JAKARTA- Pemerintah menyiapkan dua opsi terkait proses perundingan pengambilalihan saham 58,87 persen PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari perusahaan Jepang yaitu Nippon Asahan Alumunium (NAA).
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengatakan, opsi pertama adalah Inalum keseluruhan diambil alih oleh Indonesia dengan harga sesuai dengan audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP), sementara itu pihak NAA punya perhitungan lain.
“Kemungkinannya 2, yang nomor satu adalah diambil alih seluruh kepemilikannya dengan harga yang disepakati, itu yang paling ideal,” ujar Hidayat usai rapat koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (24/9)
Jika itu tidak tercapai, ada opsi kedua yaitu maju ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Melalui pengadilan tersebut, Hidayat menuturkan pemerintah akan siap menerima hasilnya.
“Kalau itu nggak tercapai diambil seluruh proyeknya sesuai master agreement, tetapi harga yang ditetapkan itu melalui wasit, dan wasitnya itu arbitrase, sebagai penengah. Pengadilan hanya membantu menetapkan mana sih angkanya yang bener. Selisihnya angka itu kita taruh di account khusus, jadi kalau memang kita kalah ya itu ambil. Silakan,” paparnya.
Ia menuturkan, waktu perundingan hanya tersisa 1 bulan ke depan, hingga akhir Oktober. Â “Tujuan kita adalah 31 Oktober, secara fisik kita akan mengambil alih seluruhnya,” ujarnya.
Sementara itu, mengenai kegiatan produksi Inalum, Hidayat mengatakan produksi masih terus berlanjut. Inalum sudah merupakan merek Internasional yang tidak boleh terganggu produksinya.”Kan harus berjalan, produksinya harus tetap paling tidak marketingnya tidak boleh terganggu karena ini Inalum sudah menjadi brand intrenational,” ucap Hidayat.
Pemerintah menyiapkan, ke depannya Inalum akan menjadi BUMN. Langkah awal yang harus dilakukan adalah konsolidasi dari manajemen yang baru.”Ini going concern, jadi kalau sudah diambil alih, jadi otomatis Inalum menjadi BUMN, konsolidasi dulu karena ada manajemen baru. Selama ini dikuasai direksinya kepemilik mayoritas saham. Jadi konsolidasi malah manajemen, baru kemudian menetapkan ekspansinya, apakah ada penambahan stakeholder, untuk daerah, diperhatikan, karena aspirasinya itu,” katanya.
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun.
Pemerintah Indonesia memiliki 41,13 persen saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87 persen saham yang dikelola konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50 persen dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang. Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013. (gir/bbs/jpnn)
JAKARTA- Pemerintah menyiapkan dua opsi terkait proses perundingan pengambilalihan saham 58,87 persen PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari perusahaan Jepang yaitu Nippon Asahan Alumunium (NAA).
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengatakan, opsi pertama adalah Inalum keseluruhan diambil alih oleh Indonesia dengan harga sesuai dengan audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP), sementara itu pihak NAA punya perhitungan lain.
“Kemungkinannya 2, yang nomor satu adalah diambil alih seluruh kepemilikannya dengan harga yang disepakati, itu yang paling ideal,” ujar Hidayat usai rapat koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (24/9)
Jika itu tidak tercapai, ada opsi kedua yaitu maju ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Melalui pengadilan tersebut, Hidayat menuturkan pemerintah akan siap menerima hasilnya.
“Kalau itu nggak tercapai diambil seluruh proyeknya sesuai master agreement, tetapi harga yang ditetapkan itu melalui wasit, dan wasitnya itu arbitrase, sebagai penengah. Pengadilan hanya membantu menetapkan mana sih angkanya yang bener. Selisihnya angka itu kita taruh di account khusus, jadi kalau memang kita kalah ya itu ambil. Silakan,” paparnya.
Ia menuturkan, waktu perundingan hanya tersisa 1 bulan ke depan, hingga akhir Oktober. Â “Tujuan kita adalah 31 Oktober, secara fisik kita akan mengambil alih seluruhnya,” ujarnya.
Sementara itu, mengenai kegiatan produksi Inalum, Hidayat mengatakan produksi masih terus berlanjut. Inalum sudah merupakan merek Internasional yang tidak boleh terganggu produksinya.”Kan harus berjalan, produksinya harus tetap paling tidak marketingnya tidak boleh terganggu karena ini Inalum sudah menjadi brand intrenational,” ucap Hidayat.
Pemerintah menyiapkan, ke depannya Inalum akan menjadi BUMN. Langkah awal yang harus dilakukan adalah konsolidasi dari manajemen yang baru.”Ini going concern, jadi kalau sudah diambil alih, jadi otomatis Inalum menjadi BUMN, konsolidasi dulu karena ada manajemen baru. Selama ini dikuasai direksinya kepemilik mayoritas saham. Jadi konsolidasi malah manajemen, baru kemudian menetapkan ekspansinya, apakah ada penambahan stakeholder, untuk daerah, diperhatikan, karena aspirasinya itu,” katanya.
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun.
Pemerintah Indonesia memiliki 41,13 persen saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87 persen saham yang dikelola konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50 persen dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang. Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013. (gir/bbs/jpnn)