27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Alhamdulillah Saya Pernah Sakit Keras

Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang membuat saya tidak mungkin lagi aktif memimpin Jawa Pos selama hampir dua tahun.
Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya harus lebih banyak berada di luar negeri sehingga jauh dari posisi kepemimpinan di Jawa Pos.

Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya dilarang bekerja keras dan dilarang menjadi pemimpin No 1 di Jawa Pos.

Kalau saja takdir tidak seperti itu, barangkali saya masih terus bercokol di Jawa Pos sampai hari ini, memimpin Jawa Pos dengan gaya saya, lalu ditertawakan oleh yang muda-muda. Sakit keras saya secara tidak langsung membawa implikasi percepatan proses regenerasi di Jawa Pos. Saya dipaksa untuk rela meninggalkan kekuasaan yang hampir mutlak di Jawa Pos itu. Saya juga dipaksa untuk menjalankan apa yang sudah sering saya kemukakan sendiri sebelumnya: percayalah kepada generasi muda!

Tanpa saya sakit keras, barangkali saya akan dicatat sebagai pemimpin yang punya cacat besar: selalu menganjurkan regenerasi tapi dirinya sendiri terus bercokol. Sakit keras saya membuat saya konsekuen terhadap doktrin saya yang selalu saya dengungkan: hanya anak muda yang bisa membawa kemajuan. Orang-orang Jawa Pos Group hafal dengan doktrin tersebut lantaran begitu seringnya saya kemukakan.

Sebenarnya saya sudah berlatih untuk kehilangan kekuasaan sejak lama. Saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos atas inisiatif saya sendiri ketika umur saya masih 36 tahun. Saya sudah minta berhenti sebagai pemimpin umum Jawa Pos ketika umur saya ’’baru’’ 38 tahun. Sayangnya, he he, sayangnya, saya meninggalkan jabatan itu karena sudah mendapat jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, karena sudah menjadi direktur utama di hampir 100 perusahaan Jawa Pos Group.

Tapi, tidak sepenuhnya begitu. Suatu ketika, saya juga memutuskan untuk berhenti dari semua jabatan direktur utama di semua anak perusahaan Jawa Pos Group. Tujuan saya: biar yang muda-muda di berbagai daerah itu yang menjadi direktur utama di setiap perusahaan setempat. Saya melengserkan diri saya dari jabatan direktur utama untuk menjadi chairman saja di semua anak perusahaan tersebut.

Ketika salah seorang direksi bertanya mengapa tiba-tiba minta berhenti dari semua jabatan direktur utama, saya hanya menjawab dengan sangat enteng: saya ingin merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak, sekaligus.
Tapi, ternyata saya belum kehilangan apa-apa. Berhenti dari jabatan Dirut, saya masih menjadi chairman. Karena itu, dua tahun kemudian, saya memutuskan untuk juga berhenti dari semua jabatan chairman di semua anak perusahaan tersebut. Dengan langkah itu, saya tidak punya jabatan apa pun di semua anak perusahaan. Saya ingin kembali merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak.

Sekali lagi, ternyata saya tidak bisa kehilangan jabatan. Meski secara formal saya bukan siapa-siapa lagi di semua perusahaan itu, ternyata teman-teman di seluruh Indonesia tidak berubah sikap terhadap saya. Sampai-sampai, saya harus sering memberi tahu bahwa saya ini sudah bukan pemimpin Anda-Anda. Kata-kata saya jangan lagi dituruti dan jangan lagi dianggap perintah.

Rupanya, semua itu ada hikmahnya. Saya menjadi sudah terbiasa kehilangan jabatan. Karena itu, ketika akhirnya sakit keras dan harus meninggalkan jabatan di induknya pun, tidak ada perasaan owel (istilah Jawa, sulit merelakan, Red) sama sekali. Saya bisa menjalani pengobatan saya dengan perasaan yang longgar dan sikap yang sumeleh, tawakal kepada-Nya.

Pindahlah kepemimpinan Jawa Pos kepada yang jauh lebih muda.
Dua tahun saya sakit.
Dua tahun saya di luar negeri.
Dua tahun saya nonaktif.

Ternyata, semua baik-baik saja. Di tangan anak-anak muda, bahkan Jawa Pos terus maju dan kian maju. Justru di tangan yang muda-muda itu Jawa Pos mencapai lebih banyak prestasi, seperti menjadi koran terbaik di jagat raya ini.
Alhamdulillah saya akhirnya sembuh.

Alhamdulillah saya tidak punya keinginan ’’merebut’’ kembali jabatan itu.
Alhamdulillah saya segera punya tekad baru: ingin menjadi guru jurnalistik untuk lembaga pendidikan apa saja, sambil ikut mengurus pesantren di desa saya.

Sambil terus menyaksikan dari jauh kemajuan dan kemajuan yang diraih generasi baru di Jawa Pos.
Sungguh menyesal seandainya saya punya pikiran: tanpa saya Jawa Pos bukan apa-apa! Sungguh menyesal seandainya saya punya sikap: tanpa saya Jawa Pos tidak akan bisa apa-apa!

