32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Untung Tiba-tiba Ingat Petrofish

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Saya hampir saja malu di Campurdarat: tidak bisa menjawab pertanyaan bagaimana mengatasi kesulitan seluruh petani ikan di seluruh Tulungagung. Terutama akibat kenaikan harga pakan setelah terjadinya kenaikan kurs dolar.

Pagi itu sebenarnya tidak ada jadwal ke Kantor Kecamatan Campurdarat. Tapi karena ada sedikit waktu luang, saya minta dimampirkan. Sekalian ingin ganti celana. Pagi itu saya memang masih mengenakan celana sawah setelah acara tanam padi sistem baru Jajar Legowo yang lagi digalakkan dalam program “yarnen”-nya BUMN.

Dari ruang kerja Pak Camat, sambil ganti celana, saya mendengar riuhnya kelas di ruang sebelah.

“Suara apa itu?” tanya saya.

“Suara peserta pelatihan PNPM petani ikan,” jawab Pak Camat.

Saya pun mencoba melongok ruang rapat yang penuh petani ikan se-Kecamatan Campurdarat. Mayoritas perempuan. Ibu-ibu muda. Rupanya mengenal saya. Teriakan dan tepuk tangan mendaulat saya untuk menjadi penceramah dadakan.

“Oke. Tapi, saya tidak akan ceramah,” kata saya. “Pidato sudah tidak penting lagi,” kata saya lagi.

Lalu, saya minta peserta saja yang bicara: ada persoalan apa.

Ternyata saya tidak siap dengan persoalan dadakan yang mereka ajukan. Seorang ibu bicara soal harga pakan yang naik drastis. Peserta yang lain serentak mendukung ibu muda itu. Saya hanya bisa tertegun. Ini lele masuk bubu, kata saya dalam hati. Siapa suruh melongok ruang ini.

Saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya tidak biasa menjawab pertanyaan dengan bla-bla-bla. Saya sudah terbiasa mengucapkan sesuatu yang harus bisa dikerjakan. Harus bisa dibuatkan road map bagaimana melaksanakannya.

Saya tidak bisa mengucapkan kata-kata yang kelihatannya menyenangkan, tapi tidak bisa dilaksanakan.

Saya juga sudah terbiasa untuk mengatakan “tidak tahu” untuk pertanyaan yang saya memang tidak tahu jawabannya. Saya tidak malu.

Pagi itu pun saya mengatakan “saya benar-benar tidak tahu” bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Akal sehat saya mengatakan, sepanjang pakan itu masih impor ya harganya pasti naik.

Maka, saya lemparkan kembali persoalan itu kepada floor. Siapa tahu ada peserta yang cerdik dan mau membagi kiat. Di situ juga ada pejabat daerah yang lagi memberikan ceramah.

Tapi, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jalan keluar. Saya pancing dengan hadiah uang pun ide itu tidak keluar. Seorang polisi yang di rumahnya juga beternak gurami malah menceritakan parahnya keadaan.

Dia punya lima kolam ikan masing-masing 7 x 7 meter persegi. Kolam itu dibuat di atas tanah dengan menggunakan batu bata. Di seluruh Tulungagung bertani ikan memang sudah menjadi andalan sumber kehidupan. Penghasil ikan budi daya terbesar di Jatim. Ikannya banyak dikirim ke Jakarta.

“Yang bisa dilakukan sekarang ini hanya memberi pakan dari kangkung, Pak,” kata polisi itu kepada saya. “Tapi, itu sekadar membuat ikan bertahan hidup. Tidak bisa membesarkan,” tambahnya.

Saya menyerah. Sambil menahan rasa malu saya hanya mengatakan: saya akan sampaikan persoalan ini kepada yang berwenang. Saya pun pamit meninggalkan kelas. Saya tahu mereka tidak bahagia.

