SAYA merasa berhutang besar kepada Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Dua provinsi yang menjadi satu sistem kelistrikan itu termasuk yang kurang sukses dalam menjalankan program mengatasi pemadaman bergilir.
Penyebabnya adalah melesetnya janji pengusaha yang memenangkan tender pengadaan pembangkit di Kalsel-Kalteng (Kalselteng). Bahkan, pengusaha tersebut akhirnya gagal memenuhi kontraknya. PLN kehilangan waktu yang sangat mahal. PLN harus memperbaiki diri dalam kaitannya dengan penilaian terhadap bonafide tidaknya perusahaan yang menjadi pemasok.
Sebagai penebusan atas kekeliruan itu, PLN menetapkan empat langkah sekaligus untuk Kalsel dan Kalteng. Ini saya kemukakan dalam “rapat darurat” dengan para pimpinan PLN di Palangkaraya Sabtu pagi lalu. Saya menggunakan istilah “rapat darurat” karena rapatnya saya adakan di halaman Stadion Toeah Pahoe, Palangkaraya, jam 06.30. Yakni setelah saya bersama teman-teman PLN jalan pagi mengelilingi stadion itu.
Kebetulan di halaman stadion tersebut ada hamparan pasir yang sangat rata karena baru saja terkena hujan malam sebelumnya. Enak sekali pasir itu untuk menuliskan angka-angka kebutuhan listrik di Kalsel-Kalteng. Di situlah kami menganalisis kebutuhan listrik dan bagaimana mengatasinya.
Misalnya, untuk Palangkaraya. Selama ini hanya punya pembangkit 16 MW. Dalam rapat darurat itu, kami memutuskan untuk menambah 22 MW lagi. Kata-kata “menambah” itu sebenarnya kurang tepat karena justru lebih besar daripada pembangkit yang sudah ada. Sampit yang semula direncanakan hanya akan bertambah 2,5 MW kami ubah untuk sekalian ditambah 10 MW.
Dengan demikian, sebelum hari kemerdekaan nanti Palangkaraya harus merdeka dari kekurangan listrik.Termasuk hotel dan mal yang selama ini masih diminta untuk menghidupkan genset sendiri-sendiri.
Dengan program ini, tidak perlu lagi seperti itu. Hotel, kalau harus memiliki pembangkit sendiri, akan sangat menderita. Bisa-bisa 25 persen hasil jualan kamarnya habis hanya untuk membiayai listrik. Kalau keadaan seperti itu dibiarkan berlangsung terus, iklim investasi di Kalsel-Kalteng sulit bersaing dengan Jawa.
Perbaikan juga akan dilakukan untuk dua daerah yang selama ini kualitas listriknya jelek. Tegangannya sangat rendah. Tiga daerah itu adalah Kasongan daerah Tumbang Samba, Sampit daerah Parenggean, dan Panggkalan Bun daerah Pangkalan Banteng.
Penyebab buruknya tegangan di tiga daerah tersebut adalah lokasinya yang terlalu jauh dari gardu induk atau dari pusat pembangkit. Jarak dari gardu induk Palangkaraya ke Kasongan Tumbang Sambah 165 km, dari Pembangkit Sampit ke Parenggean 252 km, dan dari Pembangkit Pangkalan Bun ke Pangkalan Bangteng Asem Baru 268 km.
Tidak mustahil kalau listrik yang dikirim dari gardu induk atau pembangkit sudah banyak “hilang” di perjalanan. Untuk itu, di tengah-tengah jarak tersebut akan “diisi” dengan pembangkit skala 2 MW untuk memperbaiki tegangan tersebut.
Perbaikan juga akan dilakukan di Buntok. Beberapa kawasan yang selama ini dilayani dari gardu induk yang terlalu jauh bakal dialihkan ke sistem Buntok. Demikian juga di Muara Teweh, penyulang yang terlalu panjang akan diawasi secara khusus.
Sabtu lalu saya memang melakukan perjalanan darat dari Muara Teweh, Buntok, hingga Palangkaraya. Meski pinggang serasa dikocok di sepanjang perjalanan, banyak juga ide keluar untuk memperbaiki sistem kelistrikan di wilayah itu.
