30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ketika Partai Politik Mendustai Diri Sendiri

Frustrasi. Apatis. Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan suasana dan dinamika forum curah pendapat (brain storming) Pilgubsu 2013 di kampus FISIP USU, akhir pekan lalu. Mayoritas peserta skeptis dengan masa depan parpol yang selalu mengingkari dus mendustai diri sendiri.

SEJAK proses pencalonan sampai ke masa pemilihan nanti, kuasa uang tampaknya akan menjadi dewa. Partai tertentu yang di awal proses pencalonan mencalonkan kandidat tertentu malah memunculkan kandidat yang lain yang tak pernah ikut dalam proses politik sejak awal di daerah.

Parpol sebagai infrastruktur politik untuk mengkader dan merekrut politisi tak ubahnya sebagai lembaga transaksional yang lebih dikenal sebagai ‘uang perahu’. Kondisi ini mencerminkan disfungsi parpol sekaligus ingkar terhadap aspirasi pemilih termasuk pengurus internal parpol itu sendiri.
Demikian inti pemikiran dalam curah pendapat dengan topik ‘’Mencari Figur Gubsu’’ di ruang rapat FISIP USU. Hadir dalam diskusi itu Dekan FISIP USU Prof Dr Badaruddin dan staf pengajar senior di lingkungan kampus tersebut.

Dari kalangan pengajar hadir Dr Amir Purba, Dr Sarifuddin Pohan, Drs Muba Simanihuruk, MSi, Drs Junjungan SBP Simanjuntak, Drs Ahmad Taufan, MA, Drs Bengkel Ginting, MSi, Drs Rasudyn Ginting, MSi, Drs Yance MSi, dan Dra Sabariah Bangun, MA. Sejumlah mahasiswa dan jurnalis juga ikut meramaikan curah pendapat tersebut.

Kegiatan ini difasilitasi Ketua Unit Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (UPIIS) Drs Robinson Sembiring, MSi dan Kepala Laboratorium Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Husnul Isa Harahap, S.Sos. MSi.

Mengutip Clifford Geertz, ini yang disebut politisi tanpa konstituen. Peserta sepakat, calon yang maju dalam Pilgubsu sekarang ini masih jauh dari ideal.
Pencitraan kandidat lebih didominasi kemampuan membeli media luar ruang yang terletak di pusat-pusat keramaian. Begitupun, dalam pandangan peserta, media di Sumut masih bersikap partisan karena latar belakang ikatan primordial seperti suku dan agama. Sejatinya lazim saja media bersikap partisan. Di AS, misalnya, ada media yang terlihat jelas pro-kebijakan Partai Republik dan yang lain pro-pemikiran Partai Demokrat. Akan tetapi partisan dalam konteks demokrasi yang matang adalah partisan ideologis, bukan partisan favoritisme yang mengedepankan suku, ras, atau agama.

Media yang menjadi pilar demokrasi keempat juga diharapkan mampu memperbaiki diri secara perlahan. Independensi media  sebagai ruang pembelajaran demokrasi bagi masyarakat menjadi tujuan ke depan.

‘’Ini diperparah lagi saat intelektualis yang menjadi benteng terakhir justru menyesatkan calon pemilih. Tak memberikan titik terang dalam kegelapan demokrasi,’’ tukas Dr Sarifuddin Pohan.

Intelektual yang tak ikut arus justru tak mampu berbuat dalam sistem besar yang digerakkan uang. ‘’Singkatnya pilar demorasi masyarakat di ambang keruntuhan di tengah kekuatan demokrasi yang diperhamba uang,’’ ungkap Dr Amir Purba.

Seluruh peserta mengamini substansi demokrasi dalam Pilgubsu secara meyakinkan telah ‘dibajak’ pialang politik yang bergentayangan di parlemen dan tubuh parpol. Suara rakyat, yang diamini sebagai suara Tuhan dalam terminologi demokrasi, tergantikan kuasa uang. Konsekuensi lanjutan akhir dari drama Pilgubsu ini mudah ditebak.  Kandidat terpilih akan menjadikan jabatan gubernur sebagai ‘makelar’ dalam jabatan-jabatan strategis di birokrasi.

Dengan kelakar getir, seorang peserta berujar, efek domino Pilkada DKI Jokowi-Ahok tidak akan merambat ke Sumut. Rekam jejak para kandidat belum terukur dan teruji kecuali efek pencitraan secara komersil. ‘’Pilgubsu saat ini belum melahirkan pemimpin pilihan rakyat, tapi pilihan parpol,’’ katanya.
Begitupun, kalangan intelektualis ini optimistis kecerdasan calon pemilih yang terus membaik dari hari ke hari, termasuk pembelajaran yang baik dari media, akan membawa secercah titik terang dalam Pilgubsu. Perubahan perilaku pemilih menjadi antitesis atas perilaku parpol yang semakin jauh panggang dari api. (val)

Frustrasi. Apatis. Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan suasana dan dinamika forum curah pendapat (brain storming) Pilgubsu 2013 di kampus FISIP USU, akhir pekan lalu. Mayoritas peserta skeptis dengan masa depan parpol yang selalu mengingkari dus mendustai diri sendiri.

