“Lapor Pak, hari ini tadi panen pertama.”
“Lho, kok cepat?” jawab saya.
“Kan sudah 102 hari,” jawab Dirut PT Sang Hyang Seri (Persero) Dr Upik Rosalina Wasrin.
“Kok saya tidak diundang?” tanya saya lagi.
“Kan baru coba-coba. Tidak sampai lima hektare,” jawab Upik lagi.
“Biarpun hanya lima hektare, kan bersejarah,” kata saya.
“Sebentar lagi kan panen yang lebih luas,” jawab alumnus IPB dan Universitas Paul Sabatier, Toulouse, Prancis, itu.
“Hasilnya berapa ton per hektare?” tanya saya lagi.
“5,25 ton, Pak,” jawabnya.
Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen.
Panen pertama ini adalah hasil penanaman yang dilakukan ramai-ramai oleh para direksi BUMN yang secara bersama-sama bertekad all-out membantu peningkatan produksi beras nasional. Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100.000 ha.
Banyak sekali suka-duka menciptakan sawah baru di Ketapang ini. Sejak awal, berbagai kesulitan itu memang sudah dibayangkan. Bahkan, Dirut PT SHS saat itu, Kaharuddin, menyatakan produksi pertama sawah baru itu nanti maksimal hanya 4 ton. Memang begitulah teorinya. Maka, ketika hasil panen pertama itu mencapai 5,25 ton, sawah baru ini memberikan hope yang baik.
Panen pertama itu pun dilakukan lima hari lebih cepat daripada seharusnya. Ada gelagat hama ulat grayak akan menyerang. Daripada dipanen ulat, pimpinan SHS di Ketapang, Kusmiyanto, memutuskan segera memanennya. “Waktu itu berminggu-minggu tidak ada hujan. Sawah mengering. Sungai di dekat situ lagi surut. Maka, muncullah ulat grayak,” ujar Kusmiyanto.
Munculnya hama ulat grayak memang sudah diperkirakan. Lahan yang selama ini dibiarkan tidak ditanami pasti dihuni berbagai renik beserta telurnya. Ketika dibuat sawah, pada dasarnya telur-telur itu masih ada di situ. Hanya, tidak bisa menetas karena tergenang air.
“Begitu berhari-hari tidak ada air, menetaslah,” ujar Kusmiyanto yang alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang itu.
Pengalaman baru yang terbesar dari “universitas sawah baru” ini adalah dalam menata air. Bulan pertama pembukaan sawah baru seperti tidak ada persoalan. Pembukaan lahannya, pengolahan tanahnya, penanamannya, lancar-lancar saja. Maklum, waktu itu musim hujan.
Begitu tidak ada lagi hujan, ketahuanlah berbagai macam kekurangannya. Tata air untuk perencanaan 500 ha tentu beda dengan untuk perencanaan ribuan hektare. Di sinilah diskusi, solusi, dan action terus dilakukan.
Dari pengalaman bulan pertama dan kedua itulah penyempurnaan dilakukan. Hasilnya terlihat dari kian cepatnya pertambahan pencetakan sawah baru. Bulan pertama, satu hari rata-rata hanya bisa mencetak 7 ha sawah baru. Sekarang pencetakan dengan alat-alat modern itu sudah bisa 15 ha per hari. Tiga bulan lagi direncanakan bisa 50 ha per hari.
Kian lama kian banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya sudah minta kepada Kusmiyanto untuk mendokumentasikan semua persoalan yang muncul, jalannya diskusi, dan penyelesaian masalah yang diambil. Semua itu akan menjadi dokumen penting untuk program pencetakan sawah baru di masa depan.
Penerapan berbagai teknologi pun dicoba di Ketapang. Berbagai jenis benih ditanam, diamati, dan dilihat perkembangannya. Demikian juga berbagai macam pupuk. Termasuk pupuk dan benih dari PT Batantekno (Persero) hasil kerja sama dengan Batan dan BPPT. Benih padi Si Genuk yang diradiasi nuklir juga segera dicoba seluas 10 ha di Ketapang. Digabung dengan pupuk cair hasil kerja sama mereka.
