30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Di sana, Mereka Melawan Korupsi dengan Puasa

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada yang mengenal Baba Ramdev? Pasti ada. Tapi, saya ingin mengangkat tokoh ini bagi yang sudah lupa (bisa saja ada yang sama sekali tidak tahu). Ceritanya, saya memilih tokoh ini sebagai sosok yang pas untuk awal puasa. Ya, setidaknya, gara-gara puasalah saya kenal namanya.

Begini, sejatinya tokoh kita ini bukan orang Indonesia (kan bisa dilihat dari namanya ya). Dia adalah seorang berwarga negara India. Awal bulan Juli lalu, dia melakukan puasa yang membuat saya terhenyak. Pasalnya, Baba Ramdev yang seorang yoga dan Pranayama agama Hindu di India ini melakukan aksi mogok makan massal yang diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Aksi mogok itu dilakukan Baba ramdev untuk menentang perilaku korupsi pejabat-pejabat pemerintahan di India, tepatnya aksi itu dilakukan di Ibukota India, New Delhi.

Di pusat Kota New Delhi itu, Baba Ramdev bersama ribuan pengikutnya menjalankan aksi protes menentang menjamurnya korupsi di India. Pemerintahan India yang dimotori koalisi Partai Kongres ini sebenarnya sudah berusaha bernegosiasi dengan Ramdev yang menuntut pengembalian uang hasil korupsi di luar negeri dan hukuman mati untuk para pejabat korup. Pemerintah sebenarnya sudah menyepakati sejumlah tuntutan Ramdev namun sang guru yoga menyerukan agar aksi mogok makan terus dijalankan. Baba Ramdev menentang pemerintahan dengan jalan damai yaitu melakukan mogok makan, dan sangat tidak setuju dengan praktek-praktek korupsi yang menjamur di negaranya. “Ada kemarahan yang amat sangat di kalangan penduduk negeri ini. Mereka menginginkan tindakan segera,” begitu katanya kepada BBC.

Nah, seakan ada benang merah dengan negeri kita ini, saya memang langsung teringat dengan beliau ketika akan menuliskan lantun. Pertama, karena besok adalah awal puasa dan kedua, soal korupsi di Indonesia juga parah. Terlepas aksi damai yang dilaksanakan Baba Ramdev dan pengikutnya, saya berpikir jika saja negeri ini mau memakai momen puasa dengan baik, tentunya soal korupsi bisa sedikit terpecahkan. Maksud saya begini, Indonesia kan negara yang memiliki penganut agama Islam paling banyak sedunia. Nah, bulan puasa adalah masa bagi penganut Islam untuk menahan diri dari segala hal yang menyesatkan. Hm, bukankah itu cukup menyambung.

Bukan maksud untuk mengatakan kalau yang korupsi di negeri ini adalah penganut Islam, namun dari persentasi jumlah warga, tentunya akan tercipta sebuah kondisi yang sangat menyenangkan di bulan Ramadan ini. Masing-masing manusia yang hidup di Indonesia menahan diri dari segala kegiatan yang mengarah ke duniawi (baca, korupsi).
Fiuh, untuk korupsi, seandainya Badan Pusat Statistik mau menghitung pengurangan nilai uang yang dikorupsi saat puasa, pasti nilainya sangat mencengangkan. Begini, anggaplah ada sepuluh juta warga Indonesia yang korupsi lima ratus rupiah per harinya. Maka nilai korupsi yang berkurang selama Ramadan adalah lima belas miliar rupiah kan? Rumusnya begini: lima ratus dikalikan sepuluh juta lalu dikalikan lagi dengan 30 jumlah hari selama Ramadan. Ayolah, itu kan bukan angka yang sedikit.

Hm, kalau mau kita jujur, mungkinkah ada yang korupsi sebatas lima ratus rupiah? Dan, benarkah hanya sepuluh juta orang dari 200 juta lebih manusia yang melakukan tindak korupsi di negeri ini?

Tapi sudahlah, soal puasa memang menarik untuk dibahas. Namanya puasa kan berarti menahan diri, lucunya kadang kita lupa dengan itu. Menjelang puasa kita malah sibuk mengobral nafsu. Maka, bukan sesuatu yang dibuat-buat jika harga melonjak. Ya, para pedagang tentunya paham, kita akan membeli apapun untuk bekal saat puasa kan? “Sahur kan jadi tak paten kalau cuma makan mie instan?” begitu kata teman istri saya.

