31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Rintik Rindunya Kepada Siapa

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada selembar kertas terselip di saku celana saya. Sebuah kertas yang berisikan beberapa kalimat tentang hujan. Setelah saya cermati, kalimat tersebut tak lain adalah sajak karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni. Hm, siapakah yang menyelipkan kertas itu?

Jujur, jika kertas tersebut ditemukan oleh istri saya tentunya bisa bahaya. Ayolah, sajak Sapardi kan memiliki kekuatan kata yang dahsyat. Diksi yang dia gunakan berkesan romantis. Indah. Fiuh, bukankah bisa muncul sebuah kecurigaan dalam diri saya tentang wanita idaman lain?

Tapi sudahlah, saya bukan ingin curhat soal keluarga saya, hal itu sangat tak layak menjadi konsumsi publik; tentu saya bukan selebritas yang makin hebat ketika urusan dapurnya habis dieksploitasi media. Yang menjadi pikiran saat ini adalah siapa orang iseng yang menyelipkan kertas itu. Saya curiga penyelip itu bukanlah perempuan; meski sajak Sapardi cenderung romantis. Ya, saya khawatir ini adalah sebuah pesan. Hm, semacam sandi yang dititipkan seseorang bak dalam film detektif. Bah, kalau begitu, saya ikuti saja kemauannya. Ya, berpikir ala detektif.
Perhatikanlah kutipan sajak itu: tak ada yang lebih tabah//dari hujan bulan Juni//dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu.

Itu adalah bait pertamanya. Menurut saya ada beberapa kata kunci dari bait tersebut yakni tabah, hujan bulan Juni, rahasia, dan pohon berbunga. Tabah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tetap dan kuat hati, berarti ini tentang sikap dalam menghadapi sesuatu. Lalu, hujan bulan Juni. Gabungan kata ini maksudnya apa? Ya, kenapa hujan di bulan Juni, kenapa bukan Agustus atau Januari atau lainnya? Begini penjelasannya (tentunya sangat subjektif), harus bulan Juni karena saat ini sudah mencapai akhir-akhir bulan Mei dan bersiap menyambut Juni. Hm, gampangkan kan? Hehehe.

Tapi, ketika mengingat hujan di bulan Juni, bukankah tergambar kondisi iklim yang sedang kita hadapi? Maksudnya, akhir-akhir ini Kota Medan memang sedang dilanda cuaca yang tak menentu. Bayangkan saja, tiba-tiba panas dan tiba-tiba pula hujan. Seandainya saja badan kita ini adalah sebatang kayu, maka dengan kondisi semacam itu dia akan lapuk. Nah, kalau sudah lapuk, maka kayu itu pun sudah tak bisa lagi menopang atap rumah kan? Jadi, cobalah berkeliling kota, maka kita akan menemukan banyak warga yang terserang flu, demam, dan penyakit lainnya.

Sejatinya, durasi hujan di bulan Juni memang tak begitu banyak bukan? Masa ini adalah masa transisi dari musim hujan ke kemarau. Namanya transisi, ada sesuatu yang belum mapan di tempatnya bukan? Kalau masih tak mapan, berarti tak kuat, bisa juga dikatakan lapuk. Bah! Berarti si penyelip kertas itu ingin mengatakan saya lapuk?
Tunggu dulu, ada larik yang lain: dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu. Wow, lirik ini menggambarkan semangat. Ya, sebuah tekad pada kata ‘rahasia’ dan ada sebuah cita pada kata ‘pohon berbunga’. Hm, ini berarti bukan saya lapuk yang dimaksud si penyelip tadi bukan.

Baiklah, saya coba menggabungkan analisis supersubjektif tadi. Bait sajak itu bagi saya adalah semacam pesan agar kita terus berencana meskipun dalam keadaan payah. Dengan kata lain, sebagai manusia yang berakal ya harus gunakan akal dan jangan menyerah pada keadaan. Contohnya soal hasil Ujian Nasional (UN) tingkat SMA beberapa waktu lalu. Sumatera Utara (Sumut) yang kabarnya memiliki banyak orang pintar ternyata tidak masuk dalam sepuluh SMA dengan Tingkat Kelulusan dan Nilai UN Tertinggi. Sumut malah kalah jauh dari provinsi tetangga yang sesungguh sering kita kalahkan di masa lalu, Aceh. Bayangkan saja, di sepuluh peringkat tersebut, Aceh menempatkan dua SMA-nya. Tidak tanggung-tanggung, SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh meraih peringkat teratas dengan nilai 9,53. Lalu, SMA 2 Modal Bangsa Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar meraih peringkat lima dengan nilai 9,37. Fiuh. Kemana SMA unggulan yang ada di Sumut? Hebatnya lagi, dua SMA di Aceh itu adalah wakil dari Sumatera, lainnya berasal dari Bali dan Jawa.

Nah, kenyataan ini, jika kita sesuaikan dengan bait pertama sajak Hujan Bulan Juni, maka kita sebagai warga Sumut jangan kecil hati. Kita punya otak, kita punya kemampuan, kita punya kemauan, dan kita punya tekad untuk maju, maka gunakan itu. Rangkailah semua itu menjadi sebuah rencana matang agar generasi berikutnya bisa bicara di tingkat nasional. Ya, tahun depan, SMA di wilayah kita harus menembus sepuluh besar tadi. Ya, jadikan dia sebagai rintik rindu yang dirahasiakan untuk pohon berbunga itu. Bukankah begitu?

