29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hamil Tua untuk Lahirnya Putra Petir

Oleh: Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Dukungan untuk lahirnya Putra Petir terus mengalir. Sampai-sampai saya tidak mampu membalas satu per satu e-mail yang masuk. Tanggapan tidak hanya datang dari seluruh Indonesia, tapi juga dari mancanegara. Putra-putra petir yang sekarang bekerja di luar negeri terlihat lebih antusias. Seorang doktor kita yang sejak S-1 sudah belajar di Jepang menulis bahwa kelahiran Putra Petir merupakan sebuah keharusan. E-mail juga datang dari ahli-ahli ITS Surabaya, ITB Bandung, UGM Jogjakarta, USU Medan, dan banyak lagi.

Dari luar kampus mengirimkan e-mail yang juga sangat konkret. Seorang ahli yang sekarang menekuni microturbine (turbin dan generatornya berada dalam satu kemasan kompak yang sistemnya sudah bisa menyerap panas mesin itu sendiri menjadi energi listrik tambahan) langsung melangkah. Dia akan membeli mobil Kijang untuk diganti mesinnya dengan mesin mobil listrik. Dalam dua bulan, sudah akan jadi mobil listrik yang bisa saya pakai ke kantor sehari-hari.

Saya sampaikan kepadanya, jangan menggunakan merek mobil yang sudah ada. Kita belum minta izin kepada pemilik merek tersebut. Belum tentu kita boleh menggunakannya. Kalau sampai kita digugat, energi kita habis untuk itu. Kita akan kelelahan. Kita akan susah. Kelahiran Putra Petir bisa gagal.
Lebih baik kita ciptakan sendiri bodi mobil listrik nasional itu. Mungkin memerlukan waktu beberapa bulan, tapi lebih nasional. Atau kita minta izin saja ke Mendikbud Bapak Mohammad Nuh untuk bisa menggunakan bodi mobil Esemka. Desain mobil Esemka yang terbaru, yang sudah disempurnakan di sana-sini (seperti yang saya lihat di pameran mobil Esemka di Universitas Muhammadiyah Solo bulan lalu), sudah sangat keren.

Atau kita pakai bodi mobil nasional (mobnas) Timor yang sudah tidak diproduksi lagi itu. Mobnas Timor cukup bagus dan enak dikendarai. Masyarakat juga sudah bisa menerima Timor. Masih ada ribuan Timor yang saat ini berlalu lalang di jalan-jalan. Penampilannya yang baik bisa kita manfaatkan sebesar-besarnya. Hanya, saya masih belum tahu bagaimana prosedur perizinannya saat ini. Apakah masih harus minta izin ke Mas Tommy Soeharto atau cukup ke pemerintah, mengingat mobil Timor pernah disita BPPN pascakrisis berat 1998.

Intinya, untuk melawan kenaikan harga BBM yang pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terus terjadi itu, tidak ada jalan terbaik, kecuali kita musuhi BBM itu sendiri. Kita jadikan BBM musuh kita bersama. Kita demo BBM-nya ramai-ramai, bukan kita demo kenaikannya. Kalau setiap kenaikan BBM kita demo, kita hanya akan terampil dalam berdemo. Tapi, kalau BBM-nya sendiri yang kita musuhi, kita akan lebih kreatif mencari jalan keluar untuk bangsa ini ke depan.

Jalan terbaik adalah jangan lagi kita gunakan BBM. Kalau kita sudah tidak menggunakan BBM, apa peduli kita dengan barang yang juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan itu. Kelak kita bersikap begini: Biarkan ia naik terus menggantung sampai setinggi Monas! Kalau kita tidak lagi menggunakannya, mau apa ia!

Tanpa ada gerakan yang nyata untuk melawan BBM, seumur hidup kita akan ngeri seperti sekarang. Seumur hidup kita harus siap-siap untuk melakukan demo. Seumur hidup kita tidak berubah!

