30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Senggolan Nazaruddin

Dua kali nama PLN disenggol sedikit dalam kaitan dengan Nazaruddin yang kini lagi buron itu. Yang pertama PLN dikaitkan dengan tender batubara yang sampai membuat Nazaruddin bertengkar dengan partner bisnisnya. Yang kedua sekarang ini dalam kaitan dengan tender proyek PLTU Kaltim/Riau.

Saya senang dua hal itu disebut-sebut. Pertama saya bisa numpang ngetop sebentar. Kedua, saya memiliki momentum untuk mengkampanyekan “PLN baru”.

Soal batubara itu misalnya. Konon Nazaruddin memberi uang kepada Daniel Sinambela untuk modal ikut tender batubara di PLN. Daniel menang tender tapi tidak mengembalikan uangnya Nazaruddin. Daniel kemudian dihajar Nazaruddin. Daniel masuk tahanan.

Yang terjadi adalah Daniel sebenarnya benar-benar menang tender. Bukan karena ada Nazaruddin di dalamnya. Tender itu dilakukan dengan system auction, sehingga tidak ada peluang untuk diatur sama sekali. Semua orang tahu system auction itu begitu transparansinya sehingga sangat kecil peluang untuk terjadi permainan. Daniel menang tender karena penawaran harganya memang sangat-sangat rendah.

Saking rendahnya, Daniel barangkali kesulitan mencari batubara yang baik dengan harga yang masih bisa memberikan keuntungan baginya. Maka batubara yang dikirim ke PLN pun batubara yang murah. Tentu tidak bisa memenuhi kualitas yang ditentukan PLN. Yang hebat, petugas PLN di lapangan berani menolak batubara ribuan ton tersebut. Akibat batubara Daniel ditolak oleh PLN, Daniel tidak mendapatkan uang dari PLN. Karena itu Daniel juga tidak bisa mengembalikan uangnya Nazaruddin. Nazaruddin pun kehilangan uang puluhan miliar rupiah gara-gara ketegasan PLN.

Seandainya petugas PLN takut kepada Nazaruddin dan menerima begitu saja batubara yang jelek itu tentu Nazaruddin bisa menyelamatkan uangnya yang puluhan miliar itu. Namun karena batubaranya ditolak maka lenyapkan uangnya yang sangat besar itu.

Dalam hal ini saya bangga dengan petugas PLN di barisan paling depan tersebut. Seandainya pegawai PLN tersebut bisa disogok tentu semuanya beres. Toh batubara jelek itu sebentar lagi sudah tercampur dengan batubara ribuan ton lainnya. Tidak akan gampang ketahuan. Tentu saja saya bangga dengan pegawai PLN di bagian penerimaan batubara itu. Saking bangganya sampai-sampai di DPR saya berseloroh: kalau saja petugas itu seorang wanita akan langsung saya ciumi dia!

Bagaimana dengan tender PLTU Kaltim/Riau yang disebut-sebut Nazaruddin sekarang ini? Saya pun penasaran. Sungguh saya pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?

Tender tersebut dimenangkan oleh konsursium PT Adhikarya (Kaltim) dan  konsorsium Rekayasa Industri (Riau). Sudah saya cek berulang-ulang bahwa proses tender sangat bersih dan professional. Sampai-sampai teman terbaik saya yang telah berjasa menyelamatkan hidup saya kalah di tender ini.

Pertanyaannya: siapakah yang memberi uang kepada Nazaruddin terkait dengan proyek ini? Apakah orang PLN? Atau pemenang tender? Sebaiknya ini diusut. Saya sangat berkepentingan dengan hasil pengusutan ini. Kalau orang PLN yang memberikan uang, dari mana asal-usul uang itu dan dengan tujuan apa?

Namun kalau, misalnya, pemenang tender yang memberi uang ke Nazaruddin, untuk apa dia memberi uang? Bukankah dia menang tender bukan karena bantuan Nazaruddin? Apakah justru dia mengira menang tender itu berkat dukungan Nazaruddin?

Tentu saya tidak tahu. Saya justru bertanya-tanya dalam hati. Kalau benar begitu untuk apa pemenang tender itu memberi uang ke Nazaruddin? Sedekah? Sumbangan? Mestinya itu bukan sogok karena dia memenangkan tender bukan karena jasa Nazaruddin.

Saya penasaran atas pertanyaan-pertanyaan saya sendiri itu.
Karena itu saya mencoba mencari tahu.