Memang pernah ada majalah yang menulis artikel dengan judul ’’Jawa Pos adalah Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos’’. Tapi, dalam perjalanannya, judul itu telah terbukti berlebihan dan mengada-ada.
Alhamdulillah, duh Gusti, saya pernah sakit keras! (*)

Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang membuat saya tidak mungkin lagi aktif memimpin Jawa Pos selama hampir dua tahun.
Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya harus lebih banyak berada di luar negeri sehingga jauh dari posisi kepemimpinan di Jawa Pos.

Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya dilarang bekerja keras dan dilarang menjadi pemimpin No 1 di Jawa Pos.

Kalau saja takdir tidak seperti itu, barangkali saya masih terus bercokol di Jawa Pos sampai hari ini, memimpin Jawa Pos dengan gaya saya, lalu ditertawakan oleh yang muda-muda. Sakit keras saya secara tidak langsung membawa implikasi percepatan proses regenerasi di Jawa Pos. Saya dipaksa untuk rela meninggalkan kekuasaan yang hampir mutlak di Jawa Pos itu. Saya juga dipaksa untuk menjalankan apa yang sudah sering saya kemukakan sendiri sebelumnya: percayalah kepada generasi muda!

Tanpa saya sakit keras, barangkali saya akan dicatat sebagai pemimpin yang punya cacat besar: selalu menganjurkan regenerasi tapi dirinya sendiri terus bercokol. Sakit keras saya membuat saya konsekuen terhadap doktrin saya yang selalu saya dengungkan: hanya anak muda yang bisa membawa kemajuan. Orang-orang Jawa Pos Group hafal dengan doktrin tersebut lantaran begitu seringnya saya kemukakan.

Sebenarnya saya sudah berlatih untuk kehilangan kekuasaan sejak lama. Saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos atas inisiatif saya sendiri ketika umur saya masih 36 tahun. Saya sudah minta berhenti sebagai pemimpin umum Jawa Pos ketika umur saya ’’baru’’ 38 tahun. Sayangnya, he he, sayangnya, saya meninggalkan jabatan itu karena sudah mendapat jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, karena sudah menjadi direktur utama di hampir 100 perusahaan Jawa Pos Group.

Tapi, tidak sepenuhnya begitu. Suatu ketika, saya juga memutuskan untuk berhenti dari semua jabatan direktur utama di semua anak perusahaan Jawa Pos Group. Tujuan saya: biar yang muda-muda di berbagai daerah itu yang menjadi direktur utama di setiap perusahaan setempat. Saya melengserkan diri saya dari jabatan direktur utama untuk menjadi chairman saja di semua anak perusahaan tersebut.

Ketika salah seorang direksi bertanya mengapa tiba-tiba minta berhenti dari semua jabatan direktur utama, saya hanya menjawab dengan sangat enteng: saya ingin merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak, sekaligus.
Tapi, ternyata saya belum kehilangan apa-apa. Berhenti dari jabatan Dirut, saya masih menjadi chairman. Karena itu, dua tahun kemudian, saya memutuskan untuk juga berhenti dari semua jabatan chairman di semua anak perusahaan tersebut. Dengan langkah itu, saya tidak punya jabatan apa pun di semua anak perusahaan. Saya ingin kembali merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak.

Sekali lagi, ternyata saya tidak bisa kehilangan jabatan. Meski secara formal saya bukan siapa-siapa lagi di semua perusahaan itu, ternyata teman-teman di seluruh Indonesia tidak berubah sikap terhadap saya. Sampai-sampai, saya harus sering memberi tahu bahwa saya ini sudah bukan pemimpin Anda-Anda. Kata-kata saya jangan lagi dituruti dan jangan lagi dianggap perintah.

Rupanya, semua itu ada hikmahnya. Saya menjadi sudah terbiasa kehilangan jabatan. Karena itu, ketika akhirnya sakit keras dan harus meninggalkan jabatan di induknya pun, tidak ada perasaan owel (istilah Jawa, sulit merelakan, Red) sama sekali. Saya bisa menjalani pengobatan saya dengan perasaan yang longgar dan sikap yang sumeleh, tawakal kepada-Nya.

Pindahlah kepemimpinan Jawa Pos kepada yang jauh lebih muda.
Dua tahun saya sakit.
Dua tahun saya di luar negeri.
Dua tahun saya nonaktif.

Ternyata, semua baik-baik saja. Di tangan anak-anak muda, bahkan Jawa Pos terus maju dan kian maju. Justru di tangan yang muda-muda itu Jawa Pos mencapai lebih banyak prestasi, seperti menjadi koran terbaik di jagat raya ini.
Alhamdulillah saya akhirnya sembuh.

Alhamdulillah saya tidak punya keinginan ’’merebut’’ kembali jabatan itu.
Alhamdulillah saya segera punya tekad baru: ingin menjadi guru jurnalistik untuk lembaga pendidikan apa saja, sambil ikut mengurus pesantren di desa saya.

Sambil terus menyaksikan dari jauh kemajuan dan kemajuan yang diraih generasi baru di Jawa Pos.
Sungguh menyesal seandainya saya punya pikiran: tanpa saya Jawa Pos bukan apa-apa! Sungguh menyesal seandainya saya punya sikap: tanpa saya Jawa Pos tidak akan bisa apa-apa!

Memang pernah ada majalah yang menulis artikel dengan judul ’’Jawa Pos adalah Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos’’. Tapi, dalam perjalanannya, judul itu telah terbukti berlebihan dan mengada-ada.
Alhamdulillah, duh Gusti, saya pernah sakit keras! (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/