Pelantikan Pujakesuma Simalungun
Penasihat Paguyuban Keluarga Besar (PKB) Pujakesuma Soekirman mengingatkan, dalam kosa kata Bahasa Jawa tidak ditemukan kata yang bermakna sok, anggar jago, sipanggaron dan sejenisnya. Malah yang ada adalah kata perintah ‘ojo dumeh’ (jangan mentang-mentang, Red).
“Itu artinya, semua warga Jawa di mana pun berada, apalagi di tanah rantau, semestinya tidak berperilaku anggar jago. Bahkan orang Jawa diperintah untuk tidak bersikap mentang-mentang,” tegas Soekirman, di hadapan ribuan warga Pujakesuma saat pelantikan Pengurus Daerah PKB Pujakesuma Kab. Simalungun dan Pengurus Pujakesuma dari 21 Kecamatan se Kab. Simalungun, di Lap RS Laras, Serbelawan, Minggu (16/12).
Ditegaskannya, makna filosofis ojo dumeh itulah yang mendorongnya tidak berambisi menjadi gubernur di Sumut. “Jangan mentang-mentang orang Jawa itu mayoritas di Sumut, maka orang Jawalah yang harus menjadi gubernur. Gubernur itu biar menjadi jatahnya etnis asli, dan kita cukup menjadi pendampingnya. Beda kalau di Pulau Jawa, etnis Jawalah yang jadi gubernur dan etnis lain boleh menjadi pendampingnya,” lanjut Soekirman, disambut tepuk tangan riuh hadirin.
Soekirman juga menawarkan dua pilihan kepada para hadirin. “Bapak-bapak, ibu-ibu, mana yang lebih kita pentingkan: politik atau ekonomi?” teriaknya.
“Ekonomi…!!!” jawab hadirin, serentak.
Menimpali jawaban itu, Soekirman pun menyebutkan alasan lain kenapa dia mau menjadi Calon Wakil Gubsu mendampingi Cagubsu Gus Irawan Pasaribu pada Pilgubsu 2013. Kata Soekirman, hanya Gus Irawan lah satu-satunya Cagubsu yang punya latar belakang pendidikan dan karir di bidang ekonomi.
“Sudah saatnya Sumut itu dipimpin oleh seorang Gubernur yang berlatar belakang ekonomi. Apalagi Gus Irawan sudah terbukti handal saat memimpin Bank Sumut selama tiga priode. Selain itu, Gus Irawan juga mempunyai bibit-bobot-bebet yang jelas. Jadi, ada tiga alasan kenapa saya mau menjadi Cagubsu dan mau mendampingi Gus Irawan,” katanya.
Siap Menangkan Gusman
Sebelumnya, Ketua PD Pujakesuma Kab. Simalungun, H Uyung Sudrajat, menyampaikan tekad warga Pujakesuma Simalungun yang siap memenangkan Mas Kirman menjadi Wagubsu, mendampingi Gus Irawan Pasaribu sebagai Gubsu periode 2013-2018.
“Memenangkan Mas Kirman pada Pilgubsu 7 Maret 2013, merupakan amanat yang telah diputuskan Majelis Pembina Pujakesuma dan wajib ditaati oleh seluruh warga Pujakesuma,” tandas Uyung.
Ditambahkan, pelantikan Pujakesuma Simalungun ini juga merupakan bagian dari upaya warga Pujakesuma Simalungun untuk meraih kemenangan bagi Mas Kirman. “Mudah-mudahan upaya ini diridhoi Allah SWT.”
Sementara itu Ketua PPW Pujakesuma Sumut, Joko Susilo, mengingatkan momen Pilgubsu 2013 harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh warga Pujakesuma untuk meningkatkan harga dan martabatnya. “Selama ini kita hanya menjadi daun salam penyedap masakan dan dibuang setelah selesai dipakai. Tapi, pada Pilgubsu 2013 ini kita harus ikut menjadi penentu, dan calon yang wajib kita menangkan adalah Mas Kirman,” tegasnya.