Mereka adalah penerima dana PNPM pemerintah untuk mendorong rakyat agar mau mulai berusaha kecil-kecilan. Program tersebut sebenarnya sukses. Tapi, khusus di bidang usaha ikan kini menghadapi masalah harga pakan. Tentu persoalan tersebut tidak hanya terjadi di Campurdarat, tapi juga di seluruh Indonesia. Ini sangat serius.

Sambil berjalan meninggalkan ruangan saya terus merenung: jadi pengusaha memang tidak semudah jadi politisi. Persoalan demi persoalan harus dihadapi. Pengusaha besar harus menghadapi persoalan besar. Dan pengusaha kecil harus menghadapi persoalan besar juga.

Saya terus merenung, menenangkan diri: tentu persoalan seperti harga pakan itu pada saatnya akan hilang dengan sendirinya. Yakni, setelah pelan-pelan harga jual ikan bisa disesuaikan, eh, bisa dinaikkan. Ini yang disebut keseimbangan baru.

Tapi, ada satu periode tertentu untuk menuju keseimbangan baru itu. Ada kurun waktu yang harus dilewati. Ada satu masa yang sangat sakit untuk sampai ke sana. Seperti saat ini. Harga pakan sudah naik, harga ikan belum bisa dinaikkan.

Di sinilah terjadi seleksi alam. Siapa yang tangguh akan tegak dan siapa yang mudah menyerah akan terkulai.

Kenaikan harga pakan (dan harga apa pun) bukan baru kali ini terjadi. Tapi, seorang pengusaha harus selalu survive dalam setiap gejolak itu. Buktinya, kenaikan apa saja sudah begitu sering terjadi. Tapi, jumlah pengusaha terus bertambah.

Di tengah-tengah renungan itu tiba-tiba saya ingat sesuatu: bukankah dulu saya sudah minta PT Petrokimia Gresik, anak perusahaan BUMN Pupuk Indonesia Holding, memproduksi pakan ternak dan pakan ikan” Bukankah sudah berhasil” Bukankah saya sudah melihat hasilnya” Mengapa saya lupa?
Maka, meskipun saya sudah sampai di halaman kantor kecamatan itu, saya mendadak balik kanan: bergegas menuju ruangan yang penuh ibu-ibu muda tadi. Banyak yang kaget dikira ada barang saya yang ketinggalan. Pejabat daerah sedang meneruskan ceramahnya ketika saya tiba kembali di ruangan itu.

Saya minta waktu bicara. Ceramah dihentikan.

“Ibu-ibu,”  kata saya agak bergegas, “Ada jalan keluar!”

Serentak mereka bersorak.

“Saya lupa, BUMN sudah memproduksi pakan ikan. Namanya, Petrofish,” kata saya. Yang untuk sapi namanya: Petrobeef.

Lantas, saya ceritakan kunjungan saya ke desa-desa di Jember dua tahun lalu. Waktu itu para petani tembakau curhat harga pupuk yang mahal. Maklum, pupuk impor dari Eropa. Indonesia belum bisa bikin pupuk khusus untuk tembakau. Maka, saya minta Petrokimia Gresik memproduksinya.

Berhasil. Kini petani tembakau Jember sudah menggunakan produk dalam negeri yang khasiatnya sama.

Waktu itu Petrokimia juga sekalian bikin pupuk untuk kebun sawit, pestisida, serta makanan ternak dan ikan. Tapi, marketing-nya masih kalah dengan makanan ikan impor.

Petani ikan di Tulungagung tahunya pakan impor “yang itu”. Belum tahu Petrofish. Maklum, marketing “yang itu” amat agresif.

Saya langsung minta Dirut Petrokimia Gresik Hidayat Nyakman menugaskan manajer Petrofish terjun ke Tulungagung. Marketing Petrofish tidak boleh kalah agresif.

Hari itu juga manajer Petrofish datang ke acara ibu-ibu itu. Semua dijelaskan dengan baik.

