Di masa pemerintahan kolonial Jepang atas Korea, dua orang anak laki-laki tumbuh dengan ambisi menjadi pelari marathon olimpiade. Tatsuo Hasegawa adalah cucu seorang Jendral Jepang, sementara Kim Jun-Shik adalah anak pekerja penjaga peternakan sang Jendral.
Sebuah insiden kemudian meninggalkan konflik diantara keduanya, hingga keduan ya bertemu kembali di sebuah Tokyo Olym pics. Jun-Shik yang merupakan peserta underdog dan kesehariannya menjadi penarik becak berhasil memenangkan pertandingan dan mencoreng malu di wajah Jepang dengan Tatsuo yang tetap berstatus bangsawan dan calon dokter sehingga memperuncing konflik diantara keduanya. Hasilnya, kemenangan Jun-Shik tak diakui dan rekan-rekannya yang ikut memberontak dijatuhi hukuman untuk mendaftar paksa sebagai prajurit Jepang.
Di sana, Jun-Shik yang mendapat tekanan dari prajurit Jepang malah tergerak untuk menyelamatkan seorang sniper Cina, Shirai (Fan Bing Bing) yang merupakan tentara musuh. Tekanan itu makin bertambah kala Tatsuo yang sudah berpangkat kolonel di masa-masa Perang Dunia II menemukan jalannya untuk memimpin pasukan Jun-Shik. Tujuannya hanya satu, menyiksa pelan-pelan rivalnya, namun perang yang berkembang membuat mereka bersama menjadi tawanan Soviet di kamp konsentrasi Gulag, berperang untuk Jerman sampai akhirnya semua memuncak di tengah serangan D-Day AS ke Normandia. Dan seperti pelari profesional, Jun-Shik tak akan pernah berhenti sampai sejauh mana ia bisa.
Nama-nama sineas Korea Selatan seperti Kim Ki-Duk, Park Chan-Wook atau Na Hong-Jin mungkin sudah bersinar atas film-film Korsel yang go-international ke festival-festival dan dipuji kritikus dimana-mana dengan style mereka dalam trend sekarang. Penuh twist, mostly like an artwork, penuh kesadisan fisik atau psikologis yang sangat dalam. Namun jangan pernah lupa dengan Kang Je-Gyu / Kang Je-Kyu.
Dalam terms blockbuster, ia memang bekerja seperti seorang Steven Spielberg, bahkan ada yang menganggapnya sekelas Michael Bay. Ia tak pernah muncul dengan kedalaman plot dan dalam-dalam yang lain, kecuali dalam visual dan emosi yang kesannya sangat pop, kadang terasa sangat Hollywood blockbusters. Penuh dengan klise-klise, adegan-adegan yang ‘inspired from’ (biasanya dari film-film raksasa Hollywood) dan ekplosifitas lainnya termasuk bujet.
Tanpa dia, tak akan pernah perfilman Korsel melebarkan sayap sebesar sekarang. ‘Shiri’ (1999) adalah tonggak menginternasionalnya perfilman mereka, dan awal-awal masa keemasan ini berlanjut lagi dengan ‘Taegukgi’ (2004) yang semakin membawa perfilman mereka dikenal belahan dunia lain. Sebuah ‘versi lain’ dari ‘Saving Private Ryan’ dengan porsi hati yang kelewat gede bahkan visual yang nyaris melampauinya. Setelah istirahat hampir 7 tahun dan batal membesut sebuah sci-fi yang katanya groundbreaking bagi perfilman mereka, Je-Gyu kembali dengan tema yang tak jauh dari ‘Taegukgi’. Sebuah drama tentang ikatan laki-laki di tengah kekejaman perang sebagai dasarnya, tapi tak akan sulit digolongkan sebagai ‘war movies’ atas tampilannya.
Dan ini, juga sebuah karya groundbreaking, dalam hal bujet yang mencapai hampir 30.000.000 KW (Korean-Won), sepantaran bujet produksi film Hollywood. Ada 5 negara untuk set (Korea, China, Perancis, Rusia dan Latvia) plus set sebesar 250 ha, 5 bahasa dalam skenario, dan masa pembuatan nyaris 10 bulan dengan riset bertahun. Masih ditambah dengan lebih 57.000 peluru yang ditembakkan plus setahun lebih melobi seorang Andrea Bocelli untuk menyanyikan theme song yang ditulis khusus, ‘To Find My Way’. Sebelum peredaran luasnya, promo dan premierenya juga sudah melanglang buana ke berbagai festival dunia. Just huge. (*)