MEDAN, SUMUTPOS.CO- Enam bulan lamanya DPRD Medan bekerja tanpa kode etik. Pasalnya, hingga kini, panitia khusus (Pansus) Kode Atik DPRD Medan belum juga menuntaskan tugasnya. Padahal, pansus ini telah melakukan studi banding ke beberapa daerah, diantaranya Jogjakarta dan Solo.
Dari studi banding ke Jogjakarta pada pertengahan Maret lalu, tak ada hasil yang signifikan yang diperoleh Tim Pansus yang diketuai Robby Barus ini. Pansus kode etik hanya memperoleh informasi tentang tidak dibenarkannya setiap anggota dewan memiliki senjata api.
“Secara umum tidak ada perbedaan yang mencolok, hampir sama semua. Namun di Jogjakarta, anggota dewannya tidak boleh pakai senjata api dan itu akan kita tiru,” kata Robby Barus yang juga Ketua Badan Kehormatan DPRD Medan, Selasa (31/3).
Disinggung mengenai penghapusan larangan menggunakan handphone (HP) saat siding, Robby beralasan, saat ini zaman sudah canggih sehingga kebutuhan alat komunikasi sudah semakin meningkat.
“Ketika sidang paripurna, etikanya HP tidak menimbulkan suara, sehingga tidak menimbulkan keributan,” ungkapnya.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan itu menambahkan, untuk tahapan akhir proses finalisasi kode etik, Pansus akan melakukan studi banding sekali lagi. “Rencananya kemarin, kita kunjungan ke Yogyakarta dan Solo, akhirnya kunjungan ke Solo dibatalkan. Jadi dijadwalkan studi banding sekali lagi,” katanya tanpa bersedia menyebutkan kota tujuan yang akan disambangi Pansus kode etik.
Sementara, sumber di internal DPRD Medan menyebutkan, setiap pansus memang perlu melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke beberapa daerah untuk melakukan perbandingan. Selain itu, ketika tahap akhir juga perlu dilakukan studi banding.
“Idelanya, pansus hanya dua kali melakukan kunjungan kerja. Pertama, untuk membuat perbandingan, kedua ketika tahap finalisasi (akhir). Kalau lebih dari itu, maka kunjungan kerjanya patut dipertanyakan, mungkin saja untuk jalan-jalan,” kata sumber yang meminta namanya tidak ditulis.
Sumber tersebut meminta agar pansus kode etik bekerja secara maksimal dan tidak memperlambat proses pengesahan serta penetapan kode etik serta mengurangi agenda studi banding ke luar daerah.
“Kalau terlalu banyak kunjungan juga tidak baik, karena akan membuang-buang waktu. Pada umumnya, hampir di seluruh daerah aturan kode etik tidak jauh berbeda,” jelasnya.
Menyikapi ini, pengamat politik Sohibul Ansor mengatakan, kunjungan kerja yang dilakukan Pansus Kode Etik hanya dijadikan tameng oleh anggota dewan untuk melakukan pelesiran. Mengingat tingkat kepentingannya tidak begitu tinggi.
“Apa yang mau dipelajari dari daerah lain soal kode etik? Saya pikir hampir semua sama,” ketus Sohibul.
Karena hampir di seluruh DPRD memiliki kode etik yang sama, Sohibul menilai, tidak sepatutnya pansus kode etik melakukan kunjungan kerja ke daerah lain.
“Di DPRD Sumut juga ada kode etik, kenapa tidak belajar ke tempat itu saja, lebih dekat dan tidak perlu mengeluarkan biaya apapun. Kalau niat mau bekerja, harusnya seperti itu,” sindirnya.
Akademisi UMSU itu meminta agar pansus kode etik membatalkan agenda kunjungan kerja ke luar daerah jika hanya untuk agenda konsultasi. “Kalau tetap mau pergi lagi, nggak tahu lagi mau bicara apa. Berarti anggota DPRD Medan yang tegabung dalam Pansus kode etik tidak niat dalam menjalankan tugasnya,” tegasnya.(dik/adz)