32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga Diri

altbero
Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Tiba di lokasi ini saya diberi pilihan: naik jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.

Saya pun menunjuk mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. “Tapi, harus saya yang nyetir,” ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. “Di sini tidak ada tebing yang bisa ditabrak,” tambahnya.

Saya tahu wanita itu lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.

Hari itu, Senin minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.

Sudah lama ranch tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun lalu direksinya diganti.

Sebagaimana juga di Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari Makassar itu.

Wanita berjilbab putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan mengendalikan kemudi. Dialah Ir Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.

Ria sangat tangkas mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.

Sambil mengemudikan mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa yang sedang dan masih terus dia lakukan. “Di lahan ini akan kami buat ranch, bisa untuk 50.000 sapi,” ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti itu.

Waktu itu yang sering diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.

Konsep awal ranch Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing untuk menggembalakannya. Tapi, kenyataannya sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot. Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.

Yang seperti itu tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melanggar ajaran agama tertentu.

Ria yang setelah lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.

Cara baru itu pun ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni, hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong) terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.

Uji coba sistem kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan: berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat danau karena sarana untuk minum sapi bisa dibangun di tengah kombong.

Ke depan, Ria berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.

Sapi-sapi yang sudah bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ disiapkan sarana untuk melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.

Ke depan, pagar kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.

Bibit-bibit pohon jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat happening di Jawa Barat.

Maka, setahun lagi sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan daun untuk sapinya.
Dengan demikian, akan ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di Bila bisa menampung 50.000 sapi.

Masyarakat sekitar peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok peternakan di sekitarnya akan diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.

Setahun lagi saya berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup yang sudah jadi.

Inilah roh baru PT Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan sapi.

Negara lagi memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus,”direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.

Terlalu besar kita impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)

 

altbero
Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Tiba di lokasi ini saya diberi pilihan: naik jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.

Saya pun menunjuk mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. “Tapi, harus saya yang nyetir,” ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. “Di sini tidak ada tebing yang bisa ditabrak,” tambahnya.

Saya tahu wanita itu lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.

Hari itu, Senin minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.

Sudah lama ranch tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun lalu direksinya diganti.

Sebagaimana juga di Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari Makassar itu.

Wanita berjilbab putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan mengendalikan kemudi. Dialah Ir Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.

Ria sangat tangkas mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.

Sambil mengemudikan mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa yang sedang dan masih terus dia lakukan. “Di lahan ini akan kami buat ranch, bisa untuk 50.000 sapi,” ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti itu.

Waktu itu yang sering diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.

Konsep awal ranch Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing untuk menggembalakannya. Tapi, kenyataannya sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot. Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.

Yang seperti itu tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melanggar ajaran agama tertentu.

Ria yang setelah lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.

Cara baru itu pun ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni, hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong) terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.

Uji coba sistem kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan: berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat danau karena sarana untuk minum sapi bisa dibangun di tengah kombong.

Ke depan, Ria berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.

Sapi-sapi yang sudah bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ disiapkan sarana untuk melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.

Ke depan, pagar kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.

Bibit-bibit pohon jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat happening di Jawa Barat.

Maka, setahun lagi sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan daun untuk sapinya.
Dengan demikian, akan ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di Bila bisa menampung 50.000 sapi.

Masyarakat sekitar peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok peternakan di sekitarnya akan diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.

Setahun lagi saya berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup yang sudah jadi.

Inilah roh baru PT Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan sapi.

Negara lagi memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus,”direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.

Terlalu besar kita impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)

 

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/