“Kita kan tidak makan seharian, jadi asupan makanan harus mantap,” tambahnya pula.

Ah, sudahlah, soal puasa memang akan menjadi sebuah stimulan yang menarik untuk melakukan kebenaran. Setidaknya Baba Ramdev melakukan hal itu ketika negaranya sudah tak bisa lagi mengontrol tindak korupsi. Indonesia yang tidak memiliki Baba Ramdev bukan berarti tidak bisa melakukan aksi melawan korupsi. Bukankah Indonesia yang memiliki warga terbanyak sebagai penganut Islam akan menghadapi bulan Ramadan. Ya, sebulan penuh berpuasa. Jadi, jika mau bijak, Indonesia sejatinya tidak butuh orang semacam Baba Ramdev. Indonesia hanya butuh warganya (dari segala agama) untuk memahami, memaknai, dan menghormati arti bulan puasa itu. Jika tahap itu sudah sampai, bukan sekadar 15 miliar saja yang berhasil diselamatkan. Maka, soal kisruh KPK, politisi yang tersangkut korupsi, dan apapun itu tak akan mewarnai media. Ujung-ujungnya, presiden pun tidak menyalahkan media lagi.

Tiba-tiba, muncul pula pikiran saya yang lain. Ya, soal puasa, bukankah hal itu urusan manusia dengan Tuhannya? Jadi, hukuman ketika seorang manusia bersalah itu berada di tangan Tuhan. Berarti, manusia bejat yang ingkar pada Tuhan, tetap saja bisa melakukan kejahatan kan? Jika begitu, bulan puasa pun hanya menjadi basa-basi baginya. Dia tetap saja korupsi. Dan, akan sangat menyenangkan baginya ketika orang lain tidak korupsi karena bagian dari kue itu akan menjadi miliknya seorang.

Wah, kalau memang ada orang semacam itu, Indonesia harus bagaimana? Atau memang sudah ada? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada yang mengenal Baba Ramdev? Pasti ada. Tapi, saya ingin mengangkat tokoh ini bagi yang sudah lupa (bisa saja ada yang sama sekali tidak tahu). Ceritanya, saya memilih tokoh ini sebagai sosok yang pas untuk awal puasa. Ya, setidaknya, gara-gara puasalah saya kenal namanya.

Begini, sejatinya tokoh kita ini bukan orang Indonesia (kan bisa dilihat dari namanya ya). Dia adalah seorang berwarga negara India. Awal bulan Juli lalu, dia melakukan puasa yang membuat saya terhenyak. Pasalnya, Baba Ramdev yang seorang yoga dan Pranayama agama Hindu di India ini melakukan aksi mogok makan massal yang diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Aksi mogok itu dilakukan Baba ramdev untuk menentang perilaku korupsi pejabat-pejabat pemerintahan di India, tepatnya aksi itu dilakukan di Ibukota India, New Delhi.

Di pusat Kota New Delhi itu, Baba Ramdev bersama ribuan pengikutnya menjalankan aksi protes menentang menjamurnya korupsi di India. Pemerintahan India yang dimotori koalisi Partai Kongres ini sebenarnya sudah berusaha bernegosiasi dengan Ramdev yang menuntut pengembalian uang hasil korupsi di luar negeri dan hukuman mati untuk para pejabat korup. Pemerintah sebenarnya sudah menyepakati sejumlah tuntutan Ramdev namun sang guru yoga menyerukan agar aksi mogok makan terus dijalankan. Baba Ramdev menentang pemerintahan dengan jalan damai yaitu melakukan mogok makan, dan sangat tidak setuju dengan praktek-praktek korupsi yang menjamur di negaranya. “Ada kemarahan yang amat sangat di kalangan penduduk negeri ini. Mereka menginginkan tindakan segera,” begitu katanya kepada BBC.

