TEMPAT ini ternyata jauh lebih baik dari yang saya bayangkan. Semula saya pikir Pantai Pangandaran di Jawa Barat selatan itu hanyalah seperti pantai-pantai di Jawa lainnya: ditangani dengan selera lokal yang sangat berbau “pemda” dan pantainya begitu-begitu saja.
Ternyata perkiraan saya itu hanya benar setengahnya. Penanganannya memang masih “selera pemda”, namun jangan tanya keindahannya. Saya bisa memastikan inilah pantai terindah di Jawa. Bahkan, seandainya penanganannya, kelak, sudah tidak selera pemda lagi, saya bayangkan Pantai Pangandaran bisa dimasukkan ke kelas dunia.
Hanya inilah pantai di Indonesia yang punya dua lengkung utama. Ini mengingatkan saya akan pantai terindah di dunia: Copacabana dan Ipanema. Dua pantai yang sama-sama indah yang letaknya hanya dipisahkan oleh semenanjung kecil yang menjorok ke laut. Seperti itu juga Pangandaran.
Dua kali saya ke Copacabana di Rio de Janeiro, Brazil, itu. Pertama, saat menghadiri kongres surat kabar sedunia di dekat-dekat situ dan yang kedua ketika ikut dalam rombongan Presiden SBY ke KTT G-20 Washington DC yang diteruskan ke Meksiko, Peru, dan Brazil.
Lengkung Pantai Pangandaran mirip sekali dengan lengkung Copacabana. Bedanya, pasir di Copacabana putih, sedangkan di Pangandaran hitam. Bedanya lagi, lengkung-lengkung berikutnya di selatannya sudah mulai dikembangkan (rasanya terdapat lima lengkung pantai setelah Copacabana), sedangkan lengkung-lengkung pantai ketiga dan keempat di Pangandaran belum tersentuh manusia.
Tapi, soal tanjung yang menjorok ke laut yang memisahkan dua pantai itu sama-sama punya kelebihan. Yang di Copacabana berupa gunung, dan untuk menyatukannya dengan Ipanema dibuatlah terowongan. Semua kendaraan yang menuju Pantai Ipanema harus melewati terowongan ini.
Di Pangandaran, tanjung yang memisahkan dua pantai itu juga berupa bukit, namun tidak tinggi. Kelebihan tanjung di Pangandaran adalah wujudnya yang masih hutan alami, yang bisa memberikan pengalaman wisata tersendiri. Hutan ini sudah diamankan menjadi hutan lindung yang terjaga dengan baik.
Selasa lalu, seluruh direksi PLN mengadakan rapat di Pangandaran untuk membicarakan persiapan terakhir gerakan sehari satu juta sambungan dan menghabiskan seluruh daftar tunggu listrik di seluruh Indonesia yang sudah harus terjadi akhir Juni tahun ini juga.
Setelah subuh saya menyempatkan diri memasuki hutan lindung itu. Yakni, pada pukul 05.30, ketika bersama teman-teman PLN Pangandaran melakukan gerak jalan pagi, yang kali ini mirip dengan outbond. Melewati hutan lindung di tanjung Pangandaran ini cukup mengesankan. Di sana-sini terlihat monyet, burung, dan biawak.
Hutan di tanjung Pangandaran inilah yang memisahkan lengkung Pantai Pangandaran barat dan lengkung Pantai Pangandaran timur. Kalau di Rio de Janeiro, masing-masing lengkung ada namanya (Copacabana dan Ipanema), di Pangandaran belum bernama. Baru disebut pantai barat dan pantai timur.
Mungkin memang tidak perlu diberi nama. Dengan sebutan “barat” dan “timur” justru bisa menunjukkan kekuatan Pantai Pangandaran itu sendiri. Yakni, inilah sepasang pantai yang masing-masing punya keunggulan untuk dinikmati dalam waktu yang berbeda. Inilah sepasang pantai yang sekaligus mempertontonkan dua pemandangan menakjubkan: sun set dan sun rise.
Di waktu sore orang bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam di pantai barat. Di pagi hari orang bisa menyaksikan matahari terbit di pantai timur. Suatu kenikmatan yang tidak bisa didapat di Rio de Janeiro karena Pantai Copacabana dan Ipanema letaknya hanya berjajar, sama-sama menghadap ke timur.
Maka, saya membayangkan sesuatu yang memang masih akan lama terwujud: kalau saja Pengandaran bisa dikembangkan seperti Rio, pesonanya akan luar biasa. Apalagi, sebagaimana juga di Rio de Janeiro, tidak jauh dari pantai ini sudah berupa pegunungan. Pantai dan gunung seperti menyatu dalam jarak yang ideal.
Memang di atas gunung sana, di Copacabana, sudah ada objek turis yang menarik. Yakni, patung Yesus yang memberkati yang terkenal itu. Tapi, itu sebenarnya hanya buatan manusia yang bisa dilakukan siapa saja. Hanya soal waktu dan uang. Tapi, tidak jauh dari Pangandaran ada objek yang juga tidak ada duanya di Indonesia: sungai yang dalamnya lebih 20 meter yang kanan-kirinya berupa tebing berhutan alami yang indah. Objek ini dinamakan Green Canyon, untuk tidak menjiplak begitu saja Grand Canyon di Amerika.
Memang, kalau orang berperahu menyusuri sungai ini sebenarnya tidak akan ingat Grand Canyon, melainkan lebih mengasosiasikannya dengan objek wisata Guilin di Tiongkok yang terkenal itu.
