25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Belum Tahu Dapat Baju Lebaran atau Tidak

Sambungan dari: Rindu Lebaran Bersama Orangtua

Semester terakhir di Tanjungbalai, Taufik Hidayah dan ibunya tinggal di rumah kontrakan. Dari situlah Taufik mulai mengenal sanak saudara. Tapi, tak lama kemudian ibunya malah meninggal dunia.

Puput Julianti Damanik, Medan

DIFOTO: Ekspresi Taufik Hidayah saat ditemui belum  lama ini.//Puput Julianti Damanik/SUMUT POS
DIFOTO: Ekspresi Taufik Hidayah saat ditemui belum
lama ini.//Puput Julianti Damanik/SUMUT POS

“Kami sempat ngontrak rumah. Kebetulan kakak saya yang pertama sejak bayi sudah sama saudara. Jadi sampai sekarang jarang jumpa kalau kakak yang satu lagi sudah menikah dan ikut suaminya di Jakarta.

Jadi saya hanya berdua sama mamak saja. Di situlah saya baru dikenalkan saudara-saudara dari mamak, sebelumnya saya belum pernah jumpa sama mereka.

Mungkin karena kesibukan ayah yang pindah-pindah membuat jauh dari keluarga,” katanya.

Taufik pun menamatkan SD dengan baik lalu ia masuk ke MTS di Tanjungbalai. Seminggu di sekolah, ibunya meninggal karena sakit gula. Taufik masih kecil, ia hanya bisa menangis dan meratap serta berharap ibu yang ia miliki satu-satunya dapat kembali lagi untuk memanjakannya, memeluknya, dan menemaninya di saat kapanpun ia butuhkan.

“Saya sedih, kenapa harus semua yang saya sayangi harus pergi dahulu. Tapi memang saya sudah melihat pertanda karena ibu saat mengajak pindah ke Sumut itu sudah sakit. Dan, mungkin ia ingin saat beliau meninggal, saya bisa diurus sama saudara. Akhirnya, paman, adik mamaklah yang mengasuh saya,” katanya.

Tak lama, tambahnya, karena ada masalah keluarga, Taufik kembali diasuh oleh kakek yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan ibunya. “Yah, biasalah, keluarga paman kurang dapat menerima kehadiran saya. Akhirnya ada kakek yang masih saudara mamak mengambil saya. Saya senang, karena kakek sangat sayang. Tapi lagi-lagi anaknya tidak suka dengan saya,” ujarnya.

Hidup menumpang bersama paman dan kakek yang juga hanya seorang nelayan di laut Tanjungbalai ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Terkadang ia harus menahan lapar karena tidak ada hidangan makan siang disiapkan di rumah, terkadang ia juga harus sekolah dengan sepatu yang sudah bolong-bolong. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangatnya, bahkan dia berusaha mencari uang pemasukan untuk dapat membeli jajanan. Sebelumnya, hidup susah seperti itu tidak pernah ia rasakan.

“Saya dulu di Jakarta hidup berkecukupan Kak, saya tahunya main, belanja dan minta beli ini-itu dituruti sama mamak. Namun setelah ditinggal orangtua dan numpang di rumah saudara, hidup berbalik. Serba kekurangan. Saat itu, saya ditunjukkan jalan untuk belajar Alquran dan ternyata saya gampang memahaminya. Setelah fasih, saya sering ikut lomba MTQ, akhirnya dari situ saya dipanggil untuk mengajar ngaji anak-anak komplek, 200 ribu per bulan,” ujarnya.

Yah, di usianya yang ke 13, Taufik terpaksa harus mencari uang tambahan. Ia naik sepeda dan pulang hingga malam demi untuk mencari uang jajan. Malamnya, Taufik harus mencuci pakaian ke sungai. Itu pun dia harus menahan rasa sakit hati atas ungkapan dan kata-kata yang tak sedap didengar dari anak kakek. Bahkan Taufik sempat diusir karena kesalapahaman.

“Pas pulang mengajar ngaji, tiba-tiba baju saya dilempar keluar. Saya diusir karena disangka mencuri lem. Saya memang baru mengelem sepatu saya yang bolong, tapi itu bukan lem milik kakek, melainkan dikasih teman yang kasihan melihat sepatu saya. Setelah saya dimarah-marah, besoknya lem kakek jumpa. Makanya kakek yang akhirnya minta maaf,” katanya.