Hasil penelusuran saya agak mengecewakan: ternyata masih banyak peserta tender yang tidak percaya diri akan kemampuan mereka, lalu punya backing orang kuat. Mereka belum percaya bahwa PLN sudah berubah. Mereka belum percaya bahwa di PLN bisa berubah. Mereka tidak percaya bahwa backing itu sekarang tidak ada gunanya.
Itulah sebabnya mengapa masih ada peserta tender yang merasa perlu memiliki backing.

Keberadaan backing itu sendiri punya dua cerita. Ada peserta tender yang memang mencari backing. Ada juga justru si backing yang mencari-cari peserta tender. Terutama, yang diincar adalah peserta yang sudah kelihatan punya peluang untuk menang. Si backing lantas menakut-nakuti si peserta tender kalau dia tidak dikawal bisa saja kalah.

Emosi peserta tender itu pun menjadi labil. Di satu pihak dia sudah berada di ambang kemenangan. Peserta yang lolos tender tianggal sedikit, katakanlah tiga. Kejiwaannya pun menjadi kemrungsung. Dalam keadaan kemrungsung seperti itu  dia ditakut-takuti oleh si backing. Kalau tidak pakai backing dia akan dikalahkan. Ketika mengucapkan kata “akan dikalahkan” itu bisa saja si backing seorang-olah sudah bicara dengan pemilik proyek. Dalam situasi seperti itu peserta tender  memilih jalan yang paling save: diterima saja tawaran backing itu. Celakanya tidak mustahil si backing tidak hanya mendatangi satu peserta tapi juga peserta tender lainnya. Dengan demikian siapa pun yang menang backing pulalah yang paling menang.

Saya sudah bisa menemukan cara bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih. Bahkan sudah mempraktekkannya setahun terakhir ini. Tender-tender di PLN tidak akan terpengaruh oleh backing siapa pun. Bahkan dalam tender terbesar dalam sejarah PLN bulan lalu, yakni tender proyek Rp 30 triliun di Jateng, PLN berhasil mengabaikan tekanan para backing yang tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri.

Proyek Kaltim dan Riau itu tidak ada apa-apanya dibanding proyek di Jateng itu. Tapi PLN berhasil lolos dari segala tekanan.

PLN sudah tahu bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih, tapi belum tahu bagaimana cara meyakinkan peserta tender agar menyadari bahwa backing sudah tidak ada gunanya!

Dua kali nama PLN disenggol sedikit dalam kaitan dengan Nazaruddin yang kini lagi buron itu. Yang pertama PLN dikaitkan dengan tender batubara yang sampai membuat Nazaruddin bertengkar dengan partner bisnisnya. Yang kedua sekarang ini dalam kaitan dengan tender proyek PLTU Kaltim/Riau.

Saya senang dua hal itu disebut-sebut. Pertama saya bisa numpang ngetop sebentar. Kedua, saya memiliki momentum untuk mengkampanyekan “PLN baru”.

Soal batubara itu misalnya. Konon Nazaruddin memberi uang kepada Daniel Sinambela untuk modal ikut tender batubara di PLN. Daniel menang tender tapi tidak mengembalikan uangnya Nazaruddin. Daniel kemudian dihajar Nazaruddin. Daniel masuk tahanan.

Yang terjadi adalah Daniel sebenarnya benar-benar menang tender. Bukan karena ada Nazaruddin di dalamnya. Tender itu dilakukan dengan system auction, sehingga tidak ada peluang untuk diatur sama sekali. Semua orang tahu system auction itu begitu transparansinya sehingga sangat kecil peluang untuk terjadi permainan. Daniel menang tender karena penawaran harganya memang sangat-sangat rendah.

Saking rendahnya, Daniel barangkali kesulitan mencari batubara yang baik dengan harga yang masih bisa memberikan keuntungan baginya. Maka batubara yang dikirim ke PLN pun batubara yang murah. Tentu tidak bisa memenuhi kualitas yang ditentukan PLN. Yang hebat, petugas PLN di lapangan berani menolak batubara ribuan ton tersebut. Akibat batubara Daniel ditolak oleh PLN, Daniel tidak mendapatkan uang dari PLN. Karena itu Daniel juga tidak bisa mengembalikan uangnya Nazaruddin. Nazaruddin pun kehilangan uang puluhan miliar rupiah gara-gara ketegasan PLN.

Seandainya petugas PLN takut kepada Nazaruddin dan menerima begitu saja batubara yang jelek itu tentu Nazaruddin bisa menyelamatkan uangnya yang puluhan miliar itu. Namun karena batubaranya ditolak maka lenyapkan uangnya yang sangat besar itu.