Lalu, apa maksud si penyelip kertas tadi kepada saya? Setelah saya selesaikan teka-teki ini (tentunya menurut teori saya sendiri), lalu apa? Ya, apalagi setelah itu? Ah, entahlah. (*)
21 Mei 2011

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada selembar kertas terselip di saku celana saya. Sebuah kertas yang berisikan beberapa kalimat tentang hujan. Setelah saya cermati, kalimat tersebut tak lain adalah sajak karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni. Hm, siapakah yang menyelipkan kertas itu?

Jujur, jika kertas tersebut ditemukan oleh istri saya tentunya bisa bahaya. Ayolah, sajak Sapardi kan memiliki kekuatan kata yang dahsyat. Diksi yang dia gunakan berkesan romantis. Indah. Fiuh, bukankah bisa muncul sebuah kecurigaan dalam diri saya tentang wanita idaman lain?

Tapi sudahlah, saya bukan ingin curhat soal keluarga saya, hal itu sangat tak layak menjadi konsumsi publik; tentu saya bukan selebritas yang makin hebat ketika urusan dapurnya habis dieksploitasi media. Yang menjadi pikiran saat ini adalah siapa orang iseng yang menyelipkan kertas itu. Saya curiga penyelip itu bukanlah perempuan; meski sajak Sapardi cenderung romantis. Ya, saya khawatir ini adalah sebuah pesan. Hm, semacam sandi yang dititipkan seseorang bak dalam film detektif. Bah, kalau begitu, saya ikuti saja kemauannya. Ya, berpikir ala detektif.
Perhatikanlah kutipan sajak itu: tak ada yang lebih tabah//dari hujan bulan Juni//dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu.

Itu adalah bait pertamanya. Menurut saya ada beberapa kata kunci dari bait tersebut yakni tabah, hujan bulan Juni, rahasia, dan pohon berbunga. Tabah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tetap dan kuat hati, berarti ini tentang sikap dalam menghadapi sesuatu. Lalu, hujan bulan Juni. Gabungan kata ini maksudnya apa? Ya, kenapa hujan di bulan Juni, kenapa bukan Agustus atau Januari atau lainnya? Begini penjelasannya (tentunya sangat subjektif), harus bulan Juni karena saat ini sudah mencapai akhir-akhir bulan Mei dan bersiap menyambut Juni. Hm, gampangkan kan? Hehehe.

Tapi, ketika mengingat hujan di bulan Juni, bukankah tergambar kondisi iklim yang sedang kita hadapi? Maksudnya, akhir-akhir ini Kota Medan memang sedang dilanda cuaca yang tak menentu. Bayangkan saja, tiba-tiba panas dan tiba-tiba pula hujan. Seandainya saja badan kita ini adalah sebatang kayu, maka dengan kondisi semacam itu dia akan lapuk. Nah, kalau sudah lapuk, maka kayu itu pun sudah tak bisa lagi menopang atap rumah kan? Jadi, cobalah berkeliling kota, maka kita akan menemukan banyak warga yang terserang flu, demam, dan penyakit lainnya.

Sejatinya, durasi hujan di bulan Juni memang tak begitu banyak bukan? Masa ini adalah masa transisi dari musim hujan ke kemarau. Namanya transisi, ada sesuatu yang belum mapan di tempatnya bukan? Kalau masih tak mapan, berarti tak kuat, bisa juga dikatakan lapuk. Bah! Berarti si penyelip kertas itu ingin mengatakan saya lapuk?
Tunggu dulu, ada larik yang lain: dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu. Wow, lirik ini menggambarkan semangat. Ya, sebuah tekad pada kata ‘rahasia’ dan ada sebuah cita pada kata ‘pohon berbunga’. Hm, ini berarti bukan saya lapuk yang dimaksud si penyelip tadi bukan.

Baiklah, saya coba menggabungkan analisis supersubjektif tadi. Bait sajak itu bagi saya adalah semacam pesan agar kita terus berencana meskipun dalam keadaan payah. Dengan kata lain, sebagai manusia yang berakal ya harus gunakan akal dan jangan menyerah pada keadaan. Contohnya soal hasil Ujian Nasional (UN) tingkat SMA beberapa waktu lalu. Sumatera Utara (Sumut) yang kabarnya memiliki banyak orang pintar ternyata tidak masuk dalam sepuluh SMA dengan Tingkat Kelulusan dan Nilai UN Tertinggi. Sumut malah kalah jauh dari provinsi tetangga yang sesungguh sering kita kalahkan di masa lalu, Aceh. Bayangkan saja, di sepuluh peringkat tersebut, Aceh menempatkan dua SMA-nya. Tidak tanggung-tanggung, SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh meraih peringkat teratas dengan nilai 9,53. Lalu, SMA 2 Modal Bangsa Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar meraih peringkat lima dengan nilai 9,37. Fiuh. Kemana SMA unggulan yang ada di Sumut? Hebatnya lagi, dua SMA di Aceh itu adalah wakil dari Sumatera, lainnya berasal dari Bali dan Jawa.

Nah, kenyataan ini, jika kita sesuaikan dengan bait pertama sajak Hujan Bulan Juni, maka kita sebagai warga Sumut jangan kecil hati. Kita punya otak, kita punya kemampuan, kita punya kemauan, dan kita punya tekad untuk maju, maka gunakan itu. Rangkailah semua itu menjadi sebuah rencana matang agar generasi berikutnya bisa bicara di tingkat nasional. Ya, tahun depan, SMA di wilayah kita harus menembus sepuluh besar tadi. Ya, jadikan dia sebagai rintik rindu yang dirahasiakan untuk pohon berbunga itu. Bukankah begitu?

Lalu, apa maksud si penyelip kertas tadi kepada saya? Setelah saya selesaikan teka-teki ini (tentunya menurut teori saya sendiri), lalu apa? Ya, apalagi setelah itu? Ah, entahlah. (*)
21 Mei 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/