gamblang yakni membedakan soal bagus dengan buruk atau baik dengan jelek. Nah, bom buku bisa diartikan sebagai sesuatu yang mewakili idealisme tertentu atau sekadar buat heboh. Baiklah, untuk yang pertama, jika dia mewakili idealisme tertentu, kenapa dengan peledak yang tak hebat. Ya, bom buku itu kan dayanya tak untuk membunuh, tapi sekadar membuat kejut. Masalah ada yang terluka, itu lebih pada faktor kecelakaan semata.

Unsur sekadar membuat kejut bisa diartikan sebagi usaha untuk buat heboh kan? Bagi saya, jika untuk sebuah perjuangan, buat saja bom yang kuat. Tapi, untuk apa membuat heboh. Ayolah, kenapa ada orang iseng membuat heboh ketika negara ini sedang diserang wikileaks dan dipenuhi kabar derita dari Jepang?
Ah, sudahlah, yang pasti siapapun atau apapun yang melatarbelakangi bom buku sangat paham dengan maksudnya sendiri. Ya, dia pun paham buku sebagai jendela dunia. Namanya jendela berarti yang di dalam bisa melihat ke luar dan yang di luar bisa melihat ke dalam. Bukankah begitu? (*)
18 Maret 2011

Ramadhan Batubara

Buku, kata orang bijak, adalah jendela dunia. Itulah sebabnya, ketika seseorang banyak membaca buku, maka pengetahuannya lebih luas. Dengan pengetahuan luas, maka dia bisa mengendalikan dunia. Bukankah begitu?

Terus terang, lantun ini memang menyoroti bom buku yang belakangan ini marak dibicarakan. Bayangkan saja, buku yang identik dengan ilmu pengetahuan dijadikan bom! Miris. Sumpah saya kecewa dengan kenyataan itu. Ayolah, kenapa harus buku? Kalau mau meneror dengan bom (meski saya tak suka dengan ‘bom’ dan ‘teror’), pakai media lain lah. Wahai peneror, kenapa Anda tak berpikir kalau negara kita masih berjuang untuk membangkitkan minat baca, kenapa buku Anda buat menjadi menyeramkan?

Di saat sedih seperti ini sayangnya otak saya malah diganggu pikiran lain. Ya, ada pertanyaan muncul, kenapa harus pakai buku? Ingat, buku saya artikan sebagai kesatuan; berarti ada cover, halaman, dan sebagainya. Seandainya ingin membunuh, bukankah bisa pakai media lain. Ya, ada bom mobil, ransel, koper dan sebagainya. Semakin penasaran, buku yang dijadikan bom malah terkesan memang diciptakan untuk hal itu. Buktinya, bom untuk Ahmad Dhani, Ulil Abshar Abdalla, Komjen (pol) Gories Mere, dan Yapto S Soerjosoemarno memiliki judul yang khusus. Menariknya lagi, saking khususnya, sanga pengirim pun memberikan surat pada penerima bom dengan isi permintaan menjadi penulis kata pengantar dari buku yang dimaksud. Hm, apa maksudnya?

Baiklah, tiba-tiba saya ingin menjadi Sherlock Holmes tokoh fiksi karya Sir Conan Doyle atau Hercule Poirot ala Agatha Christie. Begini, saya memulai dulu dengan permintaan sang pengirim (kita kesampingkan saja judul buku). Yakni, meminta tokoh tujuan untuk menulis kata pengantar. Nah, biasanya kata pengantar kan hanya ada pada buku nonfiksi (kecuali kumpulan karya yang memakai dana atau meminta seorang tokoh menjadi donatur). Berarti buku yang ada bomnya itu adalah sesuatu yang pasti dan bukan fiksi. Nah, biasanya, dalam kata pengantar, orang yang dipilih atau terpilih menuliskan pikiran akan berusaha menerjemahkan maksud dan apapun yang terkait dengan buku dimaksud. Dengan arti begini, mungkinkah sang pengirim ingin memberitahukan pada khalayak kalau sesungguhnya tokoh yang mereka pilih adalah sosok yang tepat dengan isu buku yang jadi bom itu; bisa yang sejalan maupun yang berlawanan. Lalu, bukankah kata pengantar adalah bagian awal dari sebuah buku (tentunya selain cover). Dalam istilah kerennya, kata pengantar itu kan prolog dan kata penutup itu kan epilog. Jika begitu, mungkinkah tokoh yang dituju adalah orang pertama yang akan dijadikan korban bom terkait dengan masing-masing isu buku. Jika begitu, siapa yang akan menjadi tokoh epilognya? Berarti, ada juga tokoh untuk daftar isi dan isi buku kan? Mengerikan sekali.

Untuk arti kata pengantar sebagai yang pertama juga bisa diartikan sesuatu yang awal. Maksudnya begini, bisa saja bom ini masih kelas kata pengantar, dia belum masuk ke isi; ke intinya. Jadi, akan ada bom lain yang lebih besar. Fiuh.

Kalau begini, sebagai Sherlock Holmes, saya butuh Dr Watson. Ya, saya butuh teman untuk menganalisis fenomena ini, setidaknya saya butuh asisten untuk mencatat pikiran saya. Tapi, sudahlah, ujung-ujungnya Dr Watson juga akan menyerahkan segalanya pada saya kan? Begitu pun kalau saya menjadi Hercule Poirot. Tetap saja saya andalkan otak saya meski ada Arthur Hastings yang setia.

Kalau sudah semacam ini, bingung mencari makna, saya biasanya langsung meninggalkan komputer. Tapi, tiba-tiba otak saya malah kemasukan pikiran lain. Ya, setiap buku memiliki pembacanya masing-masing. Karena itu, perusahaan penerbitan seakan tiada mati. Beragam ilmu, kisah, dan sebagainya terus tercetak hari demi hari. Soal jenis isi, dikotomi pun terus diciptakan misalnya ilmiah dan populer, sastra dan picisan, dan sebagainya. Nah, dengan dikotomi semacam itu, kenapa tidak kita belas soal bom buku itu? Maksudnya begini, ilmiah atau populer kah buku yang merupakan bom itu? Atau, sastra atau picisan kah buku yang dimintai kata pengantarnya itu? Pembelahan arti semacam itu kan sangat gamblang yakni membedakan soal bagus dengan buruk atau baik dengan jelek. Nah, bom buku bisa diartikan sebagai sesuatu yang mewakili idealisme tertentu atau sekadar buat heboh. Baiklah, untuk yang pertama, jika dia mewakili idealisme tertentu, kenapa dengan peledak yang tak hebat. Ya, bom buku itu kan dayanya tak untuk membunuh, tapi sekadar membuat kejut. Masalah ada yang terluka, itu lebih pada faktor kecelakaan semata.

Unsur sekadar membuat kejut bisa diartikan sebagi usaha untuk buat heboh kan? Bagi saya, jika untuk sebuah perjuangan, buat saja bom yang kuat. Tapi, untuk apa membuat heboh. Ayolah, kenapa ada orang iseng membuat heboh ketika negara ini sedang diserang wikileaks dan dipenuhi kabar derita dari Jepang?
Ah, sudahlah, yang pasti siapapun atau apapun yang melatarbelakangi bom buku sangat paham dengan maksudnya sendiri. Ya, dia pun paham buku sebagai jendela dunia. Namanya jendela berarti yang di dalam bisa melihat ke luar dan yang di luar bisa melihat ke dalam. Bukankah begitu? (*)
18 Maret 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/