SEJAK proses pencalonan sampai ke masa pemilihan nanti, kuasa uang tampaknya akan menjadi dewa. Partai tertentu yang di awal proses pencalonan mencalonkan kandidat tertentu malah memunculkan kandidat yang lain yang tak pernah ikut dalam proses politik sejak awal di daerah.

Parpol sebagai infrastruktur politik untuk mengkader dan merekrut politisi tak ubahnya sebagai lembaga transaksional yang lebih dikenal sebagai ‘uang perahu’. Kondisi ini mencerminkan disfungsi parpol sekaligus ingkar terhadap aspirasi pemilih termasuk pengurus internal parpol itu sendiri.
Demikian inti pemikiran dalam curah pendapat dengan topik ‘’Mencari Figur Gubsu’’ di ruang rapat FISIP USU. Hadir dalam diskusi itu Dekan FISIP USU Prof Dr Badaruddin dan staf pengajar senior di lingkungan kampus tersebut.

Dari kalangan pengajar hadir Dr Amir Purba, Dr Sarifuddin Pohan, Drs Muba Simanihuruk, MSi, Drs Junjungan SBP Simanjuntak, Drs Ahmad Taufan, MA, Drs Bengkel Ginting, MSi, Drs Rasudyn Ginting, MSi, Drs Yance MSi, dan Dra Sabariah Bangun, MA. Sejumlah mahasiswa dan jurnalis juga ikut meramaikan curah pendapat tersebut.

Kegiatan ini difasilitasi Ketua Unit Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (UPIIS) Drs Robinson Sembiring, MSi dan Kepala Laboratorium Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Husnul Isa Harahap, S.Sos. MSi.

Mengutip Clifford Geertz, ini yang disebut politisi tanpa konstituen. Peserta sepakat, calon yang maju dalam Pilgubsu sekarang ini masih jauh dari ideal.
Pencitraan kandidat lebih didominasi kemampuan membeli media luar ruang yang terletak di pusat-pusat keramaian. Begitupun, dalam pandangan peserta, media di Sumut masih bersikap partisan karena latar belakang ikatan primordial seperti suku dan agama. Sejatinya lazim saja media bersikap partisan. Di AS, misalnya, ada media yang terlihat jelas pro-kebijakan Partai Republik dan yang lain pro-pemikiran Partai Demokrat. Akan tetapi partisan dalam konteks demokrasi yang matang adalah partisan ideologis, bukan partisan favoritisme yang mengedepankan suku, ras, atau agama.

Media yang menjadi pilar demokrasi keempat juga diharapkan mampu memperbaiki diri secara perlahan. Independensi media  sebagai ruang pembelajaran demokrasi bagi masyarakat menjadi tujuan ke depan.

‘’Ini diperparah lagi saat intelektualis yang menjadi benteng terakhir justru menyesatkan calon pemilih. Tak memberikan titik terang dalam kegelapan demokrasi,’’ tukas Dr Sarifuddin Pohan.

Intelektual yang tak ikut arus justru tak mampu berbuat dalam sistem besar yang digerakkan uang. ‘’Singkatnya pilar demorasi masyarakat di ambang keruntuhan di tengah kekuatan demokrasi yang diperhamba uang,’’ ungkap Dr Amir Purba.

Seluruh peserta mengamini substansi demokrasi dalam Pilgubsu secara meyakinkan telah ‘dibajak’ pialang politik yang bergentayangan di parlemen dan tubuh parpol. Suara rakyat, yang diamini sebagai suara Tuhan dalam terminologi demokrasi, tergantikan kuasa uang. Konsekuensi lanjutan akhir dari drama Pilgubsu ini mudah ditebak.  Kandidat terpilih akan menjadikan jabatan gubernur sebagai ‘makelar’ dalam jabatan-jabatan strategis di birokrasi.

Dengan kelakar getir, seorang peserta berujar, efek domino Pilkada DKI Jokowi-Ahok tidak akan merambat ke Sumut. Rekam jejak para kandidat belum terukur dan teruji kecuali efek pencitraan secara komersil. ‘’Pilgubsu saat ini belum melahirkan pemimpin pilihan rakyat, tapi pilihan parpol,’’ katanya.
Begitupun, kalangan intelektualis ini optimistis kecerdasan calon pemilih yang terus membaik dari hari ke hari, termasuk pembelajaran yang baik dari media, akan membawa secercah titik terang dalam Pilgubsu. Perubahan perilaku pemilih menjadi antitesis atas perilaku parpol yang semakin jauh panggang dari api. (val)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/