Kalau kita sudah tahu bahwa seumur hidup kita akan terjerat BBM seperti itu, mengapa kita tidak mencari jalan lain? Mengapa kita menyerah begitu saja pada keadaan? “Mengapa? Mengapa?” kata Koes Plus. Anggaplah kita tidak takut kepada Koes Plus. Tidakkah kita harus takut kepada yang menciptakan alam semesta ini “Berapa kali Allah mengatakan ‘Afalaa ta’qiluuun’.

Kita pernah menjawab pertanyaan ‘mengapa’ itu beberapa tahun lalu. Saat program konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan main sulit dan beratnya meyakinkan masyarakat untuk pindah dari minyak tanah ke elpiji. Bukan main bisingnya demo dan penentangan terhadap konversi saat itu. Bukan main kecaman yang dilontarkan, sampai-sampai program itu dianggap menyengsarakan rakyat kecil.

Meski awalnya ditentang begitu hebat, didemo begitu seru, dan dimaki-maki setengah mati, toh akhirnya “Purwodadi kuthane, sing dadi nyatane!? Kenyataannya berhasil!” Sekian tahun kemudian, diakui konversi minyak tanah ke elpiji tersebut sebagai success story yang besar! Kalau saja tidak ada konversi itu, alangkah beratnya saat ini! Harga minyak tanah pun akan ikut naik. Yang terkena tidak lagi para pemilik mobil dan motor, juga ibu-ibu di dapur! Sekarang, naikkanlah harga minyak tanah! Ibu-ibu tidak peduli! Maka, untuk mengenang kesuksesan konversi itu, seharusnya kini kita teriakkan: Hidup Putra Petir! Eh, salah: Hidup SBY-JK!

Yang diperlukan adalah tekad besar untuk mengatasi persoalan besar. Dengan membanjirnya dukungan pada program mobil-motor nasional listrik BUMN, rasanya tekad itu sudah sangat besar. Situasinya sudah seperti seorang ibu yang hamil tua. Harus segera dilahirkan! Kalau tidak, akibatnya tanya sendiri kepada ibu-ibu yang sekarang lagi hamil tua. Atau kepada ibu-ibu yang pernah hamil tua! Jangan tanyakan kepada bapak-bapak yang seperti hamil tua! Terutama yang hamilnya karena sudah kekenyangan menikmati bisnis BBM atau bisnis kendaraan BBM!

Tantangan terbesar untuk mewujudkan mobil-motor listrik nasional adalah itu! Sudah terlalu besar bisnis mobil-motor dengan BBM. Sudah terlalu besar keuntungan yang dinikmati dari bisnis kendaraan dengan BBM. Tidak gampang kita melawannya. Memang kita semua tentu termasuk yang harus tersindir sabda Tuhan, “Apakah kalian tidak menggunakan akal?” Tapi, memang tidak mudah keluar dari kungkungan mengguritanya bisnis yang ada.
Kalau soal teknologi, jelas tidak masalah. Harga baterai litium memang masih mahal. Tapi, itu karena produksinya belum masal. Kalau semua beralih ke mobil/motor listrik, harga baterai tersebut akan turun drastis. Itu saja. Jelas itu bukan soal teknologi. Itu soal penguasaan pasar. Kalau soal teknologi, salah satunya bertanyalah kepada LIPI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia! Ternyata, LIPI sebenarnya sudah lebih 10 tahun terakhir ini merintis penciptaan mobil dan motor listrik yang kita maksud. Prototipenya pun sudah jadi. Di luar LIPI masih banyak yang siap melakukannya!

Seperti juga pernyataan pencipta microturbine itu, LIPI pun mengatakan sangat siap. Kalau saya menghendaki segera naik mobil listrik yang mesinnya ciptaan LIPI, dalam hitungan dua-tiga bulan sudah bisa diwujudkan. Tinggal bodinya menggunakan mobil apa. LIPI tidak akan menciptakan bodi mobil. Bukan karena sulit, tapi karena sudah banyak yang mampu menciptakannya. Kita memiliki banyak industri karoseri yang andal. Sudah pula ekspor besar-besaran. Contohnya industri di Malang, Magelang, Surabaya, dan Bekasi. Soal karoseri, kita harus bangga dengan kemampuan dan keterampilan bangsa sendiri.