Nah, seakan ada benang merah dengan negeri kita ini, saya memang langsung teringat dengan beliau ketika akan menuliskan lantun. Pertama, karena besok adalah awal puasa dan kedua, soal korupsi di Indonesia juga parah. Terlepas aksi damai yang dilaksanakan Baba Ramdev dan pengikutnya, saya berpikir jika saja negeri ini mau memakai momen puasa dengan baik, tentunya soal korupsi bisa sedikit terpecahkan. Maksud saya begini, Indonesia kan negara yang memiliki penganut agama Islam paling banyak sedunia. Nah, bulan puasa adalah masa bagi penganut Islam untuk menahan diri dari segala hal yang menyesatkan. Hm, bukankah itu cukup menyambung.

Bukan maksud untuk mengatakan kalau yang korupsi di negeri ini adalah penganut Islam, namun dari persentasi jumlah warga, tentunya akan tercipta sebuah kondisi yang sangat menyenangkan di bulan Ramadan ini. Masing-masing manusia yang hidup di Indonesia menahan diri dari segala kegiatan yang mengarah ke duniawi (baca, korupsi).
Fiuh, untuk korupsi, seandainya Badan Pusat Statistik mau menghitung pengurangan nilai uang yang dikorupsi saat puasa, pasti nilainya sangat mencengangkan. Begini, anggaplah ada sepuluh juta warga Indonesia yang korupsi lima ratus rupiah per harinya. Maka nilai korupsi yang berkurang selama Ramadan adalah lima belas miliar rupiah kan? Rumusnya begini: lima ratus dikalikan sepuluh juta lalu dikalikan lagi dengan 30 jumlah hari selama Ramadan. Ayolah, itu kan bukan angka yang sedikit.

Hm, kalau mau kita jujur, mungkinkah ada yang korupsi sebatas lima ratus rupiah? Dan, benarkah hanya sepuluh juta orang dari 200 juta lebih manusia yang melakukan tindak korupsi di negeri ini?

Tapi sudahlah, soal puasa memang menarik untuk dibahas. Namanya puasa kan berarti menahan diri, lucunya kadang kita lupa dengan itu. Menjelang puasa kita malah sibuk mengobral nafsu. Maka, bukan sesuatu yang dibuat-buat jika harga melonjak. Ya, para pedagang tentunya paham, kita akan membeli apapun untuk bekal saat puasa kan? “Sahur kan jadi tak paten kalau cuma makan mie instan?” begitu kata teman istri saya.

“Kita kan tidak makan seharian, jadi asupan makanan harus mantap,” tambahnya pula.

Ah, sudahlah, soal puasa memang akan menjadi sebuah stimulan yang menarik untuk melakukan kebenaran. Setidaknya Baba Ramdev melakukan hal itu ketika negaranya sudah tak bisa lagi mengontrol tindak korupsi. Indonesia yang tidak memiliki Baba Ramdev bukan berarti tidak bisa melakukan aksi melawan korupsi. Bukankah Indonesia yang memiliki warga terbanyak sebagai penganut Islam akan menghadapi bulan Ramadan. Ya, sebulan penuh berpuasa. Jadi, jika mau bijak, Indonesia sejatinya tidak butuh orang semacam Baba Ramdev. Indonesia hanya butuh warganya (dari segala agama) untuk memahami, memaknai, dan menghormati arti bulan puasa itu. Jika tahap itu sudah sampai, bukan sekadar 15 miliar saja yang berhasil diselamatkan. Maka, soal kisruh KPK, politisi yang tersangkut korupsi, dan apapun itu tak akan mewarnai media. Ujung-ujungnya, presiden pun tidak menyalahkan media lagi.

Tiba-tiba, muncul pula pikiran saya yang lain. Ya, soal puasa, bukankah hal itu urusan manusia dengan Tuhannya? Jadi, hukuman ketika seorang manusia bersalah itu berada di tangan Tuhan. Berarti, manusia bejat yang ingkar pada Tuhan, tetap saja bisa melakukan kejahatan kan? Jika begitu, bulan puasa pun hanya menjadi basa-basi baginya. Dia tetap saja korupsi. Dan, akan sangat menyenangkan baginya ketika orang lain tidak korupsi karena bagian dari kue itu akan menjadi miliknya seorang.

Wah, kalau memang ada orang semacam itu, Indonesia harus bagaimana? Atau memang sudah ada? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/