Melihat kejadian itu, seorang guru Bahasa Arab memintanya untuk tinggal di rumahnya. “Akhirnya guru saya, yang saat ini saya panggil Buya yang mengasuh sampai tamat MTS. Dialah yang menyuruh saya masuk ke sekolah ini. Ia suka mencari informasi tentang TC Foundation melalui internet, ternyata perusahaan besar dan kata Buya pastilah TC Foundation tidak akan menelantarkan saya. Padahal saya sudah lama mengidamkan masuk Islamic Center yang memfokuskan untuk menghafal Alqur-an yang sering diceritakan oleh guru ngaji,” ujarnya.

Buya mengincar SMA yang gratis atau beasiswa karena ia merasa tidak mampu kalau harus membiayai sekolah hingga SMA. “Sebenarnya, uang pensiunan ayah cukup untuk sekolah. Tapi kami tidak tahu gimana dan di mana cara mengurus dana pensiunan tersebut. Yah mamak juga sudah mengikhlaskannya. Saya kelas 3 MTS, alhamdulilah sekali beasiswa itu yang datang ada 3, pertama di Islamic Center, TC Foundation dan Alex Course yang ada di Tanjungbalai,” katanya.

Akhirnya dengan sangat berat dan untuk menghargai pilihan Buya yang telah menjadi ayah angkatnya, Taufik memilih di TC Foundation. Pilihan ini, awalnya mendatangkan perlawanan dari guru ngajinya. “Guru ngaji saya juga maunya saya di Islamic Center kak. Karena kata dia, orang yang menghapal Alqur-an adalah saudara Allah. Sampai akhirnya saya didiemi sama guru ngaji dan awal saya mau berangkat ke Medan, saya tidak jumpa dia. Ehhh, sampai di Medan, Pak Rahman, guru ngaji saya sudah sampai duluan di Medan. Saya sangat senang,” ujarnya.

Yah, Taufik Hidayat memang tidak memiliki orangtua lagi, saudara kandungnya juga tak pernah bertemu dengannya lagi. Namun Taufik masih tetap memiliki keluarga yang sangat peduli dan sayang dengannya. Guru-guru di seolah telah menjadi orangtua baginya. Taufik semangat dan optimis dapat belajar dan meneruskan pendidikannya ke luar negeri. Ia ingin sekali masuk ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan menggapai cita-citanya menjadi seorang juru bicara kenegaraan.

Taufik anak yang luar biasa. Meskipun begitu, sesekali, remaja berkulit hitam ini ingin sekali dijenguk oleh keluarga, dijemput dan dibawakan makanan berbuka puasa. Namun ia mengerti kalau guru-guru serta orangtua angkatnya memiliki aktivitas yang sangat padat. Untuk lebaran tahun ini Taufik masih bingung mau ke mana namun ia ingin pulang ke Tanjungbalai berkumpul bersama keluarganya.
“Kalau lebaran tahun pertama saya di sekolah ini, saya pergi ke Tanjungbalai ke rumah Buya. Kalau lebaran tahun lalu saya ke Aceh diajak guru Biologi saya ke kampung halamannya. Tahun ini saya masih bingung mau ke mana, tapi rencananya saya mau ke Tanjungbalai saja,” katanya.

Yah, lebaran Taufik tidak seperti lebaran orang pada umumnya. Bahkan baju lebaran yang menjadi tradisi lebaran bukan menjadi prioritasnya. Yang ia mau hanyalah dapat berkumpul dan berbagi kebahagiaan bersama orang yang ia sayang. “Dua tahun lalu baju lebaran dikasih sama ketua MUI Tanjungbalai karena saat itu sebelum lebaran di masjid saat dia ngaji, saya komplen karena pengucapannya salah. Dari situ dia kenal saya dan malam takbiran saya dipanggil dan dikasih sarung dan baju lebaran. Tahun lalu dari guru, kalau tahun ini belum tahu. Bahkan uang buat ongkos pulang ke Tanjungbalai juga belum ada. Tapi saya yakin, pasti rezeki nantinya. Allah pasti kasih jalan,” katanya.