Tinggal mesin ciptaan LIPI itu kita bandingkan dengan mesin-mesin ciptaan para ahli dari universitas dan ahli dari kalangan praktisi. Bisa saja kita pilih salah satu atau kita bicarakan bagaimana baiknya.

Saya sendiri sudah menaruh perhatian pada kendaraan listrik itu sejak menjadi direktur utama PLN. Salah satu yang membuat saya berat meninggalkan PLN adalah belum terwujudnya kendaraan listrik itu. Dalam road map yang sudah saya sampaikan kepada direksi PLN saat itu (juga saya beberkan dalam rapat kerja nasional PLN di Karawaci tahun 2010), pada akhirnya PLN harus memproduksi kendaraan listrik di akhir tahun 2013. Yakni, setelah byar-pet teratasi, setelah wabah kerusakan trafo beres, setelah wabah gangguan jaringan tuntas, dan setelah perang intern lawan BBM selesai.

Waktu itu perang intern melawan BBM di PLN harus dimenangi akhir tahun 2012. Tahun depan, rencana saya waktu itu, penggunaan BBM di PLN yang semula 9 juta kiloliter harus tinggal maksimum 2,5 juta kiloliter! Untuk itu, saya membuat program ‘pembunuhan berencana’. Yakni, mematikan pembangkit-pembangkit besar yang haus BBM, seperti pembangkit di Tambak Lorok (Semarang), Gresik (Jatim), Muara Karang (Jakarta), dan akhirnya Muara Tawar (Bekasi) plus Belawan (Medan). Semua yang saya sebut itu adalah vampir-vampir BBM. Vampir-vampir itulah yang membuat PLN memboroskan uang negara puluhan triliun rupiah.

Untuk mendorong agar ‘pembunuhan berencana’ terhadap pembangkit besar yang rakus BBM itu bisa cepat dilakukan, saya sampai menawarkan hadiah khusus. Tim PLN yang bekerja di lapangan yang bisa menyelesaikan dengan cepat pembangunan transmisi 150 kv dari Lontar ke Tangerang akan saya beri hadiah mobil dari saya pribadi. Kalau transmisi tersebut berhasil dibangun, listrik untuk kawasan Jakarta Utara sampai Priok tidak perlu lagi dari PLTG raksasa Muara Karang. Listriknya bisa datang dari sumber yang sangat murah di Lontar, yang dialirkan dengan transmisi baru tersebut.
Akhirnya, tim itu benar-benar berhasil menyelesaikan proyek sulit tersebut. Memang terlambat satu bulan dari rencana, tapi hadiah tetap saya berikan. Mobil Avanza sudah dibeli. Sayang, masih belum mobil Putra Petir! Penyerahannya akan dilakukan bersamaan dengan dihapusnya BBM dari PLTG Muara Karang. Berkat penghapusan BBM di Muara Karang itu, negara akan lebih hemat setidaknya Rp2 triliun per tahun.

PLTG boros BBM lain seperti Gresik sudah tahun lalu tidak menggunakan BBM lagi. Demikian juga PLTGU Tambak Lorok Semarang. Sudah tidak minum BBM lagi. Dari tiga lokasi itu saja, setidaknya 3 juta kiloliter BBM sudah bisa dihemat.

Tinggal tiga PLTG lagi yang masih ‘bandel’: Muara Tawar, Belawan, dan Bali. Masih perlu dua tahun lagi untuk menghapus BBM dari tiga lokasi itu. Untuk menghapus BBM di Belawan, masih menunggu selesainya revitalisasi LNG Arun. Dari Lhokseumawe itu akan dipasang pipa gas ke Belawan. Agar penggunaan BBM di Belawan digantikan dengan gas.