Untung ada Petrofish! Saya tidak jadi malu. Petani ikan pun dapat pakan yang lebih murah dengan mutu yang tidak kalah dengan “yang itu”. (ndi)

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Saya hampir saja malu di Campurdarat: tidak bisa menjawab pertanyaan bagaimana mengatasi kesulitan seluruh petani ikan di seluruh Tulungagung. Terutama akibat kenaikan harga pakan setelah terjadinya kenaikan kurs dolar.

Pagi itu sebenarnya tidak ada jadwal ke Kantor Kecamatan Campurdarat. Tapi karena ada sedikit waktu luang, saya minta dimampirkan. Sekalian ingin ganti celana. Pagi itu saya memang masih mengenakan celana sawah setelah acara tanam padi sistem baru Jajar Legowo yang lagi digalakkan dalam program “yarnen”-nya BUMN.

Dari ruang kerja Pak Camat, sambil ganti celana, saya mendengar riuhnya kelas di ruang sebelah.

“Suara apa itu?” tanya saya.

“Suara peserta pelatihan PNPM petani ikan,” jawab Pak Camat.

Saya pun mencoba melongok ruang rapat yang penuh petani ikan se-Kecamatan Campurdarat. Mayoritas perempuan. Ibu-ibu muda. Rupanya mengenal saya. Teriakan dan tepuk tangan mendaulat saya untuk menjadi penceramah dadakan.

“Oke. Tapi, saya tidak akan ceramah,” kata saya. “Pidato sudah tidak penting lagi,” kata saya lagi.

Lalu, saya minta peserta saja yang bicara: ada persoalan apa.

Ternyata saya tidak siap dengan persoalan dadakan yang mereka ajukan. Seorang ibu bicara soal harga pakan yang naik drastis. Peserta yang lain serentak mendukung ibu muda itu. Saya hanya bisa tertegun. Ini lele masuk bubu, kata saya dalam hati. Siapa suruh melongok ruang ini.

Saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya tidak biasa menjawab pertanyaan dengan bla-bla-bla. Saya sudah terbiasa mengucapkan sesuatu yang harus bisa dikerjakan. Harus bisa dibuatkan road map bagaimana melaksanakannya.

Saya tidak bisa mengucapkan kata-kata yang kelihatannya menyenangkan, tapi tidak bisa dilaksanakan.

Saya juga sudah terbiasa untuk mengatakan “tidak tahu” untuk pertanyaan yang saya memang tidak tahu jawabannya. Saya tidak malu.

Pagi itu pun saya mengatakan “saya benar-benar tidak tahu” bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Akal sehat saya mengatakan, sepanjang pakan itu masih impor ya harganya pasti naik.

Maka, saya lemparkan kembali persoalan itu kepada floor. Siapa tahu ada peserta yang cerdik dan mau membagi kiat. Di situ juga ada pejabat daerah yang lagi memberikan ceramah.

Tapi, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jalan keluar. Saya pancing dengan hadiah uang pun ide itu tidak keluar. Seorang polisi yang di rumahnya juga beternak gurami malah menceritakan parahnya keadaan.

Dia punya lima kolam ikan masing-masing 7 x 7 meter persegi. Kolam itu dibuat di atas tanah dengan menggunakan batu bata. Di seluruh Tulungagung bertani ikan memang sudah menjadi andalan sumber kehidupan. Penghasil ikan budi daya terbesar di Jatim. Ikannya banyak dikirim ke Jakarta.

“Yang bisa dilakukan sekarang ini hanya memberi pakan dari kangkung, Pak,” kata polisi itu kepada saya. “Tapi, itu sekadar membuat ikan bertahan hidup. Tidak bisa membesarkan,” tambahnya.

Saya menyerah. Sambil menahan rasa malu saya hanya mengatakan: saya akan sampaikan persoalan ini kepada yang berwenang. Saya pun pamit meninggalkan kelas. Saya tahu mereka tidak bahagia.