Dua objek utama Pangandaran itu (pantai ganda dan Green Canyon) benar-benar sudah cukup menarik untuk membuat orang bisa tinggal tiga hari sampai seminggu di Pangandaran. Apalagi, kelak, kalau lengkung pantai-pantai karang di sebelah barat Pangandaran yang masih asli itu juga dikembangkan. Apalagi, kalau di kawasan ini sekaligus dikembangkan pusat kebudayaan Sunda sebagai daya tarik malam harinya.
Lima tahun lagi, pendapatan per kapita rakyat Indonesia pasti mencapai USD 6.000. Sekarang saja sudah USD 3.200. Ketika itu terjadi, bisa dibayangkan berapa pendapatan per kapita orang Jakata dan Bandung. Saya perkirakan akan ada sekitar 5 juta orang di dua kota itu yang pendapatan per kapitanya sudah di atas USD 15.000. Orang dengan pendapatan seperti itu tidak memikirkan lagi rumah, mobil, pakaian dan makan. Pikirannya hanyalah: kalau libur mau ke mana! Inilah pasar yang harus ditangkap Pangandaran yang begitu dekat dari Jakarta. Hanya 40 menit penerbangan.
Sebaliknya, orang dengan pendapatan seperti itu sudah tidak mau lagi berkunjung ke tempat yang kumuh dan tidak bersih. Kondisi Pangandaran sekarang belum memenuhi selera mereka.
Memang hambatan untuk menaikkan kelas Pangandaran masih sangat besar. Apalagi, di era otonomi seperti sekarang. Tidak akan gampang menemukan bupati yang punya ide besar, pikiran besar, dan ambisi besar untuk membuat sejarah baru Pangandaran. Kalau yang terpilih hanya kelas bupati yang biasa-biasa saja, rasanya masih akan sangat lama mengharapkan Pangandaran menjadi idola nasional.
Bahkan, sangat mungkin, seumur hidupnya kelak Pangandaran tidak akan bisa menjadi primadona. Mengapa?
Dengan penanganan ala kadarnya sekarang ini saja daya tarik ekonominya sudah muncul. Akibatnya, hotel-hotel kecil, warung-warung kecil, dan pedagang musiman berdatangan ke sini, menempati tanah mana pun yang mereka incar. Dalam waktu lima tahun ke depan perkembangan yang tidak terencana ini akan membuat Pangandaran kian tidak menarik dan untuk membenahinya sudah sangat sulit.
Persoalan sosial sudah akan menjadi sangat sensitif dan untuk menanganinya perlu biaya tersendiri yang tidak akan terjangkau. Kalau ini yang terjadi, jangan lagi mengharapkan Pangandaran bisa menjadi bintang Nusantara, apalagi bintang dunia.
Kalau kesadaran itu sudah muncul sekarang, sebenarnya penanganannya masih manageable. Masih bisa ditemukan konsep “membangun tanpa menggusur” yang ideal. Prinsipnya, tidak boleh ada penduduk setempat yang terpinggirkan dan tidak menikmati kemajuan Pangandaran. Namun, juga tidak harus prinsip itu membuat Pangandaran tidak bisa dikembangkan. Pasti akan ditemukan konsep “membangun tanpa menggusur” yang tepat.
Masyarakat Sunda sebenarnya punya modal hebat untuk mewujudkan itu. Seorang tokoh lokal Sunda pasti bisa mewujudkan konsep itu. Saya tidak kenal orangnya, tidak tahu namanya, tapi tahu dan merasakan karya-karya hebatnya. Dia adalah pemilik jaringan restoran masakan Sunda, Bumbu Desa, yang kini berkembang pesat ke seluruh Indonesia.
Ketika saya ke geotermal Kamojang dan Darajat bulan lalu, saya menginap di resor yang bernama Kampoeng Sampireun. Saya sangat mengagumi konsep resor Kampoeng Sampireun ini. Konsep “membangun tanpa merusak” yang sempurna sekali. Selera arsitek yang merencanakan Kampoeng Sampireun ini sangat tinggi, berbasis lokal, dan bisa memperhatikan need masyarakat internasional.
Saya sangat kagum melihat hasil akhir Kampoeng Sampireun itu: bagaimana kolam alami itu bisa jadi sentrum sebuah resor yang di sekelilingnya cottages independen yang begitu menyatu dengan alam. Resor-resor supermahal di Ubud, Bali, juga sangat menarik, tapi tidak ada yang memiliki sentrum seperti yang dikonsepkan di Kampoeng Sampireun.
Intinya, penanganan Pangandaran tidak perlu diserahkan ke orang Jakarta atau orang asing. Orang Sunda memilikinya. Mulai konsep, perencanan sampai pelaksanaan. Komplet. Sudah terbukti pula. Yang diperlukan adalah sebuah keputusan dari pihak yang punya otoritas membuat keputusan.
Serahkan kepada dia soal bentuk penanganan: apakah dikembangkan dengan konsep modern atau menggunakan konsep tradisional-alami. Atau gabungan dari keduanya. Yang jelas, daratan yang menghubungkan pantai timur dan pantai barat ini tidak terlalu luas dan sudah penuh dengan perumahan penduduk. Hanya sekitar setengah kilometer.
Kalau si perencana memutuskan membuat konsep modern dengan bangunan-bangunan pencakar langit di sini, tetap harus diperhatikan sempitnya lahan itu agar hak-hak publik tidak hilang. Misalnya, semua bangunan itu nanti harus merelakan lantai dasarnya untuk plaza terbuka buat lalu lintas publik.
Namun, kalau konsepnya nanti dipilih yang tradisional, nah, saya harus menyerah: arsitek Sunda yang saya sebut tadi jangan diragukan kemampuannya! (*)