Untuk menghapus BBM di Muara Tawar, masih menunggu selesainya proyek terminal apung LNG di Lampung. Terminal apung itu dibangun di Lampung sekalian untuk memenuhi kebutugan gas industri-industri besar di Cilegon. Kebetulan, dari Cilegon sudah ada pipa gas yang nyambung sampai Muara Tawar! Sedang untuk memerangi BBM di Bali, masih menunggu selesainya pembangunan transmisi 500 kv dari Jawa ke Bali. Itu transmisi yang tower-nya akan menjadi yang paling tinggi di dunia: 376 meter. Agar bisa menyeberangkan listrik melampaui Selat Bali.

Memerangi BBM tidak cukup hanya dilakukan untuk pembangkit-pembangkit listrik besar itu. Kita memiliki ribuan pulau kecil yang listriknya dibangkitkan dengan mesin diesel, yang bahan bakarnya BBM juga. Itu juga harus dilawan. Tidak ada senjata yang lebih tepat, kecuali tenaga surya. Karena itu, industri tenaga matahari juga harus dibangun!

Minggu lalu saya sudah memutuskan agar BUMN membangun industri PV. Saat ini sudah ada delapan pengusaha yang bergerak di industri listrik tenaga matahari. Namun, sifatnya baru merakit. Bahan-bahan solar cell-nya masih harus diimpor. Itulah yang akan diatasi BUMN. PT Lembaga Elektronika Nasional (LEN), perusahaan BUMN yang di Bandung itu, saya tugaskan untuk mendirikan industri tenaga matahari dalam pengertian yang sesungguhnya. SDM-nya sudah mampu. Ahli-ahlinya sudah banyak. Kesungguhan dan keteguhan hati yang diperlukan.

Agar industri tenaga matahari itu nanti lebih hemat modal, tidak perlu membeli tanah dan membangun pabrik. Saya minta, manfaatkanlah pabrik Industri Sandang di Karawang yang sudah lama tutup itu. Lokasinya sangat luas. Untuk 10 ha industri tenaga matahari itu, hanya memerlukan seperti tiga lokasi pabrik tekstil yang sudah lama mati tersebut.

Kita sungguh malu kalau sampai Indonesia tidak memiliki industri tenaga matahari. Negara kita sangat luas. Berada di garis khatulistiwa. Mataharinya begitu jreng. Pasar kita sangat besar. Tidak masuk akal kalau kita harus impor suku cadang tenaga matahari dari Malaysia. Atau dari negara bersalju yang tidak punya cukup matahari! “Mengapa? Mengapa?” tanya Koes Plus. Mau tidak mau BBM itu memang harus dilawan dari dua arah: dari gas dan listrik. Kendaraan umum yang besar-besar silakan beralih ke gas. Kereta api harus beralih ke listrik sebagaimana KRL. Kendaraan pribadi harus beralih ke listrik. Bukan hanya akan hemat BBM, juga akan sangat baik untuk lingkungan hidup. Kendaraan listrik tidak menimbulkan emisi sama sekali!

Jadi, ide mobil-motor listrik tersebut tidak muncul tiba-tiba. Hanya, kenaikan harga BBM yang menghebohkan itu harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melawan belenggu hantu BBM. Dua tahun lalu saya sudah mencoba sepeda motor listrik di Bandung. Ciptaan anak bangsa sendiri. Saya keliling Kota Cimahi dengan motor listrik. Setelah itu, saya membeli motor listrik sekaligus dua buah. Setiap hari motor tersebut digunakan sopir yang ada di rumah saya di Surabaya. Saya minta segala macam kekurangannya dicatat. Setiap kali ke Surabaya, saya diskusi dengan pak sopir mengenai kelebihan dan kekurangan motor listrik tersebut. Catatan itulah yang terus saya diskusikan dengan para pegiat motor listrik.

