Dua lagi perusahaan BUMN yang tahun ini melejit melampaui batas negara: PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Batan Teknologi (Persero).
Garuda, secara mengejutkan, saat ini sudah lebih besar daripada Malaysia Airlines (MAS) dan Thai Airways, Thailand. Bahkan, sudah lebih besar daripada Air France! Value Garuda kini mencapai Rp18 triliun. Sudah sekitar Rp1 triliun lebih besar daripada MAS dan Thai. Dengan demikian, untuk Asia Tenggara kini Garuda tinggal kalah dari Singapore Airlines.
Memang tidak ada alasan bagi Indonesia untuk serba kalah dari sesama negara ASEAN. Di antara 10 negara Asia Tenggara, kekuatan ekonomi Indonesia sudah mencapai 51 persen sendiri. Baru yang 49 persen dibagi sembilan negara lainnya.
Di bawah direksi Garuda yang sekarang dengan Dirut Emirsyah Satar, prestasi itu akan terus bisa dipacu. Inilah direksi yang dari segi umur relatif masih muda-muda. Inilah direksi yang berada di puncak antusias dan gairahnya. Iklim seperti itu secara otomatis akan menjalar dan mewabah ke jajaran di bawah dan di bawahnya lagi.
Ekonomi Indonesia yang terus membaik memang bisa menjadi ladang subur bagi Garuda. Penambahan pesawat yang terus dilakukan, termasuk yang kelas 100 tempat duduk, akan membuat Garuda terbang kian tinggi.
Langkah terbarunya untuk bisa dipercaya Kanada sebagai pusat perawatan pesawat Bombardier se-Asia Pasifik memberikan hope yang lebih besar lagi. Dengan demikian, GMF AeroAsia, salah satu anak perusahaan Garuda, akan menjadi perusahaan kelas dunia juga. Ini karena pembuat mesin pesawat terkemuka di dunia lainnya, GE dari USA, juga sudah memercayakan perawatan mesin GE ke GMF AeroAsia.
Seperti tidak kalah dengan prestasi Garuda dan enam BUMN kelas dunia lainnya (BRI, Bank Mandiri, Telkom, BNI, PGN, dan Semen Gresik) kini muncul si cabe rawit: PT Batan Teknologi.
Tahun ini di bawah Dirut baru Dr Ir Yudiutomo Imardjoko, BatanTek tidak hanya bisa bangkit dari kuburnya. Bahkan, begitu bangkit langsung bisa berlari dengan kencangnya. Larinya pun ke mana-mana, termasuk ke puluhan negara Asia.
Padahal, pada 2010 lalu BatanTek sudah dicabut nyawanya. Ini gara-gara ada larangan internasional untuk melakukan pengayaan uranium tingkat tinggi. Ini dikhawatirkan bisa disalahgunakan menjadi senjata nuklir. Sejak itu PT BatanTek berhenti memproduksi radioisotop. Tim BatanTek sudah berusaha mengubah proses pengayaan uranium menjadi tingkat rendah, tapi tidak mampu. Bahkan, BatanTek sudah mendatangkan ahli dari USA untuk menularkan pengetahuan proses uranium tingkat rendah. Tapi, ini juga gagal.
Akibatnya, rumah-rumah sakit yang selama ini menggunakan radioisotop dari BatanTek memilih membeli dari sumber lain. Semua pelanggan marah dan memutuskan hubungan. BatanTek praktis mati.
Untunglah Dr Yudiutomo datang dan menjadi Dirut baru. Anak Maospati, Magetan, lulusan Fakultas Teknik Nuklir UGM ini memang bukan sembarang orang. Dia meraih gelar doktor di bidang nuklir di Iowa State University, USA.
Dr Yudiutomo mengajak ahli nuklir sealmamater di UGM, Dr Ing Kusnanto, untuk menjadi direktur produksi. Dr Kusnanto meraih gelar doktor nuklir dari Aachen, Jerman.
Karena PT BatanTek masih dalam keadaan sulit, sejak awal dua ahli nuklir ini memilih menghemat: menyewa satu rumah untuk dihuni berdua. Keluarga ditinggal di Jogja.