Sementara itu, kepala sekolah TC Foundation, Daulat Siregar menyampaikan, Taufik Hidayah adalah sosok anak yang pintar, yang mandiri dan religi. “Dia itu pintar, bacaan Alqurannya sangat baik,” ujarnya. (*)

Sambungan dari: Rindu Lebaran Bersama Orangtua

Semester terakhir di Tanjungbalai, Taufik Hidayah dan ibunya tinggal di rumah kontrakan. Dari situlah Taufik mulai mengenal sanak saudara. Tapi, tak lama kemudian ibunya malah meninggal dunia.

Puput Julianti Damanik, Medan

DIFOTO: Ekspresi Taufik Hidayah saat ditemui belum  lama ini.//Puput Julianti Damanik/SUMUT POS
DIFOTO: Ekspresi Taufik Hidayah saat ditemui belum
lama ini.//Puput Julianti Damanik/SUMUT POS

“Kami sempat ngontrak rumah. Kebetulan kakak saya yang pertama sejak bayi sudah sama saudara. Jadi sampai sekarang jarang jumpa kalau kakak yang satu lagi sudah menikah dan ikut suaminya di Jakarta.

Jadi saya hanya berdua sama mamak saja. Di situlah saya baru dikenalkan saudara-saudara dari mamak, sebelumnya saya belum pernah jumpa sama mereka.

Mungkin karena kesibukan ayah yang pindah-pindah membuat jauh dari keluarga,” katanya.

Taufik pun menamatkan SD dengan baik lalu ia masuk ke MTS di Tanjungbalai. Seminggu di sekolah, ibunya meninggal karena sakit gula. Taufik masih kecil, ia hanya bisa menangis dan meratap serta berharap ibu yang ia miliki satu-satunya dapat kembali lagi untuk memanjakannya, memeluknya, dan menemaninya di saat kapanpun ia butuhkan.

“Saya sedih, kenapa harus semua yang saya sayangi harus pergi dahulu. Tapi memang saya sudah melihat pertanda karena ibu saat mengajak pindah ke Sumut itu sudah sakit. Dan, mungkin ia ingin saat beliau meninggal, saya bisa diurus sama saudara. Akhirnya, paman, adik mamaklah yang mengasuh saya,” katanya.

Tak lama, tambahnya, karena ada masalah keluarga, Taufik kembali diasuh oleh kakek yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan ibunya. “Yah, biasalah, keluarga paman kurang dapat menerima kehadiran saya. Akhirnya ada kakek yang masih saudara mamak mengambil saya. Saya senang, karena kakek sangat sayang. Tapi lagi-lagi anaknya tidak suka dengan saya,” ujarnya.

Hidup menumpang bersama paman dan kakek yang juga hanya seorang nelayan di laut Tanjungbalai ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Terkadang ia harus menahan lapar karena tidak ada hidangan makan siang disiapkan di rumah, terkadang ia juga harus sekolah dengan sepatu yang sudah bolong-bolong. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangatnya, bahkan dia berusaha mencari uang pemasukan untuk dapat membeli jajanan. Sebelumnya, hidup susah seperti itu tidak pernah ia rasakan.

“Saya dulu di Jakarta hidup berkecukupan Kak, saya tahunya main, belanja dan minta beli ini-itu dituruti sama mamak. Namun setelah ditinggal orangtua dan numpang di rumah saudara, hidup berbalik. Serba kekurangan. Saat itu, saya ditunjukkan jalan untuk belajar Alquran dan ternyata saya gampang memahaminya. Setelah fasih, saya sering ikut lomba MTQ, akhirnya dari situ saya dipanggil untuk mengajar ngaji anak-anak komplek, 200 ribu per bulan,” ujarnya.

Yah, di usianya yang ke 13, Taufik terpaksa harus mencari uang tambahan. Ia naik sepeda dan pulang hingga malam demi untuk mencari uang jajan. Malamnya, Taufik harus mencuci pakaian ke sungai. Itu pun dia harus menahan rasa sakit hati atas ungkapan dan kata-kata yang tak sedap didengar dari anak kakek. Bahkan Taufik sempat diusir karena kesalapahaman.

“Pas pulang mengajar ngaji, tiba-tiba baju saya dilempar keluar. Saya diusir karena disangka mencuri lem. Saya memang baru mengelem sepatu saya yang bolong, tapi itu bukan lem milik kakek, melainkan dikasih teman yang kasihan melihat sepatu saya. Setelah saya dimarah-marah, besoknya lem kakek jumpa. Makanya kakek yang akhirnya minta maaf,” katanya.