Dulu, ketika masih bisa sering ke Tiongkok, saya juga mengunjungi pabrik mobil dan motor listrik. Tentu juga sering mencoba produknya. Saya tidak ragu lagi bahwa mobil dan motor listrik harus segera dilahirkan di Indonesia. Putra Petir tidak boleh terlalu lama berada dalam kandungan.
Situasinya sudah hamil tua. Harus segera dilahirkan!(*)

Oleh: Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Dukungan untuk lahirnya Putra Petir terus mengalir. Sampai-sampai saya tidak mampu membalas satu per satu e-mail yang masuk. Tanggapan tidak hanya datang dari seluruh Indonesia, tapi juga dari mancanegara. Putra-putra petir yang sekarang bekerja di luar negeri terlihat lebih antusias. Seorang doktor kita yang sejak S-1 sudah belajar di Jepang menulis bahwa kelahiran Putra Petir merupakan sebuah keharusan. E-mail juga datang dari ahli-ahli ITS Surabaya, ITB Bandung, UGM Jogjakarta, USU Medan, dan banyak lagi.

Dari luar kampus mengirimkan e-mail yang juga sangat konkret. Seorang ahli yang sekarang menekuni microturbine (turbin dan generatornya berada dalam satu kemasan kompak yang sistemnya sudah bisa menyerap panas mesin itu sendiri menjadi energi listrik tambahan) langsung melangkah. Dia akan membeli mobil Kijang untuk diganti mesinnya dengan mesin mobil listrik. Dalam dua bulan, sudah akan jadi mobil listrik yang bisa saya pakai ke kantor sehari-hari.

Saya sampaikan kepadanya, jangan menggunakan merek mobil yang sudah ada. Kita belum minta izin kepada pemilik merek tersebut. Belum tentu kita boleh menggunakannya. Kalau sampai kita digugat, energi kita habis untuk itu. Kita akan kelelahan. Kita akan susah. Kelahiran Putra Petir bisa gagal.
Lebih baik kita ciptakan sendiri bodi mobil listrik nasional itu. Mungkin memerlukan waktu beberapa bulan, tapi lebih nasional. Atau kita minta izin saja ke Mendikbud Bapak Mohammad Nuh untuk bisa menggunakan bodi mobil Esemka. Desain mobil Esemka yang terbaru, yang sudah disempurnakan di sana-sini (seperti yang saya lihat di pameran mobil Esemka di Universitas Muhammadiyah Solo bulan lalu), sudah sangat keren.

Atau kita pakai bodi mobil nasional (mobnas) Timor yang sudah tidak diproduksi lagi itu. Mobnas Timor cukup bagus dan enak dikendarai. Masyarakat juga sudah bisa menerima Timor. Masih ada ribuan Timor yang saat ini berlalu lalang di jalan-jalan. Penampilannya yang baik bisa kita manfaatkan sebesar-besarnya. Hanya, saya masih belum tahu bagaimana prosedur perizinannya saat ini. Apakah masih harus minta izin ke Mas Tommy Soeharto atau cukup ke pemerintah, mengingat mobil Timor pernah disita BPPN pascakrisis berat 1998.

Intinya, untuk melawan kenaikan harga BBM yang pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terus terjadi itu, tidak ada jalan terbaik, kecuali kita musuhi BBM itu sendiri. Kita jadikan BBM musuh kita bersama. Kita demo BBM-nya ramai-ramai, bukan kita demo kenaikannya. Kalau setiap kenaikan BBM kita demo, kita hanya akan terampil dalam berdemo. Tapi, kalau BBM-nya sendiri yang kita musuhi, kita akan lebih kreatif mencari jalan keluar untuk bangsa ini ke depan.

Jalan terbaik adalah jangan lagi kita gunakan BBM. Kalau kita sudah tidak menggunakan BBM, apa peduli kita dengan barang yang juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan itu. Kelak kita bersikap begini: Biarkan ia naik terus menggantung sampai setinggi Monas! Kalau kita tidak lagi menggunakannya, mau apa ia!

Tanpa ada gerakan yang nyata untuk melawan BBM, seumur hidup kita akan ngeri seperti sekarang. Seumur hidup kita harus siap-siap untuk melakukan demo. Seumur hidup kita tidak berubah!

