30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Tagihan Listrik Industri Melonjak 40 Persen

JAKARTA-

Kalangan pengusaha langsung berteriak mendengar rencana pemerintah dan DPR menghapuskan subsidi listrik bagi industri besar. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) malah usul agar pemerintah berani menaikkan tarif listrik rumah tangga yang dayanya 450-900 watt (R1).

“Kita tentu tidak setuju karena pasti akan mengurangi daya saing sektor hulu. Kita akan kalah bersaing dengan produk impor yang dibuat perusahaan-perusahaan besar dari luar negeri. Jangan sampai itu terjadi, apalagi kita nanti masuk pasar bebas Asean (Asean Economic Community/AEC) tahun 2015,” ujar Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi kemarin (1/10).

Industri hulu, kata Sofyan, seharusnya justru diberikan insentif supaya dapat berkembang lebih besar lagi untuk menjadi pemenang di tingkat regional maupun global. Apalagi, industri hulu merupakan sektor yang padat karya (labour intensif) karena mempekerjakan jutaan orang.”Kalau tagihan listrik meningkat, upah pekerja naik, biaya operasional pasti juga naik,” tandasnya.

Berdasar hitungan Apindo, jika subsidi listrik industri besar dihapuskan tahun depan, maka tagihan listrik yang harus dibayar pengusaha akan meningkat 40 persen. Karena itu, Sofyan akan mendiskusikan wacana ini dengan pengusaha lain di Apindo. “Sekarang masih wacana, belum diputuskan. Tapi, kita pasti menolak pencabutan subsidi itu,” sebutnya.

Franky Sibarani, ketua Apindo, menuturkan keberatan yang sama. Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) ini meminta pemerintah tidak gegabah dengan mencabut subsidi listri industri besar. Pasalnya, hal itu akan menyebabkan tagihan listrik di pabrik meningkat 40 persen.”Itu pasti akan dibebankan ke harga jual,” tandasnya.

Permasalahannya, tidak semua produk dapat bersaing dengan competitor ketika menaikkan harga. Sebagian besar produk Indonesia yang diproduksi industri besar masih bersaing ketat dengan produk impor yang harganya miring.”Apakah kita mampu atau tidak, itu pasar yang menetukan karena konsumen yang melihat harganya bagus atau tidak,” katanya.

Sebetulnya, kata Franky, harus ada keberanian dari pemerintah untuk mengalihkan pengurangan subsidi ke pelanggan listrik yang lain. Pihaknya mengusulkan agar pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan daya 450-900 watt ketimbang industri besar yang berisiko tinggi. “Sekarang mendekati pemilu, jadi saya ragu apa pemerintah berani naikkan tarif 450-900 watt,” kata dia.

Franky menyebut pelanggan 450 dan 900 watt tidak mengalami kenaikan tarif selama 10 tahun lebih. Padahal, pendapatan masyarakat dan pekerja sudah naik 100 persen lebih dalam kurun waktu itu. Menurutnya, listrik rumah tangga cenderung digunakan untuk hal-hal sepele. “Industri untuk kebutuhan produktif, kalau rumah tangga lebih ke konsumtif,” ungkapnya.

Dia juga menyoroti rencana mencabut subsidi listrik bagi pelanggan industri golongan I-3 yang sudah go public. Menurut Franky, itu usulan yang tidak masuk akal karena tidak ada alasan untuk membedakan pelanggan berdasar masuk tidaknya ke pasar saham. “Jika itu dilakukan, maka persaingan antara perusahaan go public dengan yang tidak menjadi tidak fair,” jelasnya. (wir/ca)

JAKARTA-

Kalangan pengusaha langsung berteriak mendengar rencana pemerintah dan DPR menghapuskan subsidi listrik bagi industri besar. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) malah usul agar pemerintah berani menaikkan tarif listrik rumah tangga yang dayanya 450-900 watt (R1).

“Kita tentu tidak setuju karena pasti akan mengurangi daya saing sektor hulu. Kita akan kalah bersaing dengan produk impor yang dibuat perusahaan-perusahaan besar dari luar negeri. Jangan sampai itu terjadi, apalagi kita nanti masuk pasar bebas Asean (Asean Economic Community/AEC) tahun 2015,” ujar Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi kemarin (1/10).

Industri hulu, kata Sofyan, seharusnya justru diberikan insentif supaya dapat berkembang lebih besar lagi untuk menjadi pemenang di tingkat regional maupun global. Apalagi, industri hulu merupakan sektor yang padat karya (labour intensif) karena mempekerjakan jutaan orang.”Kalau tagihan listrik meningkat, upah pekerja naik, biaya operasional pasti juga naik,” tandasnya.

Berdasar hitungan Apindo, jika subsidi listrik industri besar dihapuskan tahun depan, maka tagihan listrik yang harus dibayar pengusaha akan meningkat 40 persen. Karena itu, Sofyan akan mendiskusikan wacana ini dengan pengusaha lain di Apindo. “Sekarang masih wacana, belum diputuskan. Tapi, kita pasti menolak pencabutan subsidi itu,” sebutnya.

Franky Sibarani, ketua Apindo, menuturkan keberatan yang sama. Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) ini meminta pemerintah tidak gegabah dengan mencabut subsidi listri industri besar. Pasalnya, hal itu akan menyebabkan tagihan listrik di pabrik meningkat 40 persen.”Itu pasti akan dibebankan ke harga jual,” tandasnya.

Permasalahannya, tidak semua produk dapat bersaing dengan competitor ketika menaikkan harga. Sebagian besar produk Indonesia yang diproduksi industri besar masih bersaing ketat dengan produk impor yang harganya miring.”Apakah kita mampu atau tidak, itu pasar yang menetukan karena konsumen yang melihat harganya bagus atau tidak,” katanya.

Sebetulnya, kata Franky, harus ada keberanian dari pemerintah untuk mengalihkan pengurangan subsidi ke pelanggan listrik yang lain. Pihaknya mengusulkan agar pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan daya 450-900 watt ketimbang industri besar yang berisiko tinggi. “Sekarang mendekati pemilu, jadi saya ragu apa pemerintah berani naikkan tarif 450-900 watt,” kata dia.

Franky menyebut pelanggan 450 dan 900 watt tidak mengalami kenaikan tarif selama 10 tahun lebih. Padahal, pendapatan masyarakat dan pekerja sudah naik 100 persen lebih dalam kurun waktu itu. Menurutnya, listrik rumah tangga cenderung digunakan untuk hal-hal sepele. “Industri untuk kebutuhan produktif, kalau rumah tangga lebih ke konsumtif,” ungkapnya.

Dia juga menyoroti rencana mencabut subsidi listrik bagi pelanggan industri golongan I-3 yang sudah go public. Menurut Franky, itu usulan yang tidak masuk akal karena tidak ada alasan untuk membedakan pelanggan berdasar masuk tidaknya ke pasar saham. “Jika itu dilakukan, maka persaingan antara perusahaan go public dengan yang tidak menjadi tidak fair,” jelasnya. (wir/ca)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/