Si Genuk sudah dicoba di lahan SHS di Sukamandi, Jawa Barat, dan siap panen minggu ini. Di sini nama benih itu bermutasi menjadi Si Denok. Lahannya bersebelahan dengan lahan benih Ciherang. Secara kasat mata sudah terlihat beda.
Saya melihat perbedaan itu saat meninjaunya. Waktu itu, padinya mulai agak menguning. “Yang Si Denok terlihat menggarehal,” ujar seorang staf PT SHS yang hanya bisa menggambarkannya dalam istilah Sunda.
Sawah baru di Ketapang itu direncanakan ditanami padi dua kali setahun. Setelah panen pertama itu, sawah tersebut akan ditanami padi lagi, tapi jenis gogo. Ini mengantisipasi kesulitan air di musim kemarau. Toh, hasilnya juga tidak banyak berbeda. Setelah gogo, barulah lahan akan ditanami jagung.
Sebenarnya, saya minta ditanami kedelai, sekalian untuk ikut mengatasi kekurangan kedelai, tapi tidak ada yang cukup pede melakukannya. Saya mengalah. Saya tahu kedelai memang jenis tanaman untuk iklim subtropis. Perlu persiapan khusus untuk ditanam di Ketapang.
Fokus pemikiran tim Ketapang saat ini masih bagaimana mencetak sawah baru yang sekalian harus bisa memecahkan segala hambatannya.
Sawah baru ini, kalau berhasil, akan memaksa PT SHS untuk berubah total. Sudah bertahun-tahun BUMN ini tidak memiliki landasan bisnis yang kuat. Bisnis utamanya menyediakan benih, tetapi kemampuan menyediakan benih sendiri tidak sampai 5 persen dari kebutuhan benih nasional.
Akibatnya, SHS harus bekerja sama dengan begitu banyak penangkar benih. Dengan segala permainannya. SHS tidak memiliki margin yang cukup untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi tulang punggung penyedia benih unggul nasional. Bahkan, SHS terlibat pola gali lubang-tutup lubang yang lama-lama lebih dalam lubangnya daripada tutupnya.
Kini begitu banyak BUMN yang mendukung SHS menyukseskan pencetakan sawah baru itu. Bukan saja untuk kecukupan pangan nasional, tapi juga untuk masa depan SHS sendiri yang harus kukuh.
PT Pertani (Persero), BUMN bidang pertanian lainnya, juga tidak lebih kuat daripada SHS. Landasan bisnisnya juga rapuh. Gali lubang-tutup lubang, tumpang tindih pula.
Tahun ini PT Pertani baru mulai memiliki dasar bisnis yang nyata: spesialis di bidang pascapanen. Tidak akan tumpang-tindih dengan PT SHS dan Perum Bulog. Bahkan, ketiganya akan bisa bersinergi untuk secara tuntas membantu persoalan petani di segala lini.
Di hulu, BUMN membantu produksi beras melalui program “yarnen”, bayar kalau sudah panen. Petani yang tidak memiliki kemampuan mengadakan benih unggul dan pupuk dibantu BUMN. Agar hasil panennya lebih besar. Bantuan itu dikembalikan saat panen. Tahun ini program yarnen, bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pertanian Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN, harus mencapai 2,6 juta hektare.
Di hilir, ada Bulog yang menampung seberapa besar pun hasil panen. Tahun lalu Bulog sudah membuktikan diri mampu mencapai prestasi terbaiknya. Tahun ini Dirut Bulog Soetarto Alimuso bertekad untuk lebih baik lagi.
Hulu-hilirnya sudah mulai bergerak. Tapi, tengah-tengahnya masih bolong. Penanganan gabahnnya masih belum mendapat perhatian. Bagaimana petani harus merontokkan gabah, mengeringkan, dan menggilingnya, masih belum ada BUMN yang menerjuninya.
PT Pertani lah yang akan menjadi spesialis di tengah-tengah ini. Caranya: mengadakan mesin-mesin pengering gabah. Syaratnya: mesin itu tidak boleh menggunakan bahan bakar minyak. Tahun ini PT Pertani membangun 100 pabrik pengering dengan bahan bakar sekam padi.
Selama ini, memang sudah banyak mesin pengering gabah di Bulog, tapi semuanya menggunakan solar. Mahalnya bukan main. Akhirnya tragis: nganggur semua! (*)