Kalau kita sudah tahu bahwa seumur hidup kita akan terjerat BBM seperti itu, mengapa kita tidak mencari jalan lain? Mengapa kita menyerah begitu saja pada keadaan? “Mengapa? Mengapa?” kata Koes Plus. Anggaplah kita tidak takut kepada Koes Plus. Tidakkah kita harus takut kepada yang menciptakan alam semesta ini “Berapa kali Allah mengatakan ‘Afalaa ta’qiluuun’.

Kita pernah menjawab pertanyaan ‘mengapa’ itu beberapa tahun lalu. Saat program konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan main sulit dan beratnya meyakinkan masyarakat untuk pindah dari minyak tanah ke elpiji. Bukan main bisingnya demo dan penentangan terhadap konversi saat itu. Bukan main kecaman yang dilontarkan, sampai-sampai program itu dianggap menyengsarakan rakyat kecil.

Meski awalnya ditentang begitu hebat, didemo begitu seru, dan dimaki-maki setengah mati, toh akhirnya “Purwodadi kuthane, sing dadi nyatane!? Kenyataannya berhasil!” Sekian tahun kemudian, diakui konversi minyak tanah ke elpiji tersebut sebagai success story yang besar! Kalau saja tidak ada konversi itu, alangkah beratnya saat ini! Harga minyak tanah pun akan ikut naik. Yang terkena tidak lagi para pemilik mobil dan motor, juga ibu-ibu di dapur! Sekarang, naikkanlah harga minyak tanah! Ibu-ibu tidak peduli! Maka, untuk mengenang kesuksesan konversi itu, seharusnya kini kita teriakkan: Hidup Putra Petir! Eh, salah: Hidup SBY-JK!

Yang diperlukan adalah tekad besar untuk mengatasi persoalan besar. Dengan membanjirnya dukungan pada program mobil-motor nasional listrik BUMN, rasanya tekad itu sudah sangat besar. Situasinya sudah seperti seorang ibu yang hamil tua. Harus segera dilahirkan! Kalau tidak, akibatnya tanya sendiri kepada ibu-ibu yang sekarang lagi hamil tua. Atau kepada ibu-ibu yang pernah hamil tua! Jangan tanyakan kepada bapak-bapak yang seperti hamil tua! Terutama yang hamilnya karena sudah kekenyangan menikmati bisnis BBM atau bisnis kendaraan BBM!

Tantangan terbesar untuk mewujudkan mobil-motor listrik nasional adalah itu! Sudah terlalu besar bisnis mobil-motor dengan BBM. Sudah terlalu besar keuntungan yang dinikmati dari bisnis kendaraan dengan BBM. Tidak gampang kita melawannya. Memang kita semua tentu termasuk yang harus tersindir sabda Tuhan, “Apakah kalian tidak menggunakan akal?” Tapi, memang tidak mudah keluar dari kungkungan mengguritanya bisnis yang ada.
Kalau soal teknologi, jelas tidak masalah. Harga baterai litium memang masih mahal. Tapi, itu karena produksinya belum masal. Kalau semua beralih ke mobil/motor listrik, harga baterai tersebut akan turun drastis. Itu saja. Jelas itu bukan soal teknologi. Itu soal penguasaan pasar. Kalau soal teknologi, salah satunya bertanyalah kepada LIPI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia! Ternyata, LIPI sebenarnya sudah lebih 10 tahun terakhir ini merintis penciptaan mobil dan motor listrik yang kita maksud. Prototipenya pun sudah jadi. Di luar LIPI masih banyak yang siap melakukannya!

Seperti juga pernyataan pencipta microturbine itu, LIPI pun mengatakan sangat siap. Kalau saya menghendaki segera naik mobil listrik yang mesinnya ciptaan LIPI, dalam hitungan dua-tiga bulan sudah bisa diwujudkan. Tinggal bodinya menggunakan mobil apa. LIPI tidak akan menciptakan bodi mobil. Bukan karena sulit, tapi karena sudah banyak yang mampu menciptakannya. Kita memiliki banyak industri karoseri yang andal. Sudah pula ekspor besar-besaran. Contohnya industri di Malang, Magelang, Surabaya, dan Bekasi. Soal karoseri, kita harus bangga dengan kemampuan dan keterampilan bangsa sendiri.