Joko menyebutkan, Mas Kirman adalah putera Jawa asli kelahiran Sumut dan sudah puluhan tahun terlibat aktif di organisasi Pujakesuma. Pilihan Pujakesuma menetapkan Mas Kirman berpasangan dengan Gus Irawan, pun sudah melalui pertimbangan matang.
“Gus Irawan itu orang Batak yang mendapat gelar KRH (Kanjeng Raden Hartowiyono) oleh Kesultanan Solo karena perhatiannya yang cukup besar kepada rakyat kecil, khususnya warga Jawa, saat Gus Irawan menjadi Dirut Bank Sumut.” (*)
“Soekirman Way” dan Politik LSM
Ketika Dr Purwadi dari Yogyakarta menulis sebuah buku berjudul “Bang Kirman” tahun 2011 lalu, orang yang melihat sampulnya menanggapi biasa saja. Itu hanya sebuah sampul buku yang sederhana, sama sederhananya dengan sosok yang dikisahkan dalam buku itu. Disainnya tidak terlalu menarik, dan kalau tujuannya untuk membanggakan sesuatu, maka penampilan buku itu sama sekali tak memenuhi kualifikasi tertentu. Seorang Wakil Bupati Serdang Bedagai kok bikin “buku murah” kek begitu?
Tapi itu baru satu hal. Ketika ditelusuri lagi ke dalam buku, kejanggalan lain pun muncul. Ternyata sebutan “Bang Kirman” di bagian luar sama sekali tidak menggambarkan figur “Abang” di bagian isi. Soekirman justru dilukis sebagai seorang “Mas”, di mana hampir seluruh aspek kehidupan dan perilakunya dipandang oleh penulis dari perspektif Jawa. Para sahabat Soekirman mengistilahkan buku itu sebagai suatu cara “menjawakan” Bang Kirman.
Dalam sebuah kesempatan bedah buku di Kampus USU, terjadilah apa yang disebut secara sarkastik dalam dunia akademik sebagai sebuah “pembantaian besar-besaran”. Tidak kurang dari Prof Ahmad Fadhil Lubis, dr Sofyan Tan, Prof Ningrum, serta sejumlah tokoh akademik dan masyarakat yang hadir, menuduh buku itu tak mengandung kebenaran. Mereka seirama membuat pernyataan: “Soekirman atau Bang Kirman tidak dapat ditarik ke dalam suatu kotak etnik!”
Soekirman terduduk lemas. Dia telah gagal untuk kembali ke suku ibunya sendiri. Orang-orang dekatnya ternyata telah “membangun sebuah rumah tersendiri” untuknya di atas semua perbedaan suku, sebagaimana yang diperlihatkan lewat perilaku dan sejarah kehidupannya selama ini. “Selama ini kita semua sudah mengenal baik Bang Kirman, jadi jangan coba-coba memilikinya sendirian,” demikianlah pesan tersembunyi yang ingin disampaikan para panelis kepada penulis buku itu.
Kiranya, itulah sebuah pesan yang menjadi tanggungan berat Soekirman dalam perjalanan politiknya di masa mendatang. Yaitu, bagaimana caranya memakai blangkon di antara banyak perbedaan?
Untunglah, Dr Purwadi selaku penulis buku itu mengakui dengan tulus bahwa buku itu bukanlah sebuah karya biografi, dan dengan demikian “pembantaian” dapat segera diakhiri. Rupanya Dr Purwadi tidak melepaskan tradisi akademisnya ketika menulis buku “Bang Kirman”. Buku itu cenderung sebagai karya ilmiah yang tidak terlalu ketat.