Dua orang inilah yang tidak henti-hentinya berpikir agar BatanTek bisa melakukan pengayaan uranium tingkat rendah. Siang malam dua ahli ini terus berdiskusi. Keputusan untuk tinggal satu rumah membuat diskusi mereka berlanjut setelah jam kantor sekalipun. Di rumah kontrakan itulah mereka bisa berdiskusi sampai pukul dua dini hari.
Hasilnya luar biasa: mereka menemukan cara baru mengayakan uranium tingkat rendah. Bukan cara yang sudah dikenal di dunia sekarang ini, tapi cara baru yang untuk mudahnya saya beri saja nama “Formula YK” (Yudiutomo Kusnanto). Formula YK ini menggunakan prinsip electro plating. Menggantikan cara lama sistem foil target. Prinsipnya, sebelum dimasukkan ke reaktor nuklir, uranium di-plating dengan rumus tertentu. Cara ini, meski kelak diketahui ahli lain pun, akan sulit ditiru. Rumus angka-angkanya tidak akan diungkap.
Masalahnya: dari mana perusahaan dapat tambahan modal” Reaktor nuklirnya sih bisa tetap menggunakan reaktor milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang di Serpong itu. Tapi, banyak peralatan PT BatanTek yang harus diperbarui atau diperbaiki.
“Perlu berapa?” tanya saya saat rapat dengan dua ahli nuklir itu di Serpong.
“Cukup besar, Pak. Rp85 miliar,” jawab Dr Yudiutomo.
Saya carikan!”
Saya pun menghubungi Bank Rakyat Indonesia. Saya memang sangat kagum dan terharu melihat kegeniusan dua ahli ini. Saya bisa merasakan getaran semangatnya yang meluap. Saya juga melihat kilatan matanya yang menyiratkan keinginan untuk maju. Inilah ilmuwan yang memiliki kemampuan manajerial yang andal. Intelektual sekaligus entrepreneur!
Dengan penemuan baru Formula YK ini Indonesia berhasil menjadi satu-satunya negara di Asia yang mampu memproduksi radioisotop. Kini seluruh negara Asia datang ke BatanTek untuk membeli radioisotop!
Radioisotop adalah bahan yang sangat penting untuk pemeriksaan kesehatan di rumah sakit. Radioisotop adalah bahan yang tidak bisa dipisahkan dengan kedokteran nuklir. Dengan radioisotop organ-organ di dalam badan bisa dilihat secara berwarna dan tiga dimensi.
Ini sudah berbeda dengan radiologi yang hanya bisa hitam putih dan dua dimensi.
Maka, pemeriksaan melalui MRI, CT, gamma camera, serta operasi yang menggunakan pisau gama mutlak memerlukan radioisotop. Jepang pun tidak memproduksinya sehingga pasar radioisotop kita amat besar. Apalagi Tiongkok.
Waktu saya mendampingi Presiden SBY makan siang dengan Presiden Hu Jintao di Beijing yang lalu, saya pun promosi radioisotopnya BatanTek. Kebetulan saya berada di sebelah menteri perdagangan Tiongkok. Selama makan siang itu saya terus minta agar Tiongkok membeli radioisotop kita.
Dengan kemampuan Dr Yudiutomo dan timnya menembus pasar Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan negara-negara Asia lain, masa depan PT Batan Teknologi amat cerah. Tahun ini omzetnya langsung bisa mencapai Rp 200 miliar. Tidak mustahil bakal bisa mencapai Rp1 triliun dan kemudian Rp3 triliun di kemudian hari.
Amerika dan Australia, meski mampu membuat radioisotop, bukan pesaing kita. Umur radioisotop ini hanya 60 jam. Setelah itu daya radiasinya habis. Untuk kebutuhan Tiongkok 10 curie, misalnya, Tiongkok harus membeli 60 curie. Yang 50 curie hilang di jalan. Karena itu, pengirimannya harus dengan pesawat. Harus dihitung waktu pengirimannya sejak dari Serpong ke bandara dan seterusnya.
Saya tentu ingin dua ahli kita ini tidak berhenti di radioisotop. Keduanya juga optimistis pengetahuannya akan sangat berguna untuk pertanian dan pengeboran minyak.
Tapi, biarlah BatanTek maju dulu. Jadi raja Asia dulu. Dua tahun lagi kita bicara nuklir untuk mengamankan pangan kita. (*)