Tinggal mesin ciptaan LIPI itu kita bandingkan dengan mesin-mesin ciptaan para ahli dari universitas dan ahli dari kalangan praktisi. Bisa saja kita pilih salah satu atau kita bicarakan bagaimana baiknya.

Saya sendiri sudah menaruh perhatian pada kendaraan listrik itu sejak menjadi direktur utama PLN. Salah satu yang membuat saya berat meninggalkan PLN adalah belum terwujudnya kendaraan listrik itu. Dalam road map yang sudah saya sampaikan kepada direksi PLN saat itu (juga saya beberkan dalam rapat kerja nasional PLN di Karawaci tahun 2010), pada akhirnya PLN harus memproduksi kendaraan listrik di akhir tahun 2013. Yakni, setelah byar-pet teratasi, setelah wabah kerusakan trafo beres, setelah wabah gangguan jaringan tuntas, dan setelah perang intern lawan BBM selesai.

Waktu itu perang intern melawan BBM di PLN harus dimenangi akhir tahun 2012. Tahun depan, rencana saya waktu itu, penggunaan BBM di PLN yang semula 9 juta kiloliter harus tinggal maksimum 2,5 juta kiloliter! Untuk itu, saya membuat program ‘pembunuhan berencana’. Yakni, mematikan pembangkit-pembangkit besar yang haus BBM, seperti pembangkit di Tambak Lorok (Semarang), Gresik (Jatim), Muara Karang (Jakarta), dan akhirnya Muara Tawar (Bekasi) plus Belawan (Medan). Semua yang saya sebut itu adalah vampir-vampir BBM. Vampir-vampir itulah yang membuat PLN memboroskan uang negara puluhan triliun rupiah.

Untuk mendorong agar ‘pembunuhan berencana’ terhadap pembangkit besar yang rakus BBM itu bisa cepat dilakukan, saya sampai menawarkan hadiah khusus. Tim PLN yang bekerja di lapangan yang bisa menyelesaikan dengan cepat pembangunan transmisi 150 kv dari Lontar ke Tangerang akan saya beri hadiah mobil dari saya pribadi. Kalau transmisi tersebut berhasil dibangun, listrik untuk kawasan Jakarta Utara sampai Priok tidak perlu lagi dari PLTG raksasa Muara Karang. Listriknya bisa datang dari sumber yang sangat murah di Lontar, yang dialirkan dengan transmisi baru tersebut.
Akhirnya, tim itu benar-benar berhasil menyelesaikan proyek sulit tersebut. Memang terlambat satu bulan dari rencana, tapi hadiah tetap saya berikan. Mobil Avanza sudah dibeli. Sayang, masih belum mobil Putra Petir! Penyerahannya akan dilakukan bersamaan dengan dihapusnya BBM dari PLTG Muara Karang. Berkat penghapusan BBM di Muara Karang itu, negara akan lebih hemat setidaknya Rp2 triliun per tahun.

PLTG boros BBM lain seperti Gresik sudah tahun lalu tidak menggunakan BBM lagi. Demikian juga PLTGU Tambak Lorok Semarang. Sudah tidak minum BBM lagi. Dari tiga lokasi itu saja, setidaknya 3 juta kiloliter BBM sudah bisa dihemat.

Tinggal tiga PLTG lagi yang masih ‘bandel’: Muara Tawar, Belawan, dan Bali. Masih perlu dua tahun lagi untuk menghapus BBM dari tiga lokasi itu. Untuk menghapus BBM di Belawan, masih menunggu selesainya revitalisasi LNG Arun. Dari Lhokseumawe itu akan dipasang pipa gas ke Belawan. Agar penggunaan BBM di Belawan digantikan dengan gas.