Empat langkah sebagai “penebusan” dosa tersebut adalah, pertama, mengadakan pembangkit secara cepat yang harus sudah “menyala”. Dalam empat bulan ke depan sebelum 17 Agustus 2011, seluruh Kalsel-Kalteng harus merdeka dari kekurangan pembangkit. Khusus untuk Kalsel masih akan diputuskan minggu ini karena keperluannya jauh lebih besar.
Meski begitu, penambahan tersebut diperlakukan sama, yakni harus sudah beres sebelum 17 Agustus 2011. Dengan demikian, para pengusaha mal dan hotel di Kalsel juga diperlakukan sama dengan di Kalteng.
Kedua, seluruh daftar tunggu sudah harus habis sebelum 30 Mei 2011. Itu berarti rumah-rumah yang selama ini meminta listrik dan belum terlayani sudah harus dilayani. Kecuali yang rumahnya memang sangat jauh dari jaringan listrik.
Ketiga, keperluan listrik di beban puncak pun akan dipenuhi PLN. Dengan begitu, tidak akan ada lagi permintaan dari PLN agar mal dan hotel harus menyalakan genset sendiri. Permintaan seperti itu hanya akan dilakukan sesekali kalau keadaannya darurat. Misalnya, ada bencana yang mengakibatkan pembangkit PLN rusak. Itu pun PLN akan memberikan biaya kemahalan akibat menyalakan genset sendiri tersebut. Itu sudah harus terjadi sebelum 17 Agustus 2011.
Keempat, mencukupi jangka panjang listrik di Kalsel-Kalteng. Memang sekarang sudah ada dua proyek PLTU. Asam-Asam 2 x 65 MW dan Pulang Pisau 2 x 65 MW. Dua-duanya sudah dalam pengerjaan. Minggu lalu kami putuskan untuk mempercepat tambahan dua lagi. Asam-Asam akan kami tambah pembangkit yang lebih besar lagi, 2 x 100 MW, dan proyek Sampit 2 x 25 MW juga dipercepat.
Selama proyek-proyek besar tersebut belum jadi, listrik di Kalsel-Kalteng bukan berarti tidak cukup. Seperti yang saya sebutkan, dengan penambahan secara besar-besaran yang akan terjadi sebelum 17 Agustus 2011, listrik di dua provinsi tersebut sudah sangat cukup. Cadangannya juga sudah ada. Hanya, semua itu dilakukan PLN dengan harga energi yang sangat mahal. Itu berarti PLN bakal rugi sangat besar.
Nah, kalau proyek-proyek besar tersebut selesai, harga energi yang didapat PLN akan lebih murah. Sebab, pembangkit-pembangkit besar tersebut menggunakan batu bara. Sedangkan pembangkit yang bakal kami adakan dalam waktu dekat ini menggunakan BBM yang sangat mahal.
Persoalan lainnya lagi adalah byar-pet atau mati lampu. Kalau masalah-masalah pembangkit tersebut belum terselesaikan, target di bidang mati lampu masih sulit dirumuskan.
Misalnya, pada 2009, mati lampu terjadi sebanyak 150 kali per pelanggan per tahun. Tahun lalu sudah sangat membaik menjadi 50 kali per pelanggan per tahun. Tahun ini secara nasional sebenarnya sudah kami tetapkan harus turun lagi menjadi 9 kali per pelanggan per tahun rata-rata.
Kalau target jumlah mati lampu itu tercapai, kita sebenarnya sudah bisa mengalahkan Malaysia dari segi jumlah terjadinya mati lampu. Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat. Di Palangkaraya, misalnya, di antara 418 unit gardu trafo yang ada, yang dulu sering rusak, selama tiga bulan ini baru dua unit yang rusak. Itu terjadi gara-gara banyak trafo atau gardu yang kelebihan beban.
Karena itu, jumlah trafo juga akan terus ditambah. Tahun lalu saja PLN membeli lebih dari 10.000 unit trafo distribusi. Tahun ini PLN akan membeli lagi 15.000 unit trafo sejenis. Tentu yang sebagian digunakan untuk Kalsel-Kalteng juga.
Kalau bebang trafo-trafo tahun ini berhasil diseimbangkan, persoalan di Kalsel-Kalteng tinggal ini: mengatasi bagaimana agar kabel-kabel penyulang yang melewati hutan-hutan itu tidak terganggu oleh pohon yang tumbang. Itulah penyebab mati lampu terbesar di Kalsel-Kalteng tahun depan. (*)