Dalam hal ini saya bangga dengan petugas PLN di barisan paling depan tersebut. Seandainya pegawai PLN tersebut bisa disogok tentu semuanya beres. Toh batubara jelek itu sebentar lagi sudah tercampur dengan batubara ribuan ton lainnya. Tidak akan gampang ketahuan. Tentu saja saya bangga dengan pegawai PLN di bagian penerimaan batubara itu. Saking bangganya sampai-sampai di DPR saya berseloroh: kalau saja petugas itu seorang wanita akan langsung saya ciumi dia!

Bagaimana dengan tender PLTU Kaltim/Riau yang disebut-sebut Nazaruddin sekarang ini? Saya pun penasaran. Sungguh saya pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?

Tender tersebut dimenangkan oleh konsursium PT Adhikarya (Kaltim) dan  konsorsium Rekayasa Industri (Riau). Sudah saya cek berulang-ulang bahwa proses tender sangat bersih dan professional. Sampai-sampai teman terbaik saya yang telah berjasa menyelamatkan hidup saya kalah di tender ini.

Pertanyaannya: siapakah yang memberi uang kepada Nazaruddin terkait dengan proyek ini? Apakah orang PLN? Atau pemenang tender? Sebaiknya ini diusut. Saya sangat berkepentingan dengan hasil pengusutan ini. Kalau orang PLN yang memberikan uang, dari mana asal-usul uang itu dan dengan tujuan apa?

Namun kalau, misalnya, pemenang tender yang memberi uang ke Nazaruddin, untuk apa dia memberi uang? Bukankah dia menang tender bukan karena bantuan Nazaruddin? Apakah justru dia mengira menang tender itu berkat dukungan Nazaruddin?

Tentu saya tidak tahu. Saya justru bertanya-tanya dalam hati. Kalau benar begitu untuk apa pemenang tender itu memberi uang ke Nazaruddin? Sedekah? Sumbangan? Mestinya itu bukan sogok karena dia memenangkan tender bukan karena jasa Nazaruddin.

Saya penasaran atas pertanyaan-pertanyaan saya sendiri itu.
Karena itu saya mencoba mencari tahu.

Hasil penelusuran saya agak mengecewakan: ternyata masih banyak peserta tender yang tidak percaya diri akan kemampuan mereka, lalu punya backing orang kuat. Mereka belum percaya bahwa PLN sudah berubah. Mereka belum percaya bahwa di PLN bisa berubah. Mereka tidak percaya bahwa backing itu sekarang tidak ada gunanya.
Itulah sebabnya mengapa masih ada peserta tender yang merasa perlu memiliki backing.

Keberadaan backing itu sendiri punya dua cerita. Ada peserta tender yang memang mencari backing. Ada juga justru si backing yang mencari-cari peserta tender. Terutama, yang diincar adalah peserta yang sudah kelihatan punya peluang untuk menang. Si backing lantas menakut-nakuti si peserta tender kalau dia tidak dikawal bisa saja kalah.

Emosi peserta tender itu pun menjadi labil. Di satu pihak dia sudah berada di ambang kemenangan. Peserta yang lolos tender tianggal sedikit, katakanlah tiga. Kejiwaannya pun menjadi kemrungsung. Dalam keadaan kemrungsung seperti itu  dia ditakut-takuti oleh si backing. Kalau tidak pakai backing dia akan dikalahkan. Ketika mengucapkan kata “akan dikalahkan” itu bisa saja si backing seorang-olah sudah bicara dengan pemilik proyek. Dalam situasi seperti itu peserta tender  memilih jalan yang paling save: diterima saja tawaran backing itu. Celakanya tidak mustahil si backing tidak hanya mendatangi satu peserta tapi juga peserta tender lainnya. Dengan demikian siapa pun yang menang backing pulalah yang paling menang.

Saya sudah bisa menemukan cara bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih. Bahkan sudah mempraktekkannya setahun terakhir ini. Tender-tender di PLN tidak akan terpengaruh oleh backing siapa pun. Bahkan dalam tender terbesar dalam sejarah PLN bulan lalu, yakni tender proyek Rp 30 triliun di Jateng, PLN berhasil mengabaikan tekanan para backing yang tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri.

Proyek Kaltim dan Riau itu tidak ada apa-apanya dibanding proyek di Jateng itu. Tapi PLN berhasil lolos dari segala tekanan.

PLN sudah tahu bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih, tapi belum tahu bagaimana cara meyakinkan peserta tender agar menyadari bahwa backing sudah tidak ada gunanya!

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/