Melihat kejadian itu, seorang guru Bahasa Arab memintanya untuk tinggal di rumahnya. “Akhirnya guru saya, yang saat ini saya panggil Buya yang mengasuh sampai tamat MTS. Dialah yang menyuruh saya masuk ke sekolah ini. Ia suka mencari informasi tentang TC Foundation melalui internet, ternyata perusahaan besar dan kata Buya pastilah TC Foundation tidak akan menelantarkan saya. Padahal saya sudah lama mengidamkan masuk Islamic Center yang memfokuskan untuk menghafal Alqur-an yang sering diceritakan oleh guru ngaji,” ujarnya.

Buya mengincar SMA yang gratis atau beasiswa karena ia merasa tidak mampu kalau harus membiayai sekolah hingga SMA. “Sebenarnya, uang pensiunan ayah cukup untuk sekolah. Tapi kami tidak tahu gimana dan di mana cara mengurus dana pensiunan tersebut. Yah mamak juga sudah mengikhlaskannya. Saya kelas 3 MTS, alhamdulilah sekali beasiswa itu yang datang ada 3, pertama di Islamic Center, TC Foundation dan Alex Course yang ada di Tanjungbalai,” katanya.

Akhirnya dengan sangat berat dan untuk menghargai pilihan Buya yang telah menjadi ayah angkatnya, Taufik memilih di TC Foundation. Pilihan ini, awalnya mendatangkan perlawanan dari guru ngajinya. “Guru ngaji saya juga maunya saya di Islamic Center kak. Karena kata dia, orang yang menghapal Alqur-an adalah saudara Allah. Sampai akhirnya saya didiemi sama guru ngaji dan awal saya mau berangkat ke Medan, saya tidak jumpa dia. Ehhh, sampai di Medan, Pak Rahman, guru ngaji saya sudah sampai duluan di Medan. Saya sangat senang,” ujarnya.

Yah, Taufik Hidayat memang tidak memiliki orangtua lagi, saudara kandungnya juga tak pernah bertemu dengannya lagi. Namun Taufik masih tetap memiliki keluarga yang sangat peduli dan sayang dengannya. Guru-guru di seolah telah menjadi orangtua baginya. Taufik semangat dan optimis dapat belajar dan meneruskan pendidikannya ke luar negeri. Ia ingin sekali masuk ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan menggapai cita-citanya menjadi seorang juru bicara kenegaraan.

Taufik anak yang luar biasa. Meskipun begitu, sesekali, remaja berkulit hitam ini ingin sekali dijenguk oleh keluarga, dijemput dan dibawakan makanan berbuka puasa. Namun ia mengerti kalau guru-guru serta orangtua angkatnya memiliki aktivitas yang sangat padat. Untuk lebaran tahun ini Taufik masih bingung mau ke mana namun ia ingin pulang ke Tanjungbalai berkumpul bersama keluarganya.
“Kalau lebaran tahun pertama saya di sekolah ini, saya pergi ke Tanjungbalai ke rumah Buya. Kalau lebaran tahun lalu saya ke Aceh diajak guru Biologi saya ke kampung halamannya. Tahun ini saya masih bingung mau ke mana, tapi rencananya saya mau ke Tanjungbalai saja,” katanya.

Yah, lebaran Taufik tidak seperti lebaran orang pada umumnya. Bahkan baju lebaran yang menjadi tradisi lebaran bukan menjadi prioritasnya. Yang ia mau hanyalah dapat berkumpul dan berbagi kebahagiaan bersama orang yang ia sayang. “Dua tahun lalu baju lebaran dikasih sama ketua MUI Tanjungbalai karena saat itu sebelum lebaran di masjid saat dia ngaji, saya komplen karena pengucapannya salah. Dari situ dia kenal saya dan malam takbiran saya dipanggil dan dikasih sarung dan baju lebaran. Tahun lalu dari guru, kalau tahun ini belum tahu. Bahkan uang buat ongkos pulang ke Tanjungbalai juga belum ada. Tapi saya yakin, pasti rezeki nantinya. Allah pasti kasih jalan,” katanya.

Sementara itu, kepala sekolah TC Foundation, Daulat Siregar menyampaikan, Taufik Hidayah adalah sosok anak yang pintar, yang mandiri dan religi. “Dia itu pintar, bacaan Alqurannya sangat baik,” ujarnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/