Ia bermaksud menjelaskan budaya masyarakat Jawa di Sumatera Utara dengan memakai life history method, di mana kisah Soekirman terpilih menjadi cermin atau alat eksplanasi-nya, dan budaya Jawa menjadi pendekatannya. Dengan tujuan itu, Dr Purwadi telah berhasil melakukan pekerjaannya dengan sangat teliti. Dari metode, tentu saja ia benar. Tapi dari pendekatan yang dipilihnya, ia telah mengundang masalah.
***
Soekirman atau yang kelak lebih terkenal dengan sapaan “Bang Kirman” lahir di Desa Tualang, Perbaungan, Serdang Bedagai. Kedua orang tuanya sama-sama putra Jawa kelahiran Sumatera. Bila dirunut ke belakang, sepasang buyutnya dari pihak ayah masing-masing berasal dari Temanggung dan Blora. Secara genealogis, dia memang Jawa tulen.
Tapi pengasuhan lingkungan kemudian menempa Soekirman menuju proses kultural yang berbeda. Pada usia tiga tahun, ia menjadi yatim sepeninggal ayahnya, almarhum Subardi, pada tahun 1958. Soekirman kemudian disekolahkan pakde dan bukde-nya di Desa Pagar Jati, Lubuk Pakam. Di sini, mayoritas penduduknya justru suku Batak. Masa kecilnya pun dihabiskan dengan pergaulan masyarakat Batak Kristen, walaupun ia tetap belajar mengaji, tarawih, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Besar di tengah desa pertanian, Soekirman dipercaya pakde-nya ikut menggembalakan kambing, sapi, menanam, berjualan ke pasar dan sebagainya. Kegiatan itu sebagian besar dia lakukan bersama anak-anak lain. Pada waktu-waktu senggang, mereka bermain di sungai, mancing di telaga, menangkap haruting, belut, dan macam-macam permainan anak petani lainnya.
Pergaulannya dengan anak-anak suku Batak membuat Soekirman menguasai bahasa Batak dengan sempurna. Di rumah ia berbahasa Jawa, di luar ia berbahasa Batak. Bukan hanya penguasaan bahasa, pergaulan dengan para tetangga juga membuatnya mengerti alam pikir Batak, umpasa yang mereka gunakan, dan jenis-jenis acara adat yang sering ia hadiri.
Sejak kecil, Soekirman sudah terbiasa hidup dalam masyarakat yang terbuka dan saling menghargai. Perkembangan ini berlangsung secara konsisten hingga ia kuliah di Pertanian USU secara susah payah. Kesulitan keuangan yang parah karena kerusakan pertanian antara tahun 1975 hingga 1980 menempanya untuk kuat bertahan dalam kondisi paling sulit. Ia tidak pernah membayar uang kost dan selalu berusaha keras menghemat uang makan. Tinggal di kantin, mushalla, numpang di asrama mahasiswa, dan kost di kantor organisasi adalah cara-cara yang ia lakukan.
Dampaknya, pergaulan Soekirman meluas. Kadang-kadang, ia menjaga teman di rumah sakit, aktif berorganisasi, dan ikut berbagai kegiatan, dia lakukan hanya karena motivasi menghemat biaya makan. Tapi tanpa sengaja, keterpaksaan situasi itu justru menempanya untuk belajar kepemimpinan, kesederhanaan, dan kepekaan sosial.
Kenangannya terhadap romantika pertanian dan lingkungan di masa kecil telah mendorongnya melakukan kegiatan-kegiatan tanpa pamrih untuk tujuan swadaya pertanian. Di sela-sela terjun ke tengah-tengah petani, ia mendirikan organisasi Bintarni untuk membuka akses para petani ke berbagai kepentingan mereka baik secara struktural maupun peningkatan kemampuan teknis pertanian. Organisasi ini kelak berubah nama menjadi Bitra Indonesia, yang jaringan kerjanya lebih luas. Atas peran aktifnya itu, Pemerintah mengganjarnya dengan Kalpataru (1986), Pemuda Pelopor Nasional (1990), dan sebuah lembaga internasional yang cukup berpengaruh memasukkannya sebagai Ashoka Fellow (1988) untuk menyediakan jaringan dan dukungan lainnya.