Untuk menghapus BBM di Muara Tawar, masih menunggu selesainya proyek terminal apung LNG di Lampung. Terminal apung itu dibangun di Lampung sekalian untuk memenuhi kebutugan gas industri-industri besar di Cilegon. Kebetulan, dari Cilegon sudah ada pipa gas yang nyambung sampai Muara Tawar! Sedang untuk memerangi BBM di Bali, masih menunggu selesainya pembangunan transmisi 500 kv dari Jawa ke Bali. Itu transmisi yang tower-nya akan menjadi yang paling tinggi di dunia: 376 meter. Agar bisa menyeberangkan listrik melampaui Selat Bali.

Memerangi BBM tidak cukup hanya dilakukan untuk pembangkit-pembangkit listrik besar itu. Kita memiliki ribuan pulau kecil yang listriknya dibangkitkan dengan mesin diesel, yang bahan bakarnya BBM juga. Itu juga harus dilawan. Tidak ada senjata yang lebih tepat, kecuali tenaga surya. Karena itu, industri tenaga matahari juga harus dibangun!

Minggu lalu saya sudah memutuskan agar BUMN membangun industri PV. Saat ini sudah ada delapan pengusaha yang bergerak di industri listrik tenaga matahari. Namun, sifatnya baru merakit. Bahan-bahan solar cell-nya masih harus diimpor. Itulah yang akan diatasi BUMN. PT Lembaga Elektronika Nasional (LEN), perusahaan BUMN yang di Bandung itu, saya tugaskan untuk mendirikan industri tenaga matahari dalam pengertian yang sesungguhnya. SDM-nya sudah mampu. Ahli-ahlinya sudah banyak. Kesungguhan dan keteguhan hati yang diperlukan.

Agar industri tenaga matahari itu nanti lebih hemat modal, tidak perlu membeli tanah dan membangun pabrik. Saya minta, manfaatkanlah pabrik Industri Sandang di Karawang yang sudah lama tutup itu. Lokasinya sangat luas. Untuk 10 ha industri tenaga matahari itu, hanya memerlukan seperti tiga lokasi pabrik tekstil yang sudah lama mati tersebut.

Kita sungguh malu kalau sampai Indonesia tidak memiliki industri tenaga matahari. Negara kita sangat luas. Berada di garis khatulistiwa. Mataharinya begitu jreng. Pasar kita sangat besar. Tidak masuk akal kalau kita harus impor suku cadang tenaga matahari dari Malaysia. Atau dari negara bersalju yang tidak punya cukup matahari! “Mengapa? Mengapa?” tanya Koes Plus. Mau tidak mau BBM itu memang harus dilawan dari dua arah: dari gas dan listrik. Kendaraan umum yang besar-besar silakan beralih ke gas. Kereta api harus beralih ke listrik sebagaimana KRL. Kendaraan pribadi harus beralih ke listrik. Bukan hanya akan hemat BBM, juga akan sangat baik untuk lingkungan hidup. Kendaraan listrik tidak menimbulkan emisi sama sekali!

Jadi, ide mobil-motor listrik tersebut tidak muncul tiba-tiba. Hanya, kenaikan harga BBM yang menghebohkan itu harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melawan belenggu hantu BBM. Dua tahun lalu saya sudah mencoba sepeda motor listrik di Bandung. Ciptaan anak bangsa sendiri. Saya keliling Kota Cimahi dengan motor listrik. Setelah itu, saya membeli motor listrik sekaligus dua buah. Setiap hari motor tersebut digunakan sopir yang ada di rumah saya di Surabaya. Saya minta segala macam kekurangannya dicatat. Setiap kali ke Surabaya, saya diskusi dengan pak sopir mengenai kelebihan dan kekurangan motor listrik tersebut. Catatan itulah yang terus saya diskusikan dengan para pegiat motor listrik.

Dulu, ketika masih bisa sering ke Tiongkok, saya juga mengunjungi pabrik mobil dan motor listrik. Tentu juga sering mencoba produknya. Saya tidak ragu lagi bahwa mobil dan motor listrik harus segera dilahirkan di Indonesia. Putra Petir tidak boleh terlalu lama berada dalam kandungan.
Situasinya sudah hamil tua. Harus segera dilahirkan!(*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/