Mereka adalah penerima dana PNPM pemerintah untuk mendorong rakyat agar mau mulai berusaha kecil-kecilan. Program tersebut sebenarnya sukses. Tapi, khusus di bidang usaha ikan kini menghadapi masalah harga pakan. Tentu persoalan tersebut tidak hanya terjadi di Campurdarat, tapi juga di seluruh Indonesia. Ini sangat serius.

Sambil berjalan meninggalkan ruangan saya terus merenung: jadi pengusaha memang tidak semudah jadi politisi. Persoalan demi persoalan harus dihadapi. Pengusaha besar harus menghadapi persoalan besar. Dan pengusaha kecil harus menghadapi persoalan besar juga.

Saya terus merenung, menenangkan diri: tentu persoalan seperti harga pakan itu pada saatnya akan hilang dengan sendirinya. Yakni, setelah pelan-pelan harga jual ikan bisa disesuaikan, eh, bisa dinaikkan. Ini yang disebut keseimbangan baru.

Tapi, ada satu periode tertentu untuk menuju keseimbangan baru itu. Ada kurun waktu yang harus dilewati. Ada satu masa yang sangat sakit untuk sampai ke sana. Seperti saat ini. Harga pakan sudah naik, harga ikan belum bisa dinaikkan.

Di sinilah terjadi seleksi alam. Siapa yang tangguh akan tegak dan siapa yang mudah menyerah akan terkulai.

Kenaikan harga pakan (dan harga apa pun) bukan baru kali ini terjadi. Tapi, seorang pengusaha harus selalu survive dalam setiap gejolak itu. Buktinya, kenaikan apa saja sudah begitu sering terjadi. Tapi, jumlah pengusaha terus bertambah.

Di tengah-tengah renungan itu tiba-tiba saya ingat sesuatu: bukankah dulu saya sudah minta PT Petrokimia Gresik, anak perusahaan BUMN Pupuk Indonesia Holding, memproduksi pakan ternak dan pakan ikan” Bukankah sudah berhasil” Bukankah saya sudah melihat hasilnya” Mengapa saya lupa?
Maka, meskipun saya sudah sampai di halaman kantor kecamatan itu, saya mendadak balik kanan: bergegas menuju ruangan yang penuh ibu-ibu muda tadi. Banyak yang kaget dikira ada barang saya yang ketinggalan. Pejabat daerah sedang meneruskan ceramahnya ketika saya tiba kembali di ruangan itu.

Saya minta waktu bicara. Ceramah dihentikan.

“Ibu-ibu,”  kata saya agak bergegas, “Ada jalan keluar!”

Serentak mereka bersorak.

“Saya lupa, BUMN sudah memproduksi pakan ikan. Namanya, Petrofish,” kata saya. Yang untuk sapi namanya: Petrobeef.

Lantas, saya ceritakan kunjungan saya ke desa-desa di Jember dua tahun lalu. Waktu itu para petani tembakau curhat harga pupuk yang mahal. Maklum, pupuk impor dari Eropa. Indonesia belum bisa bikin pupuk khusus untuk tembakau. Maka, saya minta Petrokimia Gresik memproduksinya.

Berhasil. Kini petani tembakau Jember sudah menggunakan produk dalam negeri yang khasiatnya sama.

Waktu itu Petrokimia juga sekalian bikin pupuk untuk kebun sawit, pestisida, serta makanan ternak dan ikan. Tapi, marketing-nya masih kalah dengan makanan ikan impor.

Petani ikan di Tulungagung tahunya pakan impor “yang itu”. Belum tahu Petrofish. Maklum, marketing “yang itu” amat agresif.

Saya langsung minta Dirut Petrokimia Gresik Hidayat Nyakman menugaskan manajer Petrofish terjun ke Tulungagung. Marketing Petrofish tidak boleh kalah agresif.

Hari itu juga manajer Petrofish datang ke acara ibu-ibu itu. Semua dijelaskan dengan baik.

Untung ada Petrofish! Saya tidak jadi malu. Petani ikan pun dapat pakan yang lebih murah dengan mutu yang tidak kalah dengan “yang itu”. (ndi)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/