Dalam bidang lingkungan, aktivitas LSM menyeretnya ke berbagai kegiatan berskala nasional. Selain tercatat sebagai presidium Walhi Pusat, aktif di Bina Desa, ia juga mengembangkan prinsip-prinsip dan praktik ekowisata di seluruh Indonesia. Namanya tercatat sebagai konsultan ekowisata di Bali ketika program tersebut baru pertama kali dimulai di Pulau Dewata. Di Sumatera Utara sendiri, ia memprakarsai dan mendirikan wisata lingkungan Sayum Sabah, mengorganisir para sopir plat hitam menjadi pemandu wisata, serta mendirikan PT Bitra Ekowisata yang sayangnya ditutup selepas masa kepengurusannya di Bitra.
Sepanjang aktivitasnya di LSM, Soekirman merasakan betul manfaat pergaulan masa kecilnya ketika membangun komunikasi dengan masyarakat. Ia dengan mudah bisa diterima di tengah masyarakat Batak maupun Jawa sebagai etnik pelaku pertanian terbesar di Sumatera Utara. Dengan masyarakat Melayu yang secara kultural memang sangat terbuka, pun sudah jelas tidak ada masalah. Ketika berhadapan dengan petani Batak, misalnya, mereka sering terpana karena Soekirman dengan fasih “marhata” atau “marhobar” lengkap dengan umpasa-umpasa klasik yang bahkan oleh sebagian orang Batak sendiri sudah terlupakan. Ia pakai komunikasi etnik itu untuk menyampaikan maksudnya.
Meskipun Soekirman tercatat sebagai dosen berstatus pegawai negeri sipil di Fakultas Pertanian USU dan pernah mendapat predikat Dosen Berprestasi pada tahun 1990, tapi ia tetap bukanlah pengajar yang bergairah di ruang-ruang formal kuliah. Soekirman jauh lebih hidup dan menarik sebagai “dosen desa” ketika ia berada di tengah petani di persawahan. Bila di ruangan kelas seorang dosen dianggap sebagai orang yang lebih tahu, maka di desa-desa ia berbicara sebagai orang yang tidak lebih tahu dari petani. Bahwa petani sesungguhnya punya kemampuan untuk maju dengan kekuatannya sendiri. Dan bahwa ia harus belajar dari mereka agar mereka menyadari kekuatannya sendiri. Pekerjaan seorang pemimpin adalah membantu mereka menemukan kembali kekuatan itu. Inilah jiwa dan filosofi pendampingan yang menjadi ruh LSM sejati. Konsep ini kemudian berkembang dengan istilah yang diikuti dengan terminologi “partisipatif”, di mana masyarakatlah sesungguhnya yang menjadi pelaku (subjek) suatu program, bukan pemerintah, akademisi, kelompok pemberdaya, LSM, dan sebagainya.
Banyak akademisi yang kesulitan menggunakan bahasa rakyat setelah pendidikan yang ditempuh sedemikian tinggi. Tapi Soekirman tidak. Statusnya sebagai dosen dan kesempatannya mengenyam berbagai pelatihan dan studi singkat di dalam dan luar negeri tidak membuatnya lupa terhadap kisah sehari-hari masyarakat kecil, menyelami jalan pikiran mereka, dan menghidupkan guyonan mereka untuk menebas jarak status yang sering menimbulkan kegagalan.
Bukan hanya dalam tutur kata, pendekatan Soekirman kepada masyarakat juga sangat total, bahkan meliputi penampilan, perilaku, dan norma. Ia tidak pernah sadar kalau kedudukannya sudah menjadi wakil bupati bila sudah berada di tengah rakyatnya. Salah seorang sahabatnya, dr Sofyan Tan, sampai-sampai menjulukinya sebagai seorang “elit bersandal jepit”. (*)